Makalah Asta Kosala Kosali
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa berkat rahmat-Nya makalah ini sanggup di hadapan pembaca yang budiman. Makalah ini berisikan mengenai tata cara pembuatan atau pembangunan tempat suci merajan berdasarkan sastra Hindu di Bali. Makalah ini kami buat berdasarkan hasil wawancara terhadap salah satu tokoh dari Marga, Tabanan yang berpengalaman di bidang pembangunan tempat suci umat hindu di bali yang berlandaskan akan pilosofis Asta Kosala Kosali yaitu Gusti Bagus Putra ring griya Taman Belayu Marga.
Makalah ini membahas wacana tahapan - tahapan atau proses pembangunan tempat suci umat Hindu di Bali. Makalah ini juga membahas wacana sarana upakara upacara pembangunan atau pembuatan tempat suci umat Hindu di Bali khususnya. Di Bali mungkin secara umum upakara dan proses upacaranya sama tetapi ada sedikit perbedaan – perbedaan di masing masing daerahnya tetapi tetap mengandung makna yang sama. Pada makalah ini kami membahas proses pembangunan tempat suci Hindu di daerah Tabanan, Bali.
Makalah ini disusun untuk memperlihatkan informasi dan memperlihatkan wawasan mengenai proses - proses upacara dan upakara yang digunakan dalam pembangunan tempat suci umat Hindu di Bali khususnya di Tabanan. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi pembacanya. Atas perhatianya kami sampaikan terimakasih.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bali memang terkenal degan budayanya yang kental. Masyarakat memang teguh kebudayaan yang mereka sanggup dari para leluhur. Hal ini masih berlangsung hingga ketika ini. Salah satu sikap mereka tersebut tercermin dalam arsitektur tradisional bali yang sangatlah berbeda dengan arsitek yang dimiliki tempat lain. Arsitektur tradisional Bali memanglah sangat menarik untuk dinikmati dan dipelajari. Bukan hanya pura, tapi rumah hingga gedung modernpun tetap mempunyai satu kesamaan yang indah. Hal ini rupanya justru yang membuat Bali teasa begitu berbeda dan cantik. Rumah tradisional Bali tidak sebatas hanya merupakan tempat tinggal sebuah keluarga saja. Namun, ditempat ini pula banyak dilakukan upacara-upacara keagamaan untuk mendekatkan diri dengan Pencipta. Maka dari itu, bentuk dan arsitektur di Bali tampak berbeda.
Dalam arsitektur tradisional Bali, ada pola yang disebut Asta Kosala Kosali. Asta Kosala Kosali yaitu aturan wacana bentuk-bentuk niyasa, rumah atau pelinggih. Bentuk -bentuk tersebut meliputi ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalihan atau tingkatan dan juga hiasan. Selain itu, juga dalam asta kosala kosali perlu juga memperhatikan luas halaman. Halaman perlu dipikirkan untuk pembagian ruangan serta halaman yang digunakan. Di dalam konsep rumah tradisional Bali, jarak antara pelinggih juga tidak bisa sembarangan. Semua bentuk-bentuk tersebut menjadi elemen wajib yang harus digunakan dalam, membangun arsitektur tradisional Bali. Oleh lantaran itu, disini sanggup terlihat bahwa masyarakat Bali sangatlah detail dalam merancang bangunan demi mendapatkan hasil sesuai kebutuhan sekaligus bernilai seni tinggi.
Mengenai tempat suci, setiap agama yang ada di muka bumi ini mempunyai tempat suci. Tempat suci bagi penganut agama yang bersangkutan merupakan sarana atau salah satu alat upakara untuk mengadakan kontak atau korelasi kehadapan Tuhan yang dipujanya. Di samping itu, keberadaan tempat suci untuk suatu agama juga merupakan salah satu persyaratan untuk mendapatkan legalisasi dari Negara. Tempat suci umat Hindu disebut dengan nama Pura. Kata pura berasal dari bahasa Sansekerta pur yang artinya kota, benteng atau tempat yang di kelilingi tembok.
Berdasarkan arti kata tersebut maka Pura sanggup diartikan sebagai tempat yang dikelilingi oleh tembok atau penyengker yang khusus sebagai tempat yang suci. Bentengan tembok itu fungsinya tiada lain yaitu sebagai pemisah antara areal yang disucikan dan yang biasa. Meskipun demikian areal yang ada disekitar pura tersebut tetap mesti dijaga kebersihan, keindahan dan ketenangannya demi menjaga kesucian pura itu sendiri. Selain itu tembok penyengker juga berfungsi sebagai pelindung benda-benda yang ada di dalamnya supaya tidak gampang terjamah dan tercemari kesuciannya. Tempat suci umat Hindu selain disebut dengan nama pura juga disebut dengan nama Kahyangan atau Parhyangan dan Sanggah atau Merajan.
Pura sebagai tempat suci umat Hindu diperkirakan telah digunakan semenjak zaman Dalem (sebutan untuk raja-raja Bali keturunan Kresna Kepakisan) berkuasa di Bali. Sebelum dikenal istilah pura, tempat suci sebagai tempat pemujaan Tuhan oleh umat Hindu di Indonesia, Bali, khususnya, dikenal dengan istilah Kahyangan atau Hyang. Pada zaman Bali Kuno, istilah yang digunakan oleh umat Hindu untuk menamakan tempat suci yaitu Ulon. Ulon berarti tempat suci yang digunakan untuk mengadakan korelasi dengan Tuhan. Hal ini termuat dan dijelaskan dalam Prasasti Sukawana AI (Tahun 882 M).
Demikian pula dalam Prasasti Pura Kehen disebutkan istilah Hyang. Berdasarkan Lontar Usana Dewa, Mpu Kuturanlah yang mengajarkan umat Hindu di Bali membuat Kahyangan Dewa, mirip pemujaan yang kuasa di Jawa Timur. Mpu Kuturan yaitu tokoh agama Hindu yang bersal dari Jawa. Beliau tiba ke Bali pada masa pemerintahan Raja Marakata dan Anak Wungsu, putra Raja Udayana. Kedatangan Mpu Kuturan ke Bali banyak memperlihatkan perubahan-perubahan pada masyarakat Bali terutama wacana tata cara upacara keagamaan. Beliau mengajarkan tata cara membuat Sad Kahyangan Jagat, Kahyangan Catur Lokapala, Kahyangan Rwabhineda, Pelinggih, Meru, Gedong, dan Kahyangan Tiga di setiap desa adat serta memperbesar Pura Besakih. Selain mengajarkan membuat bangunan secara fisik, dia juga mengajarkan membuat bangunan secara spiritual, mirip banyak sekali jenis upacara, pedagingan pelinggih, dan sebagainya mirip dijelaskan dalam lontar Dewa Tattwa. Istana raja-raja di Bali sebelum diperintah oleh Dalem disebut dengan istilah Kedaton atau Keraton. Setelah dinasti Dalem memerintah di Bali, istana raja-raja disebut dengan istilah Pura.
Hal ini disebabkan lantaran apa yang berlaku di Majapahit dilaksanakan juga di Bali sesuai dengan suara kitab Negarakertagama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang berlaku di Majapahit demikian pula berlaku di Bali oleh dinasti Dalem. Keraton Dalem terletak di Samprangan disebut Lingarsa Pura. Keraton Dalem yang terletak di Gelgel disebut Suweca Pura dan Keraton Dalem yang terletak di Klungkung disebut Semara Pura. Setelah dinasti Dalem berkeraton di Klungkung atau Semara Pura, istilah pura mulai dipergunakan untuk menyebutkan nama tempat suci pemujaan, sedangkan istana raja disebut dengan nama Puri. Demikianlah istilah pura menjadi istilah untuk menyebutkan nama tempat suci bagi umat Hindu di Indonesia hingga sekarang.
A. Rumusan Masalah
Apa yang di maksud dengan sanggah atau merajan ?
Bagaimana proses upacara yang dilakukan dalam pembangunan sanggah pamerajan?
Upakara apasaja yang digunakan dalam masing - masing tahapan upacara pembangunan sanggah pamerajan ?
B. Tujuan Makalah
Makalah ini bertujuan untuk memperlihatkan wawasan kepada pembaca untuk sanggup mengetahui apa iru sanggah atau merajan, dan sebagai umat Hindu kita sudah sewajibnya mengetahui apa itu Sanggah Pamerajan, tidak hanya mengetahui artinya saja tetapi juga tahapa – tahapan upacaranya, upakara atau banten yang digunakan, serta pedoman pedoman dalam pembangunan tempat suci umat Hindu di bali.
BAB II LANDASAN TEORI
Sanggah Pamerajan berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar yang berarti tempat suci, Pamerajan berasal dari Praja yang berarti keluarga. Makara Sanggah Pamerajan artinya, tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek : Sanggah, atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat semenjak lama,yang perlu diluruskan.
Menurut bentuknya Sanggah Pamerajan dibedakan menjai 3 versi yaitu :
1. Menurut konsep Mpu Kuturan
Menurut Mpu Kuturan dalam pembangunan sanggah pamerajan, menggunakan konsep Tri Murti. Trimurti, yaitu keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang atau Brahma, Wisnu, Siwa, yaitu kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, dimana Brahma di arah Daksina, Wisnu di Uttara, dan Siwa di Madya. Maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ yaitu pelinggih Kemulan (Rong Tiga, Dua, Satu), tidak mempunyai pelinggih Padmasana/ Padmasari.
2. Menurut konsep Danghyang Nirata
Menurut Danghyang Nirata dalam pembangunan sanggah pamerajan, menggunakan konsep Tri Purusha. Tripurusha, yaitu keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, yaitu kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, dimana Parama Siwa yang tertinggi kemudian lantaran terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa. Maka maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) yaitu pelinggih Padmasana/ Padmasari, sedangkan pelinggih Kemulan tidak berada di Utama Mandala.
3. Gabungan dari kedua konsep
Biasanya dibangun sesudah masa ke-14, maka pelinggih Padmasana/ Padmasari tetap di ‘hulu’, namun di sebelahnya ada pelinggih Kemulan.
Sanggah Pamerajan diedakan menjadi tiga yaitu Pamerajan Alit, yaitu pamerajan yang dimiliki oleh satu keluarga kecil. Pamerajan Dadia, yaitu pamerajan yang dimiliki oleh satu soroh yang terdiri dari beberapa ‘purus’ atau garis keturunan. Pamerajan Panti, yaitu pamerajan yang dimiliki oleh satu soroh yang terdiri dari satu dadia dari lokasi yang sama.
Pada rumah di bali ada persyaratan yang harus dimiliki. Setelah beberapa perkembangan jaman ada dua versi tempat suci atau pelinggih pelinggih yang harus ada di pekarangan rumah. Menurut versi yang terlebih dahulu dalam pekarangan harus ada pelinggih Kemulan, Taksu, Tugu pada Merajan. Sedangkan pada peumahan ada Penunggun Karang. Sedangkan perkembangan yang baru, pada pekarangan rumah minimal ada Padma dan Penunggun Karang. Pada versi kedua ini biasanya sering di jumpai pada rumah rumah umat hindu yang berada di perkotaan, dan juga bagi yang kurang bisa lantaran sanggah dihentikan hanya di buat saja. Maka dari itu kalau kita merasa kurang bisa kita bisa membangun Padma dan penunggun karang saja lantaran Ida Sang Hyang Widi meraga tunggal. Pada Sanggah Pamerajan ada pelinggih yang di sebut Apit lawang, pelinggih ini boleh saja tidak di buat pada merajan alit.
Tata letak bangunan di Bali mengikuti konsep Nawa Sanga (9 arah mata angin). Setiap bangunan itu mempunyai tempat sendiri, mirip misalnya:
1) Dapur, lantaran berafiliasi dengan Api maka Dapur ditempatkan di Selatan,
2) Tempat Sembahyang lantaran berafiliasi dengan menyembah akan di tempatkan di Timur tempat matahari Terbit.
3) Karena Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan di Utara dimana Gunung berada begitu seterusnya.
Selain itu sosial status juga menjadi pedoman. jadi rumah di bali itu ada yang disebut Puri juga atau Jeroan, biasanya dibangun oleh warna / wangsa Kesatria. tapi lantaran kini banyak yang sudah kaya diBali, jadi siapapun boleh membuat yang mirip ini. Namun mungkin nanti bedanya di Tempat Persembahyangan di Dalamnya saja.
Warna itu merupakan sistem hirarki, di Bali Hirarkial itu juga kuat terhadap tata ruang bangunan rumahnya. Dalam pembuatan rumahnya rumah akan dibagi menjadi:
1) Jaba untuk potongan paling luar bangunan
2) Jaba jero untuk mendifinisikan potongan ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah
Jero untuk mendiskripsikan ruang potongan paling dalam dari sebuah pola ruang yang dianggap sebagai ruang paling suci atau paling privacy bagi rumah tinggal
Di konsep ini juga disebutkan wacana teknik konstruksi dan materialnya. ada namanya Tri Angga, yang terdiri dari:
1) Nista menggambarkan hirarki paling bawah dari sebuah bangunan, diwujudkan dengan pondasi rumah atau bawah rumah sebagai penyangga rumah. bahannya pun biasanya terbuat dari Batu bata atau Batu gunung.
2) Madya yaitu potongan tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan pintu. Madya menunjukan strata insan atau alam manusia
3) Utama yaitu symbol dari bangunan potongan atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal yang kuasa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada potongan atap ini materi yang digunakan pada arsitektur tradisional yaitu atap ijuk dan alang-alang.
Berikut bagian-bagian dari rumah Bali:
1) Pamerajan yaitu tempat upacara yang digunakan untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di Timur Laut pada sembilan petak pola ruang
2) Umah Meten yaitu ruang yang biasanya digunakan tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat
3) Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur bawah umur atau anggota keluarga lain yang masih junior.
4) Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk mendapatkan tamu
5) Bale Dangin biasanya digunakan untuk duduk-duduk membuat bendabenda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya.
6) Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya.
7) Paon (Dapur) yaitu tempat memasak bagi keluarga.
8) Aling-aling yaitu potongan entrance yang berfungsi sebagai pengalih terusan sehingga terusan tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan supaya pandangan dari luar tidak pribadi lurus ke dalam.
9) Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi mirip candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk.
Landasan pembangunan Rumah Di Bali
1) Landasan filosofis ASTA KOSALA KOSALI
(1) Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung. Pembangunan perumahan yaitu berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha Bhuta yaitu tubuh insan itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup insan di dunia ini.
(2) Unsur- unsur pembentuk. Unsur pembentuk membangun perumahan yaitu dilandasi oleh Tri Hit a Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa yaitu Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan yaitu manusianya dan Palemahan yaitu unsur alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) yaitu sembilan kekuatan Tuhan yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.
2) Landasan Etis
(1) Tata nilai dari bangunan yaitu berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada di arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir). Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri Angga yaitu Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Kanista Mandala.
(2) Pembinaan korelasi dengan lingkungan. Dalam membina korelasi baik dengan lingkungan didasari pemikiran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha
3) Landasan Ritual
Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon proteksi Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin.
Konsep Perujudan Perumahan Umat Hindu
Konsepsi perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata ruang, tata letak dan tata bangunan yang sanggup dibagi dalam :
1) Keseimbangan Alam: Wujud perumahan umat Hindu memperlihatkan bentuk keseimbangan antara alam Dewa, alam insan dan alam Bhuta (lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.
2) Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana. Rwa Bhineda diwujudkan dalam bentuk hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu yaitu arah/ terbit matahari, arah gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya. Perwujudan purusa pradana yaitu dalam bentuk penyediaan natar. sebagai ruang yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi.
3) Tri Angga dan Tri Mandala. Pekarangan Rumah Umat Hindu secara garis besar dibagi menjadi 3 potongan (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni) dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai kanista (misalnya: kandang). Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 potongan (Tri Angga) yaitu Utama Angga yaitu atap, Madhyama angga yaitu tubuh bangunan yang terdiri dari tiang dan dinding, serta Kanista Angga yaitu batur (pondasi).
4) Harmonisasi dengan potensi lingkungan. Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat mirip materi bangunan dan prinsip- prinsip bangunan Hindu.
Struktur dan Hakikat Tempat Suci
Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) berada dimana-mana, tidak ada tempat yang tidak dipenuhi o leh-Nya. Dalam keadaan demikian, Dia disebut “wyapi-wyapaka nirwikara”. Tuhan Yang Maha Esa ada dimana-mana dan menjiwai alam semesta beserta isinya. Tuhan yang mengakibatkan bumi berputar, matahari menguluarkan panas dan bersinar, tanah menghidupkan tumbuh-tumbuhan. Manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan mengalami lahir, hidup, dan mati. Tuhan yang membuat dan menjiwai alam semesta beserta isinya. Wujud faktual dari Tuhan yaitu alam semesta ini, sedangkan di alam kosong Beliau disebut Sunya. Alam semesta yaitu sthana atau tempatnya Tuhan Yang Maha Esa. Alam semesta ini sangat luas atau abnormal sehingga sulit diketahui secara utuh oleh manusia. Oleh lantaran itu, umat Hindu membuat simbol yang lebih kongkrit dari alam semesta sebagai tempat dari Tuhan. Melalui simbol-simbol yang tersusun itulah, umat Hindu melaksanakan pemujaan kepada Tuhan. Dalam Kakawin Dharma Sunya disebutkan sebagai berikut :
“Bhatara Siva sira suwung, sifat ipun ikang bernafsu a wujud donya,
kaanggap wangun ndi, yen karingkes dados ndi Himalaya, yen
karingkes dados meru ndi kadi ning tanah Bali, yen karingkes malih dados titiang.”
Artinya :
Bhatara Siva amat gaib, sifat nyatanya berbentuk dunia dianggap bangunan itu, kalau diringkas menjadi gunung di Himalaya, kalau diringkas lagi menjadi Meru, mirip di Bali, Meru diringkas lagi menjadi diri kita.
Demikianlah, Kakawin Dharma Sunya melukiskan atau menggambarkan alam semesta beserta isinya yang dijiwai oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pada mulanya, gunung dianggap mirip stana atau linggih dari Tuhan Yang Maha Esa. Pangkal gunung sebagai simbol alam bawah (bhur loka), tubuh gunung sebagai alam tengah (bhwah loka) dan puncak gunung dipandang sebagai alam atas (swah loka). Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Kuno di Indonesia, gunung dipandang sebagai alam dewa-dewa atau tempat Tuhan Yang Maha Esa. Struktur bangunan tempat suci pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian, bhur loka, bhwah loka dan swah loka. Di Bali diwujudkan dengan penataan bangunan tempat suci dalam sebuah areal dibagi menjadi tiga potongan wilayah yang disebut dengan Tri Mandala yaitu :
a. Nistha Mandala atau jaba sisi merupakan mandala yang tidak begitu suci lantaran areal ini merupakan tempat melaksanakan kegiatan insan mirip pada umumnya selama kegiatan tersebut tidak melanggar hukum. Pada jaba sisi ini biasanya sebagai tempat parkir, hiburan, tempat berdagang, MCK dan sebagainya.
b. Madia Mandala atau jaba tengah yaitu areal yang bersifat setengah suci sebagai tempat melaksanakan kegiatan untuk mempersiapkan perlengkapan bagi pelaksanaan upacara mirip mejejahitan ataupun kegiatan yang lain. Pada Jaba Tengah ini biasanya terdapat bangunan mirip Bale Pesandekan, wantilan ataupun bale tempat gamelan. Akan tetapi meski status jaba tengah setengah suci, tetap mesti dijaga kesucuiannya dengan mengenakan pakian adat kepura bagi setiap orang yang memasukinya dan Mebanyuawang.
c. Utama Mandala atau jeroan yaitu areal yang paling suci. Setiap orang yang memasuki mandala ini harus memenuhi persyaratan kesucian mirip berpakaian yang semestinya, tidak dalam keadaan cuntaka dan menerima Banyuawang sebelum masuk ke jeroan. Hal mirip ini penting untuk diperhatikan demi menjaga kesucian Pura itu sendiri.
Seiring dengan kemajuan perdaban umat manusia, Lingga dipandang sebagai simbol alam semesta sekaligus tempat bersemayamnya Tuhan Yang Maha Esa. Bagian atas Lingga disebut Sivabhaga atau simbol alam atas, potongan tengah disebut Visnubhaga yang berbentuk segi delapan atau merupakan simbol alam tengah, dan potongan bawah berbentuk sedi empat disebut dengan Brahmabhaga atau simbol alam bawah. Keseluruhan potongan Lingga tersebut yaitu lambang Purusa dan alasnya berbentuk segi empat disebut Yoni sebagai lambang Predana. Perkembangan selanjutnya yaitu muncul bentuk Candi, Meru, Gedong, dan Padmasana. Semua itu digunakan sebagai lambang alam semesta yang dijiwai oleh Tuhan.
Bentuk-Bentuk Tempat Suci
Tempat suci umat Hindu terdiri atas banyak sekali macam bentuk. Bentuk-bentuk tersebut ada yang bersifat alami atau buatan. Namun, semua itu mengandung unsur-unsur alam. Pada bentuk tempat suci yang bersifat buatan terpatri unsur seni dari insan yang dibentuk dengan tetap memperhatikan serta menggunakan unsur-unsur alam. Berntuk-bentuk tempat suci umat Hindu yang digunakan untuk memuja kebesaran Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa), antara lain sebagai berikut :
a. Gunung
Gunung merupakan potongan dari alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan. Sampai ketika ini, umat Hindu masih mempunyai pandangan dan keyakinan bahwa gunung yaitu tempat atau linggih Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta Istha Dewata dan Roh Leluhur yang telah suci. Umat Hindu di India memandang bahwa gunung Maha Meru yaitu simbol alam semesta sehingga puncaknya disimbolkan sebagai tempat bersemayamnya Tuhan beserta manifestasi-Nya. Apabila di India, gunung Maha Meru diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa-dewa, di Jwa gunung Semeru dipercaya oleh umat Hindu Jawa sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya, sedangkan di Bali gunung Agung yang dipandang sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Widhi Wasa. Bagi umat Hindu, gunung yaitu simbol alam semesta, tempat puncaknya melambangkan alam atas (swah). Bagian badannya yaitu alam tengah (bwah), dan pangkalnya yaitu alam bawah (bhur). Disanalah, Bhatara Siva bersemayam. Kitanb Kakawin Dharma Sunya menyebutkan sebagai berikut :
“Bhatara Siva = Suwung.
Sipat ipun ikang bernafsu a wujud donya, kanggep wangun ndi, yen karngkes dados meru ndi Himalaya, yen karingkes malih dados meru kadi ring tanah Bali, yen karingkes malih dados tiyang.
Terjemahannya :
Bhatara Siva = Kosong
Sifat kasarnya berbentuk dunia. Dianggap berbangun gunung. Jika diringkas lagi menjadi Meru (Gunung Himalaya), kalau diringkas lagi menjadi Meru mirip di Bali, makin diringkas lagi menjadi manusia.
Uraian diatas yaitu penggambaran wacana hakikat Bhatara Siva atau Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya yang kasar. Sedangkan wujud dia yang lebih halus dijelaskan sebagai berikut :
“Bhatara Siva = Suwung
Sipat ipun ikang halus, inggih punika alusing donia, yen karingkes dados alusing ndi meru, yen karingkes dados alusing meru, yen karingkes malih dados alusing manusya.”
Terjemahannya :
Bhatara Siva = Hampa
Sifat halusnya ialah halusnya alam. Kalau diringkas menjadi halusnya Meru, kalau diringkas lagi menjadi sangat halusnya Meru, kalau diringkas lagi menjadi halusnya manusia.
Berdasarkan uraian dan klarifikasi dari Kakawin Dharma Sunya di atas, dinyatakan pada zaman dahulu gunung diyakini sebagai sthana dan isthana Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi-Nya. Barang kali pandangan ini jugalah yang melatar belakangi mengapa tempat-tempat suci umat Hindu di Bali umumnya dibangun bersahabat dengan gunung atau menghadap gunung.
b. Lingga
Lingga yaitu lambang yang digunakan oleh umat Hindu untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siva. Lingga yaitu lambang Siva. Umat Hindu mempunyai banyak sarana dengan banyak sekali macam bentuk yang digunakan untuk memuja kebesaran Tuhan. Kitab Bhagavadgita menyebutkan sebagai berikut :
“ye yatha mam prapadyante tam’s tathaiva bhajamy aham mama vartmanuvartante manusyah partha sarvasah.
(Bhagavadgita, IV.11)
Terjemahan :
Jalan mana pun ditempuh insan kea rah-Ku semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku oh-Parta.
Demikian kitab suci menyebutkan, umat Hindu mendapatkan kebebasan dalam melaksanakan pemujaan kehadapan-Nya. Lingga yaitu simbol gunung yang dikenal dengan istilah Linggacala atau lingga yang tetap tidak bergerak. Lingga dan gunung berdasarkan keyakinan umat Hindu digunakan sebagai lambang alam semesta sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Widhi Wasa. Pura Goa Gajah di daerah Gianyar, Bali, sanggup dijumpai Lingga yang berjajar tiga diatas sebuah Yoni, tempatnya di ceruk goa sebelah timur. Lingga tersebut merupakan Lingga yang paling unik dan hanya dijumpai di Goa Gajah. Lingga tersebut diberi nama Tri Lingga. Berdasarkan materi yang digunakan untuk membuatnya, Lingga sanggup dibedakan sebagai berikut:
• Lingga phala (Lingga yang terbuat dari batu).
• Kanaka lingga (Lingga yang terbuat dari emas).
• Spatha lingga (Lingga yang terbuat dari permata).
• Gomaya lingga (Lingga yang terbuat dari tahi sapid an susu), terdapat di India.
• Lingga cala (Lingga sebagai gunung).
• Lingga (dewa-dewi) yaitu Lingga yang terbuat dari banten, terdapat di Bali.
Berdasarkan bentuknya Lingga sanggup dibagi menjadi empat potongan sebagai berikut :
Bagian puncak Lingga yang berbentuk bundar disebut Sivabhaga Lingga merupakan simbol dari sthana atau linggih dari Bhatara Siva.
Bagian tengah Lingga yang berbentuk segi delapan disebut Visnubhaga merupakan simbol dari sthana atau linggih Bhatara Visnu.
Bagian bawah Lingga yang berbentuk segi empat disebut Brahmabhaga merupakan simbol dari sthana atau linggih Bhatara Brahma.
Dasar Lingga yang berbentuk empat dan pada salah satu sisinya terdapat sebuah saluran ibarat lisan yaitu tempat air dialirkan mirip pancuran. Dasar Lingga ini disebut dengan Yoni.
Dari uraian diatas dijelaskan bahwa Sivabhaga, Visnubhaga, dan Brahmabhaga sebagai potongan dari Lingga yang melambangkan Purusa. Dasar Lingga yang disebut Yoni melambangkan Pradana. Pertemuan antara Purusa dan Pradana disebut juga sebagai pertemuan antara Akasa dan Prthiwi. Inilah yang menjadikan terjadinya kesuburan. Kesuburan yang dianugrahkan oleh Tuhan merupakan sumber dari kemakmuran umat insan (umat Hindu).
c. Candi
Candi merupakan salah satu karya insan yang berdasarkan pandangan umat Hindu yaitu simbol alam semesta. Candi merupakan salah satu hasil budaya bangsa Indonesia yang mempunyai nilai seni dan religi yang tinggi. Pemujaan umat Hindu kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa ketika kebudayaannya belum maju menggunakan cara yang sangat sederhana. Cara yang dimaksud mirip menggunakan gunung sebagai lambang alam semesta tempat bersemayam Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan majunya peradaban manusia, kemudian gunung disimbolkan dengan candi. Gunung digunakan sebagai tempat suci oleh umat Hindu untuk memuja Tuhan dan candi merupakan bentuk tiruan (replica) dari gunung (Gunung Maha Meru). Dilihat dari bentuknya, candi melambangkan alam semesta dengan ketiga bagiannya. Atap candi melambangkan alam atas (swah loka), tubuh candi melambangkan alam tengah (bwah loka) dan kaki candi melambangkan alam bawah (bhur loka).
Pada potongan lain, ada kepercayaan bahwa seorang penguasa atau raja merupakan penjelmaan atau reinkarnasi dari salah satu dewa. Dengan demikian, kalau ia meninggal dunia dan dilaksanakan upacara penyucian terhadap rohnya, atma dari raja tersebut dipandang akan manunggal dengan yang kuasa yang berinkarnasi. Dalam upaya melaksanakan pemujaan kepada roh yang telah dipandang suci itu dibuatlah arca perwujudan dengan mengambil bentuk ibarat yang kuasa yang berinkarnasi. Guna menempatkan arca perwujudan itu maka dibuatkan bangunan. Kitab Negara kertagama, Pararaton, dan prasasti-prasati yang terdapat di Indonesia menyebutkan bentuk bangunan mirip diatas dengan nama Dharma atau Sang Hyang Sudharma. Bentuk bangunan ini dalam perkembangan selanjutnya lebih terkenal disebut dengan nama candi. Pada zaman raja-raja Hindu di Indonesia, upaya dan usaha untuk membangun candi tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat, antara lain, Candi Badut, Candi Jago, Candi Singosari, Candi Panataran, Candi Perwara, Candi Bajang Ratu, dan lainnya. Di Bali terdapat Candi Gunung Kawi. Candi-candi tersebut difungsikan sebagai tempat untuk memuja roh yang telah disucikan.
d. Meru
Candi sebagai tempat suci untuk memuliakan Tuhan dengan prabhawanya mengalami perkembangan dan perubahan menjadi Meru. Sampai ketika ini, perkembangan bentuk bangunan itu masih sanggup kita lihat di Bali. Meru mempunyai atap bertingkat-tingkat dari tingkat satu, tiga, lima, tujuh, Sembilan, sebelas. Meru masih tetap mencerminkan pembagian Tri Loka sebagaimana yang terdapat pada bentuk candi. Meru merupakan simbol atau lambang andhabhuana atau alam semesta. Tingkatan atapnya melambangkan lapisan alam besar dan alam kecil (makrokosmos dan mikrokosmos). Meru yaitu lambang alam semesta sebagai tempat bersemayam Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya.
Meru yaitu lambang gunung Maha Meru. Gunung merupakan lambang alam semesta sebagai linggih atau sthana Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya secara objektif. Uraian wacana Meru sebagai lambang gunung juga dijelaskan dalam Lontar Andhabhuana Lontar Tantu Pagelaran, Kakawin Dharma Sunya, dan Lontar Usana Bali. Tingkatan-tingakat atap Meru merupakan simbol dari penggabungan Dasaksara. Dasaksara yaitu simbol berupa huruf sebagai jiwa seluruh potongan dari alam semesta ini (hurip bhuana) disebutkan ada sepuluh huruf suci sebagai hurip bhuana yang diletakkan I seluruh penjuru alam semesta ini dan dua di anatara huruf suci itu ditempatkan pada arah tengah. Adapun kesepuluh huruf-huruf suci tersebut antara lain : 1. Sa bertempat di arah timur, 2. Ba bertempat di arah selatan, 3. Ta bertempat di arah barat, 4. A bertempat di arah utara, 5. I bertempat di arah tengah, 6. Na bertempat di arah tenggara, 7. Ma bertempat diarah barat daya, 8. Si bertempat diarah barat laut, 9. Wa bertempat diaraah timur laut, 10 Ya bertempat di arah tengah. Penggabungan dari sepuluh huruf suci tersebut menghasilkan satu huruf suci yaitu, OM (Omkara).
Dengan demikian, tingkatan-tingkatan pada atap Meru apabila dihubungkan dengan keberadaan huruf-huruf suci (lambang Ekadasa Dewata) terdapatlah bangunan meru yaitu sebagai berikut :
Meru beratap tingkat 9 merupakan lambang 8 huruf yang menempati 8 penjuru alam semesta ditambah satu huruf Omkara pada arah tengah menjadi 9 huruf suci sebagai lambang Dewata Nawa Sanga.
Meru beratap tingkat 7 merupakan lambang 4 huruf yang menempati 4 penjuru alam semesta ditambah tiga huruf yang menempati arah tengah yaitu, I, Om, Ya, menjadi tujuh huruf suci sebagai lambang Sapta Dewata atau Sapta Rsi.
Meru beratap tingkat 5 merupakan lambang dari 4 huruf menempati 4 penjuru alam semesta ditambah satu huruf Omkara yang menempati arah tengah menjadi 5 huruf suci sebagai lambang Panca Dewata.
Meru beratap tingkat 3 merupakan lambang dari 3 huruf yang menempati arah tengah yaitu I, Om, Ya, yang merupakan lambang dari Tri Purusa, yaitu Siva, Parama Siva, dan Sada Siva.
Meru beratap tingkat 2 merupakan lambang 2 huruf yang menempati arah tengah yaitu I dan Ya yang merupakan lambang dari Purusa dan Pradana.
Meru beratap tingkat 1 yaitu lambang dari huruf Om yang merupakan lambang dari Sang Hyang Widhi Wasa yang Tunggal.
Meru beratap tingkat 11 merupakan lambang 11 huruf suci, yaitu, Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya, dan Om yang merupakan lambang dari Eka Dasa Dewata.
Meru merupakan lambang ibu dan bapak. Istilah ibu dan bapak berdasarkan Lontar Andhabhuana dimaksudkan bahwa kata ibu mengandung makna Ibu Pertiwi. Artinya, unsur pradhana tattwa dan kata bapak mengandung makna Aji Akasa yaitu unsur purusa tattwa. Pertemuan antara Purusa dengan Pradhana mengakibatkan munculnya kekuatan maha besar yang mengakibatkan terciptanya alam semestra ini beserta isinya. Hal inilah yang dijadikan sebagai landasan pembangunan Meru yang difungsikan sebagai tempat untuk melaksanakan pemujaan roh suci leluhur yang bersemayam dilingkungan komplek Pura Besakih. Berdasarkan bentuknya, bangunan Meru yang dipergunakan untuk melaksanakan pemujaan kehadapan para yang kuasa dengan roh suci leluhur sangat sulit dibedakan. Lontar Hastakosala membedakan bangunan Meru berdasarkan ukuran sikut yang digunakan untuk membangunnya, sedangkan Lontar Dewa Tattwa membedakannya berdasarkan pedagingan yang diisi atau disimpan pada bangunan Meru dan tempat suci atau pelinggih lainnya.
e. Padmasana
Padmasana berasal dari kata padma dan asana. Padma berarti bunga teratai. Asana berarti tempat duduk. Dengan demikian padmasana yaitu tempat duduk dari bunga teratai. Dalam pandangan umat Hindu, padmasana diartikan sebagai simbolis dari alam semesta sebagai istananya Sang Hyang Widhi Wasa yang dibangun dalam bentuk bangunan yang menjulang tinggi. Penemuan sejarah bidang agama menyebutkan bahwa para Dewa Hindu dilukiskan sebagai arca yang duduk diatas bungai teratai. Patung-patung yang kuasa yang digambarkan duduk diatas bunga teratai banyak kita jumpai pada masa pemerintahan raja-raja Kediri, Singasari, Majapahit serta raja-raja Hindu di Bali. Bunga teratai mempunyai helai daun berjumlah delapan delapan dan sanggup dihubungkan dengan Asta Iswarya yaitu para yang kuasa yang menguasai delapan penjuru arah dari alam semesta ini. Bunga teratai juga mempunyai sifat sanggup hidup pada tiga lapisan alam, mirip akarnya hidup didalam lumpur, daunnya hidup di arid an bunganya di udara. Ini sanggup dihubungkan dengan Tri Bhuana yaitu bhur, bhwah, swah. Bunga teratai juga disebut dengan nama “Pangkaja” yang artinya lahir dari lumpur. Beberapa kitab Purana menceritakan bahwa para yang kuasa muncul dari padmasana. Padmasana itu yaitu lambang dari gunung Maha Meru yang juga sebagai simbol alam semesta tempat bersthananya Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam kenyataannya, bentuk bangunan padmasana mirip yang sering kita lihat di Bali (khususnya) yaitu sebuah bangunan yang menjulang tinggi berbentuk Bedawang Nala yang dililit oleh dua ekor naga (Naga Besuki dan Naga Anantha Boga). Pada potongan tengah-belakang terdapat lukisan burung Garuda, di atasnya terdapat burung angsa, dan pada potongan samping kiri dan kanan dari singgasana terdapat lukisan Naga Taksaka. Dari seluruh bentuk bangunan itu, kita tidak sanggup melihat lukisan padma. Untuk mengetahui semuanya itu, ada baiknya kita memperhatikan puja yang digunakan oleh pendeta (Siva-Buddha) pada ketika mensthanakan (ngelinggihang) Sang Hyang Widhi Wasa.
Di dalam Lontar Widhi Sastra menyebutkan wacana jenis-jenis pedagingan tempat suci, mirip Padmasana, Meru, Gedong, serta bangunan suci lainnya. Dalam jenis-jenis pedagingan inilah, kita jumpai bentuk pedagingan berupa padma. Pedagingan padmasana selengkapnya yaitu banten suci, peras, dan lain-lainnya merupakan benda berbentuk logam dari Panca Datu, sebagai akar pesimpenan yaitu uang kepeng. Logam diwujudkan sebagai kuwali yang melukiskan catur lokaphala, yaitu lukisan segi empat atau singsana sebagai lambang istana Tuhan Yang Maha Esa. Pada potongan belakang-tengah bangunan padmasana dihiasi dengan lukisan burung Garuda. Burung garuda yaitu lambang dari usaha untuk mendapatkan kebebasan dengan mencari air kehidupan atau tirtha amertha. Pada potongan belakang padmasana, diatas burung garuda dilukiskan burung angsa yang sedang menyebarkan kedua sayapnya. Lontar indik tetandingan menjelaskan bahwa lukisan angsa yaitu simbol dari Ongkara. Kedua sayapnya yang sedang mengembang melukiskan Ardha Chandra, yaitu bulan sabit. Badannya yang bundar melukiskan Windu, sedangkan leher dan kepalanya yang menjulur keatas melambangkan Nada. Angsa yaitu jenis burung yang dalam tradisi Hindu digunakan sebagai lambang untuk melukiskan Ongkara, yaitu huruf suci Hindu. Padmasana sanggup dikelompokkan menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
Padmasana Berdasarkan Tempatnya.
Dalam Lontar Wariga Catur Winasasari disebutkan berdasarkan tempatnya, bangunan padmasana di klasifikasikan menjadi 9 macam, antara lain sebagai berikut :
• Padma Kencana yaitu padmasana yang terletak disebelah timur dan menghadap kearah barat.
• Padmasana yaitu padmasana yang terletak disebelah selatan dan menghadap ke arah utara.
• Padmasari yaitu padmasana yang terletak disebelah barat dan menghadap kea rah timur.
• Padmalingga yaitu padmasana yang terletak disebelah utara dan menghadap kearah selatan.
• Padma Asta Sodana yaitu padmasana yang terletak disebelah tenggara dan menghadap kearah barat laut.
• Padma Noja yaitu padmasana yang terletak disebelah barat daya dan menghadap kearah timur laut.
• Padma Karo yaitu padmasana yang terletak disebelah barat bahari dan menghadap kearah tenggara.
• Padma Saji yaitu padmasana yang terletak di sebelah timur bahari dan menghadap kearah barat daya.
• Padma Kurung yaitu padmasana yang terletak ditengah-tengah menghadap kearah pintu keluar (Lawangan).
Kesembilan padmasana ini merupakan perwujudan yang konkrit dari pemikiran agama Hindu yang meyakini bahwa Sang Hyang Widhi Wasa berada di mana-mana (wyapi-wyapaka nirwikara).
Padmasana Berdasarkan Rong (ruang) dan Palihnya (tingkatanya)
Berdasarkan jumlah ruang dan tingkatannya, bangunan padmasana diklasifikasikan menjadi 5 macam yang teridiri dari yaitu sebagai berikut :
• Padma Anglayang yaitu padmasana yang mempunyai tiga ruangan dan menggunakan dasar Bedawang Nala dan menggunakan palih tiga.
• Padma Agung yaitu padmasana yang mempunyai ruangan dua dan menggunakan dasar Bedawang Nala dan menggunakan palih lima.
• Padmasana yaitu padmasana yang mempunyai satu ruangan dan menggunakan dasar Bedawang Nala dan menggunakan palih lima.
• Padmasari yaitu padmasana yang mempunyai satu ruangan, tidak menggunakan dasar Bedawang Nala, dan menggunakan palih tiga, yaitu palih taman, palih sacak, dan palih sari.
• Padmacapah yaitu padmasana yang mempunyai ruangan satu, tidak menggunakan Bedawang Nala, dan mempergunakan palih dua.
Dijelaskan juga bahwa bangunan Padmasari dan Padmacapah sanggup ditempatkan secara menyendiri dan difungsikan hanya sebagai penyawangan atau penghayatan. Pedagingan yang digunakan untuk Padmasari dan Padmacapah pada umumnya hanya pedagingan dasar (bawah). Sedangkan bangunan Padmasana yang lainnya mempergunakan tiga pedagingan, yaitu pada potongan dasar (bawah), tengah, dan atas dari bangunan itu.
f. Pura
Pengertian Pura
Pura yaitu tempat suci umat Hindu untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa. Selain itu pura juga merupakan benteng umat Hindu yang bersifat rohaniah supaya terlepas dari pengaruh-pengaruh yang kurang baik dalam kehidupan ini. Pura sebagai tempat suci pada umumnya dibagi menjadi tiga areal dalam satu komplek berbentuk garis horizontal. Adapun areal pura yang dimaksudkan yaitu sebagai berikut:
• Jeroan merupakan areal atau potongan terdalam dari pura. Bagian ini diletakkan atau dibangun pelinggih-pelinggih utama yang melambangkan alam atas dan Swah Loka.
• Jaba Tengah merupakan potongan tengah dari pura. Areal ini melambangkan potongan tengah dari alam semesta yang disebut Bhwah Loka.
• Jaba Sisi merupakan potongan luar dari pura. Areal ini melambangkan alam bawah dari alam semesta yang disebut Bhur Loka.
Berdasarkan fungsinya, pura dikelompokkan menjadi dua yaitu sebagai berikut :
• Pura Jagat (umum) yaitu pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa beserta segala macam prabhawa-Nya.
• Pura Kawitan (khusus) yaitu pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Atma Sidha Dewata (roh suci leluhur).
Jenis-jenis Pura
Pura sebagai tempat suci di Bali, khususnya dan Indonesia pada umumnya sanggup dikelompokkan menjadi beberapa jenis. Pengelompokkan pura sebagai tempat suci mempunyai maksud dan tujuan sebagai berikut :
• Untuk meningkatkan pengertian dan kesadaran umat Hindu bahwa Pura yaitu tempat sucinya.
• Guna menghindari adanya salah penafsiran dengan adanya banyak pelinggih dalam suatu pura, pemikiran agama Hindu yang dianggap Politheistik.
Berdasarkan karakterisasi dan fungsi dari masing-masing pura keberadaan pura tersebut sanggup dikelompokkan menjadi empat macam, antara lain sebagai berikut :
a) Pura Umum atau Pura Kahyangan Jagat
Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasi-Nya. Pura ini merupakan tempat umum bagi seluruh umat Hindu yang disebut Pura Kahyangan Jagat. Adapun yang termasuk Pura Kahyangan Jagat yaitu Pura Sad Kahyangan, Pura Dang Kahyangan, dan pelinggih-pelinggih Penyawangan mirip yang terdapat pada kantor-kantor. Pura Sad Kahyangan Jagat merupakan salah satu dari beberapa kelompok pura yang termasuk Pura Kahyangan Jagat. Pura Sad Kahyangan terdiri dari enam buah pura yang dipergunakan sebagai sarana untuk memuja Tuhan. Pura Sad Kahyangan juga disebut sebagai Kahyangan inti. Hakikat Sang Hyang Widhi Wasa dan sifat-sifat kemahakuasaan-Nya (Widhi Tattwa) secara konsepsi filosofis menjadi landasan pendirian Kahyanngan Jagat di Bali. Hal ini telah diterapkan dan ditetapkan oleh para Dang Guru terdahulu, mirip Mpu Kuturan dan Dang Hyang Niratha. Dalam Lontar Dewa Purana Bangsul yang masih mempunyai korelasi dengan sejarah Bali Kuno dan prasasti-prasasti yang dibuad pada masa ke-10 M ditulis menggunakan bahasa Jawa Kuno menyebutkan kalimat Dewa Catur Lokapala dan Dewa Sad Winayaka. Adapun, dewa-dewa Catur Lokapala yang dimaksud yaitu Dewa Yama, Dewa Baruna, Dewa Kwera, dan Dewa Besawa. Dewa-dewa Sad Winayaka yaitu Dewa Surya, Dewa Chandra, Dewa Baruna, Dewa Kala, Dewa Gana, Dewa Kumara.
Dalam Purana Bali disebutkan adanya Sadkrtih yang secara konsep ketuhanan berafiliasi dengan Sad Winayaka. Adapun yang dimaksud dengan Sadkrtih yaitu enam jenis pakerti yajna, yaitu sebagai berikut :
Atmakrtih yaitu yajna yang dipersembahkan untuk Sang Hyang Atma dengan bentuk upacara ngaben, memukur, dan ngelinggihang. Konsep upacara ini berafiliasi dengan pemujaan Siva Raditya.
Danukrtih yaitu yajna yang dipersembahkan kehadapan air sebagai wujud Dewa Visnu. Pelaksanaan yajna ini dalam bentuk upacara, mirip upacara memendak Tirtha, mapulang pekelem ke Danu, dan upacara di sawah atau lading. Secara konsep upacara ini berafiliasi dengan pemujaan Dewi Ratih.
Samudrakrtih yaitu yajna yang dipersembahkan ke laut. Pelaksanaan upacaranya mirip upacara nangluk merana. Secara konsep, upacara ini berafiliasi dengan pemujaan Dewa Baruna.
Wanakrtih yaitu yajna yang dipersembahkan di hutan dan digunung temasuk tanam-tanaman. Pelaksanaannya mirip upacara mepekelem di gunung, upacara menangguh agung, dan upacara ngerasakin. Hal ini berafiliasi dengan pemujaan ke hadapan Dewa Kala.
Jagatkrtih yaitu yajna yang dipersembahkan kehadapan alam semesta. Pelaksanaannya mirip upacara Tawur atau Caru marebhu bumi. Secara konsep, upacara ini berafiliasi dengan pemujaan kehadapan Dewa Gana.
Yanakrtih yaitu yajna yang ditujukan kehadapan manusia. Pelaksanaannya mirip upacara Dharma Kahuripan dan upacara lainnya yang berafiliasi dengan upacara manusa yajna.
Berdasarkan uraian diatas sanggup dimpulkan bahwa pembangunan Pura Kahyangan Jagat berlandaskan pada konsep Ketuhanan, mirip Konsep Rwa Bhineda, Konsep Catur Lokapala, dan Konsep Winayaka. Ketiga konsep ini digabungkan menjadi satu yang diberi nama Padma Bhuana atau Konsep Padma Bhuana oleh Mpu Kuturan.
Pura Kahyangan Jagat yang ada di Bali dibangun berdasarkan konsep sebagai berikut :
Konsep Rwabhineda
Pada hakikatnya, konsep Rwabhineda merupakan satu kesatuan yang utuh dari Purusa dan Pradhana. Pura Kahyangan Jagat yang dibangun berlandaskan konsep Rwabhineda, antara lain sebagai berikut :
Pura Besakih (Kahyangan Gunung Agung) sebagai Purusa.
Pura Batur (Kahyangan Batur) sebagai Pradhana.
Terkait dengan adanya Kahyangan Jagat Besakih dan Batur, dalam Usana Bali dijelaskan sebagai berikut, Bhatara Pasupati di India berkenan membongkar puncak gunung Maha Meru, dari hasil pembongkaran itu, dia berkehendak membawanya ke Bali dengan kedua tangan Beliau. Hal yang dibawa dengan tangan dia sebelah kanan menjadi Gunung Agung dan tangan sebelah kiri Beliau menjadi Gunung Batur. Di Gunung Agung bersthana Dewa Maha Dewa dan di Gunung Batur bersthana Dewa Visnu.
Konsep Catur Lokaphala
Konsep Catur Lokaphala merupakan perwujudan dari konsep Cadu Sakti yaitu empat aspek Kemahakuasaan Sang Hyang Widhi Wasa. Adapun, Pura Kahyangan Jagat yang dibangun berlandaskan konsep Catur Lokaphala yaitu Pura Lempuyang yang bertempat di timur, Pura Batukaru yang bertempat di barat, Pura Puncak Mangu bertempat di utara, Pura Andakasa yang terletak di Selatan.
Konsep Sad Winayaka
Konsep Sad Winayaka merupakan landasan filosofis pendirian Pura Sad Kahyangan Jagat yang ada di Bali. Secara konsep, Sad Winayaka mempunyai korelasi dengan Sadkrtih. Adapun Pura Kahyangan Jagat yang dibangun berlandaskan konsep Sad Winayaka yaitu, Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Gua Lawah, Pura Uluwatu, Pura Batukaru, Pura Pusering Tasik. Adapun, landasan kesusastraan Hindu yang menjadi dasar pendirian Pura Sad Kahyangan Jagat ini diuraikan dalam Lontar Kusuma Dewa, Usana Bali, Dewa Purana Bangsul, Babad Pasek Kayu Selem, Widhi Sastra, Padma Bhuana, Sangkul Putih, Mpu Kuturan dan Raja Purana. Selain itu, landasan pendirian Pura Sad Kahyangan Jagat telah mendapatkan persetujuan dari seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu yang dilaksanakan pada tahun 1980 di Denpasar. Seminar ini didahului oleh penelitian yang dilakukan oleh para jago dari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar wacana keberadaan Pura Kahyangan Jagat di Bali.
Konsep Padma Bhuana
Konsep Padma Bhuana merupakan alkuturasi atau penggabungan antara konsep Rwabhineda, Catur Lokaphala, dan Sad Winayaka menjadi satu kesatuan yang utuh. Konsep Padma Bhuana merupakan landasan pembangunan Pura Kahyangan Jagat yang terletak pada sembilan penjuru mata angin dari alam semesta ini. Apabila kesembilan Kahyangan Jagat itu diletakkan dalam lukisan Padma maka sangat sesuai dengan arah sembilan penjuru alam semesta. Sembilan Pura Kahyangan Jagat yang menempati Sembilan penjuru Bhuana Agung ini disebut dengan Nawadhiphalaloka. Pura Kahyangan Jagat yang dibangun berdasarkan Konsep Padma Bhuana yaitu Pura Besakih bertempat di timur laut, Pura Lempuyang Luhur bertempat di timur, Pura Andakasa terletak di tenggara, Pura Gua Lawah terletak di Selatan, Pura Uluwatu bertempat di barat daya, Pura Batukaru bertempat di barat, Pura Puncak Mangu terletak di barat laut, Pura Batur bertempat di Utara dan Pusering Jagat bertempat di tengah. Selain Pura Kahyangan Jagat mirip diatas, disebutkan pula ada Pura Dang Kahyangan Jagat mirip diatas, disebutkan pula ada Pura Dang Kahyangan Jagat. Pura Dang Kahyangan Jagat merupakan tempat suci umat Hindu yang difungsikan sebagai tempat untuk melaksanakan pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi Wasa beserta prabhawa-Nya dan juga berafiliasi dengan perjalanan suci Tirthayatra Dang Hyang Dwijendra. Bagian yang tergolong Pura Dang Kahyangan antara lain Pura Rambut Siwi, Pura Tanah Lot, Pura Pulaki, Pura Silayukti, dan yang lainnya. Sedangkan, Pelinggih Pewayangan yaitu pelinggih-pelinggih yang diberikan kepada setiap kantor atau sekolah. Pelinggih pewayangan itu juga difungsikan sebagai tempat untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi-Nya oleh umat Hindu yang ada di lingkungan kantor itu.
b) Pura Teritorial
Pura ini mempunyai memiliki cirri-ciri kesatuan wilayah sebagai tempat pemujaan suatu desa pakraman atau adat. Pura territorial ini disebut juga Pura Kahyangan Desa. Penyungsung Pura Kahyangan Desa ini terbatas pada suatu wilayah tertentu dan disungsung oleh umat (krama) desa adat atau pekraman yang ada pada wilayah yang bersangkutan saja. Ciri khas suatu desa prakraman / adat yaitu mempunyai tiga pura disebut pura Kahyangan tiga. Pura Kahyangan Tiga yaitu tempat suci umat Hindu yang difungsikan untuk melaksanakan pemujaan kehadapan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawa-Nya atau manifestasi-Nya sebagai Tri Wisesa atau Tri Murti. Jenis pura yang tergolong Kahyangan Tiga itu yaitu sebagai berikut :
Pura Desa atau Pura Bale Agung
Pura Desa atau Pura Bale Agung merupakan tempat suci umat Hindu untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Brahma. Dewa Brahma merupakan prabhawa Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pencipta, yaitu membuat segala yang ada di alam semesta ini.
Pura Puseh
Pura Puseh merupakan tempat suci umat Hindu untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Visnu. Dewa Visnu merupakan prabhawa Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pemelihara semua ciptaan-Nya.
Pura Dalem
Pura Dalem merupakan tempat suci umat Hindu untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawanya sebagai Dewa Siva. Dewa Siva merupakan manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa dalam fungsinya sebagai pemralina atau pelebur, yang disebut Dewi Durga. Desa adat atau pakraman yang terdapat di Bali mempunyai tanggung jawab moral dan material terhadap keberadaan Pura Kahyangan Tiga yang ada diwilayahnya. Disamping Pura Kahyangan Tiga, terdapat pula pelinggih Pura Prajapati. Pura Prajapati merupakan tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawanya sebagai Sang Hyang Prajapati. Pura Prajapati disebut juga Pura Ulu Setra atau Kuburan. Pura ini juga yang menjadi tanggung jawab desa adat atau pakraman khususnya ada di Bali.
c) Pura Swagina atau Pura Fungsional
Pura Swagina yaitu tempat suci umat Hindu untuk melaksanakan pemujaan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya yang para penyungsungnya terikat oleh ikatan swagina atau kekaryaan yang mempunyai profesi sama dalam system mata pencarian hidup. Berbagai jenis puranya, mirip Pura Bedugul, Pura Subak (Ulun Suwi), Pura Melanting, dan pura lainnya yang sejenis.
d) Pura Kawitan atau Pura Keluarga
Pura kawitan yaitu pura yang penyungsungnya ditentukan oleh ikatan wit atau leluhur berdasarkan garis kelahiran (Geneologis). Jenis puranya, mirip Sanggah atau Merajan, Pura Ibu, Pura Panti, Pura Dadia, Pura Pedharman, dan Pura lainnya yang sejenis.
Fungsi Tempat Suci
Tempat suci merupakan salah satu simbol atau lambang alam semesta yang diciptakan oleh Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini dipandang oleh umat Hindu sebagai sthana Sang Hyang Widhi Wasa beserta prabhawa-Nya dan roh suci leluhur. Secara umum sanggup dinyatakan bahwa fungsi tempat suci itu yaitu sebagai sarana untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa beserta seluruh manifestasi-Nya dan juga sebagai tempat untuk memuja roh suci leluhur dengan banyak sekali macam tingkatannya.
Secara khusus fungsi tempat suci yaitu sarana untuk meningkatkan kualitas umat manusia, baik sebagai makhluk individu, maupun sebagai makhluk social. Sebagai makhluk hidup, umat insan (Hindu) berkewajiban mengupayakan dirinya secara individu berafiliasi dengan Tuhan Yang Maha Esa dan roh suci leluhurnya. Hubungan secara individu ini bertujuan untuk mengomunikasikan Sang Hyang atma yang ada pada diri insan dengan Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumbernya. Hubungan yang terjadi antara Tuhan Yang Maha Esa dengan Sang Hyang Atma yang ada pada diri setiap insan merupakan potensi yang sangat bermanfaat bagi insan untuk mencapai kesucian dirinya.
Manusia sebagai mahluk social sangat membutuhkan korelasi sosiologis dengan sesamanya dan alam lingkungannya. Pada tempat suci, umat Hindu sanggup menyebarkan dirinya untuk saling mengenal diantara mereka sehingga kerukunan intern umat beragama sanggup diwujudkan. Menjadikan diri pribadi suci jasmani dan rohani merupakan salah satu dharma dalam hidup dan kehidupan. Dengan demikian, ketentraman, keamanan, dan kedamaian moksa sanggup terwujud.
Tempat suci berfungsi sebagai sadhana untuk meningkatkan banyak sekali macam keterampilan umat manusia. Tempat suci bagi umat Hindu merupakan sarana guna melangsungkan banyak sekali macam upacara keagamaan. Upacara yang dimaksud, mirip upacara piodalan atau puja wali. Rangkaian upacara yang dilaksanakan di pura juga memperlihatkan latihan untuk mendapatkan keterampilan yang bersifat teknis. Adapun, keterampilan teknis yang tumbuh dari umat insan yaitu sebagai berikut:
Meningkatkan Kualitas Etika dan Tata Susila
Dengan adanya pelaksanaan upacara di tempat suci, umat secara pribadi mendapatkan pendidikan etika dan tata susila wacana bagaimana tata cara yang baik untuk menghadap (berpikir, berbicara, dan berperilaku) di hadapan pendeta, pemangku, dan para tukang banten.
Kemampuan Mengatur Tata Ruang dengan Dekorasi yang Berkualitas
Tata ruang dan dekorasi yang dibentuk dalam kegiatan upacara agama sebaiknya mengikuti atau menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam jenis-jenis upacara agama yang dilaksanakan. Tata ruang yang dimaksud, mirip menyiapkan tempat banten, menempatkan para tamu, tempat kesenian (gong, tari dan kidung), yang menyiapkan hidangan. Untuk menjaga kekhusukkan umat dalam bersembahyang, semua itu dipandang perlu untuk ditata secara baik.
Kemampuan Mengatur Tata Bhoga dan Tata Hidangan yang Berkualitas
Aktivitas upacara agama ditempat suci juga bisa memperkirakan keterampilan untuk menyiapkan masakan, baik sebagai kelengkapan banten, sesaji, kepentingan tukang banten, sulinggih, para tamu, sekehe kesenian (gong, tari dan kidung), para penyelenggara, dan sesame umat yang berafiliasi dengan pelaksanaan upacara itu.
Berdasarkan uraian di atas sanggup dijabarkan bahwa tempat suci umat Hindu mempunyai fungsi sebagai berikut :
• Sebagai lambang alam semesta.
• Sebagai sarana pemujaan Tuhan beserta prabhawa-Nya.
• Sebagai sarana pemujaan roh suci leluhur.
• Sebagai sarana menumbuhkan keterampilan yang berkualitas.
• Sebagai tempat menyebarkan seni budaya.
• Sebagai tempat membina sraddha umat.
• Sebagai tempat menata kehidupan social umat.
• Sebagai tempat membina ketahanan rohani dan jasmani umat.
• Sebagai tempat menyelenggarakan yajna.
Demikianlah fungsi tempat suci bagi umat Hindu. Kesucian dan pelestariannya wajib kita pertahankan selamanya.
Pelestarian Tempat Suci
Berbakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa beserta prabhawa-Nya dan roh suci para leluhur merupakan kewajiban dharma yang dilaksanakan oleh umat Hindu. Rasa bakti itu hendaknya dilaksanakan berdasarkan sastra suci (Veda) dan juga banyak sekali macam tradisi yang masih tumbuh dan berkembang hingga ketika ini. Berbagai macam bentuk dan jenis tempat suci yang diwariskan oleh para leluhur kita perlu dilestarikan keberadaanyakarena didalamnya terdapat banyak sekali macam kekuatan alam yang sanggup mengahantarkan kita menikmati keselamatan dan kebahagiaan dalam hidup ini.
Menurut pemikiran agama Hindu yang tertulis dalam sastra suci (Veda), dijelaskan bahwa berbakti ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa dan roh suci leluhur dipandang kurang tepat kalau hanya dilakukan dengan berdoa atau sujud bakti. Rasa bersyukur atas anugerah yang dilimpahkan kepada kita sekalian menjadi tepat apabila sujud bakti yang kita persembahkan dilengkapi dengan upakara (sesaji dan tempat suci) dan yang lainnya. Persembahan demikianlah yaitu yajna yang sempurna.
Dari uraian di atas sanggup kita jabarkan bahwa pelestarian tempat suci itu sanggup dilakukan dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Melaksanakan Panca Yajna
Panca Yajna yaitu lima macam korban suci yang dilaksanakan dengan landasan hati tulus tulus ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya termasuk kehadapan para roh suci leluhur dengan banyak sekali macam tingkatannya. Panca Yajna merupakan realisasi dari pemikiran Tri Rna yang termuat dalam banyak sekali macam sastra agama Hindu.
b. Membangun Tempat Suci
Tempat suci yang diwariskan oleh para leluhur kita, telah mempunyai umur yang cukup tua. Dari umurnya yang cukup renta tersebut, sudah tentu mengalami pelapukan atau kerusakan yang diakibatkan oleh waktu efek alam yang kurang menguntungkan. Dalam kondisi yang demikian, kewjiban kita untuk mengadakan renovasi atau perbaikan-perbaikan seperlunya. Pembangunan dan perbaikan yang kita laksanakan sebaiknya tetap mempertahankan fungsi aslinya sebagaimana yang diwariskan oleh para leluhur terdahulu. Apabila tidak, berdasarkan keyakinan umat Hindu, hal itu akan menjadikan terjadinya hal-hal yang tidak kita harapkan dalam kehidupan ini.
c. Menjaga Kesucian Tempat Suci
Pada tempat suci biasanya umat Hindu melaksanakan kontak atau komunikasi dalam rangka memohon keselamatan dan kesucian. Dalam fungsinya mirip tempat suci sebagai sthana Sang Hyang Widhi Wasa, hendaknya terjaga kesucian dan kesakralannya. Dengan terjaganya kesucian tempat suci itu berarti terlepasnya unsur-unsur cemer (mencemari) keadaan tempat suci tersebut dan jadinya kesakralannya semakin tumbuh dan berkembang. Kesakralan tempat suci bagi umat Hindu sanggup memperlihatkan dorongan spirit untuk lebih cepat dan mantap mengadakan kontak dengan Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya dan roh suci leluhur yang bersthana pada tempat suci tersebut. Guna menjaga kesucian dan kesakralan tempat suci itu, ada beberapa hal yang patut diketahui, dipahami, dan dilaksanakan oleh setiap umat, antara lain sebagai berikut :
Tidak masuk tempat suci dalam keadaan kotor, cuntaka, atau leteh, baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun oleh orang lain, dan lingkungan kita yang berbeda.
Tidak masuk tempat suci dalam keadaan pikiran, perkataan, prilaku yang dikuasai oleh amarah atau brahmatya.
Tidak bercumbu rayu di tempat suci.
Tidak membawa barang-barang, tumbuh-tumbuhan, binatang yang belum disucikan oleh yang berwenang untuk memasuki tempat suci.
Menghindarkan kegiatan hidup dan kehidupan yang sanggup mencemari kesucian tempat suci.
Seluruh akitivitas umat insan yang baik berdasarkan petunjuk pemikiran agama sanggup memperlihatkan manfaat untuk terciptanya kesucian dan kesakralan dari tempat suci. Manusia mempunyai kewajiban untuk mewujudkan hal itu lantaran hanya dia yang sanggup membedakan antara yang baik dan yang buruk. Demikianlah keselamatan yang dikerjakan oleh manusia, mereka sanggup menikmati kesempurnaan dalam hidupnya. Setiap agama yang ada di muka bumi ini mempunyai tempat suci. Tempat suci bagi penganut agama yang bersangkutan merupakan sarana atau salah satu alat upakara untuk mengadakan kontak atau korelasi kehadapan Tuhan yang dipujanya. Di samping itu, keberadaan tempat suci untuk suatu agama juga merupakan salah satu persyaratan untuk mendapatkan legalisasi dari Negara.
d. Menjaga Keasrian tempat suci
Wujud tempat suci sebaiknya ditampilkan dalam bentuk yang tertata dengan asri. Keasrian suatu tempat mempunyai hakikat sebagai wujud dari keindahan, kebersihan, kesehatan dan kedamaian. Untuk menjadikan sebuah tempat suci itu indah, krama atau umat yang berkewajiban mempertanggungjawabkannya untuk mengadakan penataan ruang yang tidak dibangun pelinggih. Pada ruang yang kosong “telajakan” tempat suci itu bisa ditanami banyak sekali macam bunga dan tumbuhan hias. Diharapkan penempatan tumbuhan hias dan bunga yang ditanam tidak mengganggu pelaksanaan program dan upacara ritual yang berlangsung pada tempat suci tersebut. Demikian pula, kebersihan tempat suci juga menjadi tanggung jawab para umat atau krama disamping para jero mangku yang bertugas tetap pada tempat suci itu.
Para krama atau umat sanggup mengadakan program kebersihan setiap ahad atau sebulan sekali, secara berkesinambungan. Sedangkan, kesehariannya bisa menjadi kiprah jero mangku untuk mengadakan peresikan atau pembersihan. Dengan demikian, kebersihan tempat suci selalu dalam keadaan terjaga. Tempat suci biasanya dibangun pada potongan hulu atau luhan dari tempat pemukiman para krama atau umat. Hal ini melambangkan sebagai kepala atau sumber pemikiran para krama atau umata yang menjadi pengemponnya. Apabila kepala dari pengemponnya dalam keadaan indah, bersih, dan sehat, jiwa raga dari pengempon yang bersangkutan sanggup terwujud kedamaian. Kedamaian yang menjadi idaman setiap umat bersumber pada setiap pribadi dari umat yang bersangkutan. Demikianlah keberadaan tempat suci bagi umat sedharma dalam hidup kehidupan ini. Untuk sanggup berfungsi sebagaimana yang diperlukan yaitu menjadi kewajiban umat untuk menata, memberdayakan, dan melestarikannya.
Konsep Asta Kosala Kosali dan Asta Bumi
Yang dimaksud dengan Asta Kosala yaitu aturan wacana bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan.
Yang dimaksud dengan Asta Bumi yaitu aturan wacana luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih.
Aturan wacana Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan pada bab: Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana.
BAB III ISI
A. Tahapan – Tahapan Upacara Pembangunan Sanggah atau Merajan serta Upakara yang Digunakan
1. Ngruak Karang
Ngruak Karang artinya membersihkan karang, artinya seluruh karang itu di ruak atau bersihkan terlebih dahulu sebelum di bangun. Upacara ini dilaksankan sebagai Upacara awal dalam persiapan membangun sebuah Sanggah, yakni merubah status tanah, yang sebelumnya mungkin yaitu hutan, sawah, ataupun ladang. Jenis Upacara ini dilaksanakan secara insidentil bukan bersifat rutinitas, tetapi Upacara ini dilaksanakan berkaitan dengan adanya pembanguan gres ataupun pemugaran pura atau sanggah secara menyeluruh sehingga nampaknya mirip membangun sanggah atau merajan baru.
Upakara yang digunakan yaitu, caru ayam brumbun, urip 33 yang di aturkan kehadapan Ibu Pertiwi yang meraga ida batara siwa durga.
Tidak sembarangan tempat sanggup dijadikan daerah untuk membangun tempat suci. Dala tradisi di Bali termuat dalam beberapa lontar menyatakan tanah yang layak digunakan yaitu tanah yang berbau harum, yang “gingsih” dan tidak berbau busuk. Tempat-tempat yang ideal untuk membangun tempat suci yaitu mirip disebutkan pada kutipan-kutipan dari Bhavisya Purana dan Brhat Samhita yang secara sederhana disebut sebagai “hyang-hyangning sagara-giri” atau “sagara-giri adumukha”, tempatnya sangat indah di samping vibrasi kesucian memancar pada lokasi yang ideal tersebut. berdasarkan keyakinan umat Hindu, letak tempat suci ditempatkan di hulu, yaitu berpedoman kepada matahari terbit atau letak gunung.
Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan yaitu :
1) Karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),
2) Karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan),
3) Karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
4) Karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
5) Karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
6) Karang gerah (karang di hulu kahyangan),
7) Karang tenget,
8) Karang buta salah wetu,
9) Karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
10) Karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling jelek yaitu
11) Tanah yang berwarna hitam- legam, berbau "bengualid" (busuk)
Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, sanggup difungsikan sebagai lokasi membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda.
Matahari terbit dan letak gunung diyakini sebagai arah yang suci lantaran kedua sumber ala mini diciptakan oleh Tuhan sebagai sumber kehidupan semua mahluk hidup. Di Bali khususnya, arah hulu itu terletak pada arah timur dan utara atau disudut timur laut. Di beberapa tempat tertentu, ada pula yang mempergunakan arah hulu itu menuju jalan atau kearah sungai.
Diawali dengan mengadakan pertemuan atau penyatuan sabda, vayu, dan idep, dilanjutkan dengan penentuan hari baik (dewasa) dan penentuan letak atau tempat.
2. Nyukat Genah Wewangunan / Nyukat Palemahan Karang
Nyukat karang adalaah proses upacara pengukuran, termasuk juga tata letak bangunan sanggah atau pelinggih dan penunggun karang. Sehingga tercipta tatanan sanggah pamerajan yang sesuai dengan Asta Kosala Kosali dan Asta Bumi. Tempat yang baik untuk membangun tempat suci atau merajan pada suatu pekarangan rumah yaitu di ‘hulu’ yang artinya arah yang utama sedangkan untuk penunggun karang letaknya di kaje kauh. Hulu sanggup dibedakan menjadi tiga yaitu :
1. Hulu kangin ( mata hari terbit )
2. Hulu kaja ( arah gunung )
3. Hulu margi ( jalan )
Untuk memilih hulu yang digunakan dalam memilih tempat suci atau sanggah pamerajan sebaiknya di kondisikan terhadap kondisi di lapangan. Tidak mesti tempat suci atau sanggah itu letaknya mutlak di kaja kangin atau timur laut. Sebaiknya dalam memilih letak sanggah dan penunggun karang di tempat yang steril atau tidak cerobcoban mirip di samping toilet tetangga, di sampiing tempat jemuran dan lain – lain. Dari ketiga hulu itu yang paling baik digunakan yaitu hulu jalan lantaran tidak mungkn atau jarang di sebelah kaja dari jalan itu terdapat wc atau toilet melainkan pemesuan atau pintu gerbang.
Dalam upacara nyukat karang upakara yang digunakan yaitu peras daksina yang di tujukan untuk undagi yang melaksanakan nyukat karang tersebut.
Jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain sanggup menggunakan ukuran satu "depa", kelipatan satu depa, "telung tapak nyirang", atau kelipatan telung tapak nyirang. Pengertian "depa" yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan "telung tampak nyirang" yaitu jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Baik depa maupun tapak yang digunakan yaitu dari orang yang dituakan dalam kelompok "penyungsung". Jarak antar pelinggih sanggup juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga meliputi jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten, contohnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke "Piasan".
3. Nasarin
Nasarin yaitu upacara perletakan watu pertama dalam proses pembangunan tempat suci. Upacara ini merupakan upacara permakluman terhadap ibu pertiwi.
Upkara yang digunakan yaitu caru ayam brumbun urip 8, jinah kepeng 11 buah. penanaman bata merah yang berisikan rerajahan Padma angalayang dengan huruf dasaksara dan benawang nala dengan huruf suci ‘ang’ yang artinya api, ini merupakan perwujudan dimana digambarkan dasar bumi ini yaitu api. Menggunakan bata merah yang artinya bata yang tidak mentah. Batu bulitan, menggunakan kuangen yang berjumlah 11 dimana kuangen yaitu simbol omkara yang merupakan simbol dari Ida Sanghyang Widi, dan juga digunakan banten pemali.
4. Memakuh
Upacara memakuh yaitu upacara pengurip atau derma jiwa kepada bangunan sanggah pamerajan, pada upacara memakuh inilah dilaksanakan proses pendirian saka ‘nyujukang saka’ dan pemasangan sunduk ‘ngawug sunduk’.
Upakara yang digunakan yaitu caru ayam biing, urip 9, pengurip – urip, yang ditujukan kepada Sanghyamg Brahma Wisnu Iswara.
5. Melaspas
Upacara ini bertujuan untuk membersihkan atau menyucikan pelinggih - pelinggih secara niskala sebelum digunakan. Melaspas dalam bahasa Bali mempunyai arti Mlas artinya Pisah dan Pas artinya Cocok, penjabaran arti Melaspas yaitu sebuah bangunan dibentuk terdiri dari unsur yang berbeda ada kayu ada pula tanah(bata) dan batu, kemudian disatukan terbentuklah bangunan yang layak
Upakara melaspas mempunyai tingkatan dalam pelaksananya, ada tingkatan yang besar dan kecil atau tingkatan agung alitnya. Banten yang digunakan yaitu :
- Tumpeng agung adulang
- Tebasan 5
- Ayaban tumpang solas
- Banten dedari
- Soda putih kunig
- Sorohan
- Pengulapan
- Prasita
- Biakaonan
- Kelemigian gede
- Banten surya a soroh
- Segehan cacah dua
Tirta :
- Sanggah
- Tugu
- Kawitan
- Surya
Sesajen :
- Bebek putih
- Siap putih ben banten dedari
- Be soda , siap sebulu
- Ayaban, siap sebulu
- Ben surya di ayaban angsa sebulu
3 hari sesudah melaspas :
- Lekahan
- Tebasan
- Soda
Upakara tersebut ditujukan ke surya yaitu sanggah surya.
BAB IV KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas maka sanggup ditarik kesimpulan sebagai berikut, dalam membangun sebuah sanggah pamerajan di Bali kita harus mengikuti yang namanya aturan yang sering disebut Asta Kosala Kosali. Dan peletakan setiap pelinggih harus mengikuti konsep Nawa Sanga dan dimana jarak antara pelinggih itu ada aturannya.
Pada pembangunan sanggah atau merajan ada beberapa proses upacara nya yaitu pertama ngruak karang atau merubah status karang, nyukat genah wewangunan dan nyukat pelemahan karang yaitu kegiatan pengukuran untuk mendapatkn ukuran yang pasti. Nasarin yaitu peletakan watu pertama, memakuh yaitu kegiatan memperlihatkan jiwa terhadap bangunan yaitu dengan sesajen pengurip – urip, dan yang terakhir yaitu melaspas yaitu kegiatan penyucian sanggah secara niskala.
Untuk bangunan dibali mempunyai perbedaan di masing masing daerahnya pada makalah ini merupakan berdasarkan wilyah Tabanan. Dalam membangun tempat suci pada pekarangan rumah ada dua versi yaitu versi yang terdahulu menyampaikan bahwa dalam pekarangan rumah harus ada sanggah alit yang berisikan pelinggih kemulan, taksu, tugu dan pada peumahan ada penunggun karang. Sedangkan pada versi yang gres menyampaikan bahwa pada pekarangan rumah harus mempunyai pelinggih Padma dan penunggun karang. Tata letak pelinggih atau sanggah harus di hulu dimana hulu sanggup dibedakan menjadi 3 yaitu, hulu kangin, hulu kaja, dan hulu margi.
BAB V LAMPIRAN
NARASUMBER
Nama : I Gusti Bagus Putra
Tempat tinggal : Griya Taman Belayu
Alamat : Br Gunung siku Belayu, Marga, Tabanan
Jenis kelamin : Laki – laki
Pekerjaan : Guru agama Hindu dan Undagi
Sumber : www.babadbali.com
Sumber http://raidikayasa.blogspot.com
0 Response to "Makalah Asta Kosala Kosali"
Posting Komentar