Perbedaan Pengaturan & Regulasi Cyber Law Di Amerika, Malaysia & Indonesia
Cyber Law
Cyber Law ialah aspek aturan yang istilahnya berasal dari Cyberspace Law, yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berafiliasi dengan orang perorangan atau subyek aturan yang memakai dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada ketika mulai "online" dan memasuki dunia cyber atau maya. Pada negara yang telah maju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan mereka, perkembangan aturan dunia maya sudah sangat maju. Sebagai kiblat dari perkembangan aspek aturan ini, Amerika Serikat merupakan negara yang telah mempunyai banyak perangkat aturan yang mengatur dan memilih perkembangan Cyber Law.
Model Regulasi
Pertama, menciptakan banyak sekali jenis peraturan perundang-undangan yang sifatnya sangat spesifik yang merujuk pada contoh pembagian aturan secara konservatif, contohnya regulasi yang mengatur hanya aspek-aspek perdata saja menyerupai transaksi elektronik, duduk perkara pembuktian perdata, tanda tangan elektronik, akreditasi dokumen elektronik sebagai alat bukti, ganti rugi perdata, dll., disamping itu juga dibentuk regulasi secara spesifik yang secara terpisah mengatur tindak pidana teknologi informasi (cybercrime) dalam undang-undang tersendiri.
Kedua, model regulasi komprehensif yang materi muatannya meliputi tidak hanya aspek perdata, tetapi juga aspek manajemen dan pidana, terkait dengan dilanggarnya ketentuan yang menyangkut penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Pada negara yang telah maju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan mereka, perkembangan aturan dunia maya sudah sangat maju. Sebagai kiblat dari perkembangan aspek aturan ini, Amerika Serikat merupakan negara yang telah mempunyai banyak perangkat aturan yang mengatur dan memilih perkembangan Cyber Law.
Di Amerika, Cyber Law yang mengatur transaksi elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA). UETA ialah salah satu dari beberapa Peraturan Perundang-undangan Amerika Serikat yang diusulkan oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws (NCCUSL). Sejak itu 47 negara bagian, Kolombia, Puerto Rico, dan Pulau Virgin US telah mengadopsinya ke dalam aturan mereka sendiri. Tujuan menyeluruhnya ialah untuk membawa ke jalur aturan negara cuilan yang berbeda atas bidang-bidang menyerupai retensi dokumen kertas, dan keabsahan tanda tangan elektronik sehingga mendukung keabsahan kontrak elektronik sebagai media perjanjian yang layak. UETA 1999 membahas diantaranya mengenai :
Pasal 5 :
mengatur penggunaan dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik.
Pasal 7 :
memberikan akreditasi legal untuk dokumen elektronik, tanda tangan elektronik, dan kontrak elektronik.
Pasal 8 :
mengatur informasi dan dokumen yang disajikan untuk semua pihak.
Pasal 9 :
membahas atribusi dan efek dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik.
Pasal 10 :
menentukan kondisi-kondisi jikalau perubahan atau kesalahan dalam dokumen elektronik terjadi dalam transmisi data antara pihak yang bertransaksi.
Pasal 11 :
memungkinkan notaris publik dan pejabat lainnya yang berwenang untuk bertindak secara elektronik, secara efektif menghilangkan persyaratan cap/segel.
Pasal 12 :
menyatakan bahwa kebutuhan “retensi dokumen” dipenuhi dengan mempertahankan dokumen elektronik.
Pasal 13 :
“Dalam penindakan, bukti dari dokumen atau tanda tangan tidak sanggup dikecualikan hanya sebab dalam bentuk elektronik”
Pasal 14 :
mengatur mengenai transaksi otomatis.
Pasal 15 :
mendefinisikan waktu dan daerah pengiriman dan penerimaan dokumen elektronik.
Pasal 16 :
mengatur mengenai dokumen yang dipindahtangankan.
Sedangkan di Malaysia sebagai negara pembanding terdekat secara sosiologis, Malaysia semenjak tahun 1997 telah mengesahkan dan mengimplementasikan beberapa perundang-undangan yang mengatur banyak sekali aspek dalam cyber law menyerupai UU Kejahatan Komputer, UU Tandatangan Digital, UU Komunikasi dan Multimedia, juga proteksi hak cipta dalam internet melalui amandemen UU Hak Ciptanya. Sementara, RUU Perlindungan Data Personal sekarang masih digodok di DPR Malaysia.
The Computer Crime Act itu sendiri meliputi mengenai kejahatan yang dilakukan melalui komputer, sebab cyber crime yang dimaksud di negara Malaysia tidak hanya meliputi segala aspek kejahatan/pelanggaran yang berafiliasi dengan internet. Akses secara tak terotorisasi pada material komputer, ialah termasuk cyber crime. Hal ini berarti, jikalau saya mempunyai komputer dan anda ialah orang yang tidak berhak untuk mengakses komputer saya, sebab saya memang tidak mengizinkan anda untuk mengaksesnya, tetapi anda mengakses tanpa seizin saya, maka hal tersebut termasuk cyber crime, walaupun pada kenyataannya komputer saya tidak terhubung dengan internet.
Lebih lanjut, kanal yang termasuk pelanggaran tadi (cyber crime) meliputi segala perjuangan untuk menciptakan komputer melakukan/menjalankan aktivitas (kumpulan isyarat yang menciptakan komputer untuk melaksanakan satu atau sejumlah agresi sesuai dengan yang dibutuhkan pembuat instruksi-instruksi tersebut) atau data dari komputer lainnya (milik pelaku pelanggar) secara aman, tak terotorisasi, juga termasuk menciptakan komputer korban untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh pelaku pelanggar tadi.
Hukuman atas pelanggaran The computer Crime Act :
Denda sebesar lima puluh ribu ringgit (RM50,000) dan atau eksekusi kurungan/penjara dengan usang waktu tidak melebihi lima tahun sesuai dengan aturan yang berlaku di negara tersebut (Malaysia).
The Computer Crime Act mencakup, sebagai berikut :
•Mengakses material komputer tanpa ijin
•Menggunakan komputer untuk fungsi yang lain
•Memasuki aktivitas belakang layar orang lain melalui komputernya
•Mengubah / menghapus aktivitas atau data orang lain
•Menyalahgunakan aktivitas / data orang lain demi kepentingan pribadi
Cyber Law yang terdapat di Indonesia biasa dikenal dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE ialah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melaksanakan perbuatan aturan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah aturan Indonesia maupun di luar wilayah aturan Indonesia, yang mempunyai jawaban aturan di wilayah aturan Indonesia dan/atau di luar wilayah aturan Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Pada UU ITE 2008 yang dibahas antara lain :
Pasal 5, 6 :
mengatur ketentuan mengenai informasi elektronik yang dianggap sah.
Pasal 7, 8 :
hak seseorang atas informasi/dokumen elektronik.
Pasal 9 :
mengatur informasi yang disediakan oleh pelaku perjuangan yang mengatakan produk melalui sistem elektronik.
Pasal 11 :
mengatur keabsahan tanda tangan elektronik.
Pasal 12 :
mengatur mengenai kewajiban derma keamanan atas tanda tangan elektronik.
Pasal 13, 14 :
mengatur mengenai penyelenggaraan sertifikasi elektronik.
Pasal 15, 16 :
mengatur mengenai penyelenggaraan sistem elektronik.
Pasal 17-22 :
mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi elektronik.
Pasal 23 :
mengatur hak kepemilikan dan penggunaan nama domain.
Pasal 24 :
mengatur mengenai pengelolaan nama domain.
Pasal 27 :
melarang beredarnya informasi/dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan, memuat perjudian, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, serta pemerasan dan/atau pengancaman.
Pasal 28 :
melarang penyebaran gosip yang merugikan konsumen dalam transaksi elektronik, serta informasi yang berbau SARA.
Pasal 29 :
melarang pengiriman informasi/dokumen elektronik yang berisi bahaya kekerasan atau menakut-nakuti individu secara pribadi.
Pasal 30-37 :
melarang orang dengan sengaja tanpa hak atau melawan aturan atas komputer, sistem elektronik, informasi elektronik, dan/atau dokumen elektronik oleh pihak yang tidak berwenang.
Pasal 45-51 :
mengatur hukuman yang diberikan jikalau melanggar undang-undang Pasal 27 hingga dengan Pasal 36, yaitu denda antara Rp 600 juta hingga dengan Rp 12 milyar, atau pidana penjara antara 6 hingga 12 tahun.
Cyber Law di Indonesia sudah cukup manis penanganannya, hanya saja masih terdapat beberapa hal yang kurang menyerupai duduk perkara spam dan ODR yang belum dibentuk undang-undangnya. Tetapi terkadang duduk perkara wacana pengaduan atau keluhan terhadap suatu instansi di dalam e-mail sanggup menciptakan pengadu menjadi tersangka padahal hanya bermaksud untuk mengatakan suatu masukan supaya pengawasannya lebih ditingkatkan.
sumber :
meowwwhoney.blogspot.com/search?q=pengaturan-regulasi-perbedaan-cyberlaw
Sumber http://aliefsyahru.blogspot.com
0 Response to "Perbedaan Pengaturan & Regulasi Cyber Law Di Amerika, Malaysia & Indonesia"
Posting Komentar