iklan

√ Putusan Komersial Arbitrase Ajaib Di Indonesia

Tulisan ini merupakan salah satu makalah yang saya buat untuk memenuhi persyaratan kiprah m √ Putusan Komersial Arbitrase Asing di Indonesia


Tulisan ini merupakan salah satu makalah yang saya buat untuk memenuhi persyaratan kiprah mata kuliah Prosedur Penyelesian Sengketa Internasional. Untuk versi yang lengkapnya sanggup menghubungi saya.


1. Definisi Arbitrase


Black’s Law Dictionary: “Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgment of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation”.


Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase sanggup berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:

1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo); atau

2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak sehabis timbul sengketa (Akta Kompromis).


Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada klarifikasi pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 wacana Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian kasus di luarPengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.


2. Objek Arbitrase


Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui forum arbitrase dan atau forum alternatif penyelesian sengketa lainnya) berdasarkan pasal 5 ayat 1 UU No.30 Tahun 1999 (UU Arbitrase) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang berdasarkan aturan dan peraturan perundang-undangan yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.


Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase menawarkan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak sanggup diselesaikan melalui arbitrase yaitu sengketa yang berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak sanggup diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III pecahan kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.


3. Jenis-Jenis Arbitrase


Arbitrase sanggup berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui tubuh permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibuat untuk tujuan arbitrase, contohnya UU No.30 Tahun 1999 wacana Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta mekanisme pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.


Arbitrase institusi yaitu suatu forum permanen yang dikelola oleh banyak sekali tubuh arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal banyak sekali aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase menyerupai Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional menyerupai The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.


BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausularbitrase sebagai berikut:

“Semua sengketa yang timbul dari perjanjianini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) berdasarkan peraturan-peraturan mekanisme arbitrase BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir”.

Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational Trade Law) adalah:

“Setiap sengketa, kontradiksi atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.?


4. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ARBITRASE


Keunggulan arbitrase sanggup disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 sanggup terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu yaitu :

kerahasiaan sengketa para pihak terjamin;



  • keterlambatan yang diakibatkan sebab hal prosedural dan administratif sanggup dihindari ;

  • para pihak sanggup menentukan arbiter yang berpengalaman, mempunyai latar belakang yang cukup mengenai duduk kasus yang disengketakan, serta jujur dan adil ;

  • para pihak sanggup menentukan pilihan aturan untuk penyelesaian masalahnya ;

  • para pihak sanggup menentukan daerah penyelenggaraan arbitrase ;

  • putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui mekanisme sederhana ataupun sanggup pribadi dilaksanakan.


Para hebat juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa laba yaitu bahwa sanggup dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara HMN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah:



  • Penyelesaian sengketa sanggup dilakasanakan dengan cepat.

  • Para wasit terdiri dari orang-orang hebat dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan bisa menciptakan putusan yang memuaskan para pihak.

  • Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.

  • Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui wacana kelemahan-kelemahan perushaan yang bersangkutan. Sifat diam-diam pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.


Disamping keunggulan arbitrase menyerupai tersebut diatas, arbitrase juga mempunyai kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase yaitu masih sulitnya upaya sanksi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk sanksi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas. Disamping itu sanggup juga ditarik beberapa kelemahan arbitrase yaitu:



  • Hanya baik dan tersedia daengan baik terhadap perusahaan-perusahaan bonafide

  • Kurangnya unsur finality

  • Kurangnya power untuk menggiring para pihak ke settlement.

  • Kurangnya power untuk menghadirkan barang bukti, saksi dan lain-lain.

  • Kurangnya power untuk hal law enforcement dan sanksi keputusan.

  • Tidak sanggup menghasilkan solusi yang bersifat preventif.


Kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa ada norma yang cukup untuk menjaga standar mutu keputusan arbitrase. Oleh sebab itu sering disebut “An arbitration is as good as arbitrators”


PELAKSANAAN KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL MENURUT KONVENSI NEW YORK 1958


Salah satu fokus utama dalam Konvensi New York 1958, yakni Convetion on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards yang ditandatangani 10 Juni 1958 di kota New York. Ketika Konvensi ini lahir, para pakar arbitrase waktu itu mengakui bahwa Konvensi ini merupakan satu langakh perbaikan dalam hal akreditasi dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri, khusunya di antara negara anggota Konvensi.


Konvensi New York mulai berlaku pada 2 Juni 1959. Konvensi ini hanya mensyaratkan tiga pengesahan biar berlaku. Selanjutnya Konvensi akan berlaku tiga bulan semenjak jumlah pengesahan ketiga terpenuhi.


Pada waktu meratifikasi atau mengikatkan diri (aksesi) terhadap konvensi, negara-negara sanggup mengajukan persyaratan (reservasi) terhadap isi ketentuan Konvensi New York (pasal 1). Terdapat dua persyaratan yang diperkenankan, yang pertama yaitu persyaratan resiprositas (reciprocity-reservation). Yang kedua yaitu persyaratan komersial (commercial-reservation). Konsekuensi dari diajukannya persyaratan pertma, yaitu bahwa negara yang bersangkutan gres akan menerapkan ketentuan Konvensi apabila keputusan arbitrase tersebut dibuat di negara yang juga yaitu anggota Konvensi New York. Apabila keputusan tersebut ternyata dibuat di negara yang bukan anggota, maka negara tersebut tidak akan menerapkan ketentuan Konvensi.


Persyaratan komersial berarti bahwa suatu negara yang telah meratifikasi Konvensi New York hanya akan menerapkan ketentuan Konvensi terhadap sengketa-sengketa ?komersial? berdasarkan aturan nasionalnya.


Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini sanggup ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini:

Prinsip pertama, yakni Konvensi ini menerapkan prinsip akreditasi dan pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri dan menempatkan keputusan tersebut pada kedudukan yang sama dengan keputusan peradilan nasional. Prinsip kedua, yakni Konvensi ini mengakui prinsip keputusan arbitrase yang mengikat tanpa perlu ditarik dalam keputusannya. Prinsip ketiga, yaitu Konvensi ini menghindari proses pelaksanaan ganda (double enforcement process). Prinsip keempat, Konvensi New York mensyaratkan penyedrhanaan dokumentasi yang diberikan oleh pihak yang mencari akreditasi dan pelaksanaan Konvensi. Prinsip kelima, Konvensi New York lebih lengkap, lebih komprehensif daripada aturan nasional pada umumnya. Berbeda dengan aturan nasional pada umumnya yang hanya mengatur wacana pelaksanaan (enforcement) suatu keputusan pengadilan (termasuk arbitrase), Konvensi New York juga mengatur wacana akreditasi (recognition) terhadap suatu keputusan arbitrase.


Ketentuan utama Konvensi terdapat dalam pasal I, III dan V. Menurut pasal I, Konvensi berlaku terhadap putusan-putusan arbitrase yang dibuat dalam wilayah suatu negara selain daripada negara di mana akreditasi dan pelaksanaan keputusan arbitrase itu diminta dan berlaku terhadap putusan-putusan arbitrase yang bukan domestic di suatu negara di mana akreditasi dan pelaksanaannya diminta.


Pasal III mewajibkan setiap negara penerima untuk mengakui keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri mempunyai kekuatan aturan dan melaksanakannya sesuai dengan aturan (acara) nasional di mana keputusan tersebut akan dilaksanakan. Seperti telah dikemukakan diatas, ketentuan pasal ini hanya pokoknya saja wacana pelaksanaan keputusan arbitrase, tidak detail.? Konvensi hanya menyebutkan saja wacana daya mengikat suatu keputusan dan wacana bagaimana pelaksanaan atau eksekusinya. Konvensi tidak mengaturnya siapa pihak yang berwenang untuk mengeksekusi keputusan tersebut; Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.


Pasal V memuat wacana alasan-alasan yang sanggup diajukan oleh para pihak untuk menolak akreditasi dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase asing. Prinsipnya yaitu bahwa pihak yang mengajukan penolakan keputusan arbitrase harus mengajukan dan menandakan alasan-alasan penolakan tersebut. Pasal ini memuat 7 alasan penolakan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase, yaitu:



  1. Bahwa para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut ternyata berdasarkan aturan nasionalnya tidak bisa atau berdasarkan aturan yang mengatur perjanjian tersebut atau berdasarkan aturan negara di mana keputusan tersebut dibuat apabila tidak ada petunjuk aturan mana yang berlaku.

  2. Pihak terhdap mana keputusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang sepatutnya wacana penunjukan arbitrator atau persidangan arbitrase atau tidak sanggup mengajukan kasusnya.

  3. Keputusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk diputuskan oleh arbitrase, atau keputusan tersebut mengandung hal-hal yang berada di luar dari hal-hal yang seharusnya diputuskan, atau

  4. Komposisi wewenang arbitrase atau mekanisme arbitrase tidak sesuai dengan persetujuan para pihak, atau, tidak sesuai dengan aturan nasional daerah arbitrase berlangsung, atau

  5. Keputusan tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau dikesampingkan atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di negara di mana keputusan dibuat.


PELAKSANAAN KONVENSI NEW YORK DI INDONESIA


Indonesia yaitu juga anggota Konvensi New York dengan aksesi melalui Keputusan Presiden No.34 Tahun 1981, 5 Agustus 1981. Aksesi ini didaftar di Sekretaris Jenderal PBB 7 Oktober 1981. Indonesia hanya mengajukan persyaratan pertama saja, yaitu resiprositas (akses timbal baik).


Meskipun Indonesia telah mengaksesi yang berarti pula bahwa ketentuan-ketentuan Konvensi tersebut mengikat Indonesia, namun ternyata di dalam pelaksanaannya kemudian duduk kasus gres wacana pelaksanaan keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri muncul. Masalah gres ini berkisar kepada adanya dua pendapat yang saling bertentangan antara MA RI dengan para sarjana aturan ternama, khususnya Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama.


MA beropini bahwa meskipun pemerintah RI telah mengksesi Konvensi melalui Keppres No. 34 Tahun 1981, namun dengan adanya perundang-undangan tersebut tdiak serta merta berarti bahwa keputusan arbitrase ajaib sanggup dilaksanakan di Indonesia. MA berpendapat, perlu adanya peraturan pelaksanaan dari Keppres tersebut biar pelaksanaan (eksekusi) suatu keputusan arbitrase ajaib sanggup dilaksanakan.


Sebaliknya, Prof. Mr. Sudargo Gautama beropini bahwa Keppres tersebut tidak perlu dijabarkan oleh peraturan perundangan pelaksanaannya. Menurut beliau, sebuah Keppres tidak memerlukan peraturan pelaksanaan, berlainan dengan UU yang menentukan, untuk itu diharapkan peraturan pelaksanaan.


PELAKSANAAN KEPUTUSAN ARBITRASE ASING MENURUT PERATURAN MA NO.1 TAHUN 1990


Pada tanggal 1 Maret 1990, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan MA No. 1 Tahun 1990 wacana Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.


Pasal 2 dari peraturan tersebut memberi batasan arti Putusan Arbitrase Asing. Yakni, putusan yang dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter perorangan di luar wilayah aturan Republik Indonesia, ataupun putusan suatu Badan arbitrase ataupun arbiter perorangan yang berdasarkan ketentuan aturan Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan Arbitrase Asing, yang berkekuatan aturan yang tetap sesuai dengan Keppres No. 34 tahun 1981.


Pasal 3 Peraturan MA memuat wacana syarat-syarat untuk sanggup dilaksanakannya suatu Putusan Arbitrase Asing. Pasal ini merupakan guideline dalam menguji untuk dilaksanakan atau ditolaknya suatu Putusan Arbitrase. Suatu putusan arbitrase ajaib untuk sanggup dilaksanakan di Indonesia harus memenuhi syarat-syarat berikut:



  1. Putusan itu dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter perorangan di suatu negara yang dengan negara Indonesia ataupun gotong royong dengan negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi Internasional perihal akreditasi serta Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

  2. Putusan-putusan arbitrase ajaib di atas hanyalah terbatas pada putusan-putusan yang berdasarkan ketentuan aturan Indonesia termasuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang.

  3. Putusan-putusan Arbitrase Asing di atas hanya sanggup dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

  4. Suatu Putusan Arbitrase Asing sanggup dilaksanakan di Indonesia sehabis memperoleh Exequatur dari Mahkamah Agung RI.


Ditentukan pula bahwa exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase Asing itu nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem aturan dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum).


EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL


Dewasa ini keputusan arbitrase ajaib pada prinsipnya sudah sanggup dihukum di Indonesia. Pengakuan terhadap arbitrase ajaib di Indonesia, yang seyogianya tentu sudah sanggup dieksekusi, telah terjadi semenjak dikeluarkannya Keppres No. 34 Tahun 1981, yang mengesahkan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award, yang dikenal dengan New York Convention 1958.


UU Arbitrase di Indonesia, yaitu UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999 mengatur bagaimanpa jikalau suatu putusan aerbitrase internasional dihukum di Indonesia, di mana beberpa ketentuan pokok pengaturan oleh UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999 yang bekerjasama dengan eksekusii terhadap suatu putusan dari arbitrase internasional yaitu sebagai berikut:


a. Yang Berwenang Menangani Eksekusi Arbitrase Internasional

Suatu putusan arbitrase internasional harus dilaksanakan di negara di mana pihak yang dimenangkan mempunyai kepentingan. Jika putusan tersebut harus dilaksanakan di Indonesia, siapakah yang berwenang dan bertanggung jawab melakukan putusan tersebut. Hal ini ditemukan jawabannya dalam pasal 66 UU Arbitrase No. 30 tahun 1999. Di sana dikatakan bahwa yang berwenang menangani duduk kasus akreditasi dan sanksi dari putusan arbitrase internasional yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam hal ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan menawarkan suatu putusan Ketua Pengadilan Negeri dalam bentuk ?Perintah Pelaksanaan? yang dalam praktek dikenal dengan sebutan ?Eksekuatur?.


b. Kapan Permohonan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional sanggup Dilaksanakan.

UU Arbitrase menentukan bahwa suatu putusan arbitrase internasional hanya sanggup dijalankan jikalau putusan tersebut telah diserahkan dan didaftarkan kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (pasal 67 ayat 1).


Dengan demikian, sekurang-kurangnya ada 4 emapt tahap dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing, yaitu sebagai berikut:



  • Tahap penyerahan dan registrasi putusan.

  • Tahap permohonan pelaksanaan putusan.

  • Tahap perintah pelaksanaan oleh ketua Pengadilan Negeri (eksekuatur).

  • Tahap pelaksanaan putusan arbitrase.


Berkas Permohonan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional


Untuk sanggup diberikan perintah pelaksanaan (eksekuatur) terhadap suatu putusan arbitrase internasional, harus terlebih dahulu diajukan berkas-berkas permohonan sanksi yang berisikan hal-hal sebagai berikut:



  1. Permohonan pelaksanaan eksekusi.

  2. Lembar orisinil atau salinan otentik dari putusan arbirase tersebut.

  3. Terjemahan resmi dari putusan aribrase ke dalam bahasa Indonesia dari putusan tersebut.

  4. Lembar orisinil atau salinan otentik dari kontrak yang menjadi dasar putusan arbitrase.

  5. Terjemahan resmi ke dalam bahasa Indonesia dari kontrak ayang menjadi dasar putusan arbitrase.

  6. Surat keterangan dari perwakilan diplomatik RI di negara di mana diputuskan, yang menyatakan bahawa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral ataupun secara multilateral dengan negara RI wacana akreditasi dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.


Upaya Hukum terhadap Putusan Ketua Pengadilan Domestik wacana Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.


Terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri domestik, in casu ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional, dalam hal-hal tertentu sanggup diajukan upaya aturan tertentu. Dalam hal ini upaya aturan tersebut yaitu sebagai berikut:



  1. Terhadap Putusan Ketua Pengadilan Negeri Menerima Eksekusi.

  2. Putusan ketua Pengadilan Negeri yang mendapatkan dan memerintahkan sanksi putusan arbitrase bersifat final sehingga terhadapnya tidak sanggup diajukan banding atau kasasi.

  3. Terhadap Putusan Ketua Pengadilan Negeri menolak Eksekusi.

  4. Terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak untuk mengakui dan melakukan sanksi putusan arbitrase internasional amsih terseia upaya aturan berupa kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung harus sudah memutuskan permohonan kasasi ini dalam jangka waktu 90 hari semenjak diterimanya permohonan kasasi oleh Mahkamah Agung (pasal 68 ayat

  5. Putusan MA ini sudah bersifat final tanpa ada upaya aturan apapun termasuk upaya Peninjauan Kembali (PK).

  6. Terhadap Putusan Eksekuatur Mahkamah Agung.

    Terhadap putusan pelaksanaan/menolak pelaksanaan putusan arbitrase oleh Mahkamah Agung (dalam hal negara terlibat sebagai salah satu pihak dalam sengketa tersebut), baik yang mendapatkan atau yang menolak eksekusi, tidak tersedia upaya aturan apa pun termasuk upaya perlawanan atau peninjauan kembali (PK).


Pelimpahan Kewenangan Eksekusi Kepada Pengadilan Yang Berwengan Secara Relatif.


Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sanggup melakukan sendiri putusan eksekusinya (dalam hal ini menjadi kewenangan relatif dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat). Akan tetapi, jikalau sanksi menjadi kewenangan Pengadilan Negeri lain, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mendelegasi kewenangan pelaksanaan sanksi kepada pengadilan Negeri di mana keberadaan benda tidak bergerak menjadi objek eksekusi.


Sita Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional.


Terhadap aset-aset milik termohon sanksi sanggup diletakkan sita eksekusi. Tata cara mengenai sita sanksi ini berlaku ketentuan dalam aturan program perdata.


Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional.


UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa bagaimana tata cara pelaksanaan sanksi terhadap suatu putusan arbitrase internasional, selain dari yang tealh ditentukan dalam UU tersebut, berlaku ketentuan-ketentuan wacana pelaksanaan sanksi dalam aturan program perdata yang umum (pasal 69 ayat 3).



Sumber https://dionbarus.comm

0 Response to "√ Putusan Komersial Arbitrase Ajaib Di Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel