iklan

Penjajahan Mental Itu Berjulukan Pendidikan

Dunia pendidikan Indonesia secara jujur saya anggap "morat-marit", aneka macam macam kurikulum yang telah diterapkan oleh Pemerintah untuk sekolah terkesan "coba-coba". Pantas saja saya sering melihat bawah umur SD merasa jenuh dengan pelajaran sekolahnya alasannya yaitu mereka "dipaksa" untuk mencerna pelajaran yang bergotong-royong mungkin belum waktunya untuk mereka dapatkan. Seumur mereka seharusnya lebih banyak bermain daripada belajar, biar mereka tidak jenuh menghadapi pelajaran ketika tingkat selanjutnya (SLTP dan seterusnya). Berikut ini yaitu penuturan seorang Ayah terhadap dunia pendidikan di Indonesia yang mungkin hampir sama dengan pemikiran saya, yang saya copy paste dari Kompasiana.com:

Menyekolahkan anak malah mengorbitkan perkara. Berselisihlah saya dengan mamanya. Istriku mengapresiasi instruksi-instruksi guru. Iapun seolah kompak dengan guru-guru dan memaksakan anak menggarap PR seabrek. Putra saya dalam tekanan luar biasa. Yang hadir di hatiku hanyalah seonggok rasa iba, sebutir air mata yang tak mau jatuh-jatuh serta segunung kegeraman atas ‘perlakuan dan percobaan demi percobaan’ yang diselenggarakan depdikbud.

Saya berkata: “Tak usah berguru Nak. Tuh ada bola di depan rumah. Tendang yuuk”. Dan saya tunjukkan sebuah sepeda motor mini (rakitan). “Mainkan Nak. Itu hakmu sabagai anak”. Anak saya sangat senang, istri saya cemberut.

Baca Juga

Faktanya yaitu betapa banyak PR anak saya, justru yang mengerjakan yaitu istriku. Ini suatu bukti bahwa PR tersebut tak sanggup dikerjakan oleh insan se-umur anak saya. Penugasan itu beraroma andragogik bukan pedagogik.

Okelah…!. Saya setuju sekali jikalau pendidikan sanggup mengubah seseorang menjadi lebih baik. Pendidikan sanggup menjadi interventor dalam melahirkan manusia-manusia pintar. Namunpun, saya berani berkata bahwa pendidikan juga bertindak sebagai stressor (sumber stres) terhadap anak saya.
 


Motor mini sebagai pelipur lara kala putra putriku tertekan dengan contoh pendidikan di sekolah yang minim afilisasi, kurang kasih sayang (Doc Armand)



Maaf, saya ingin menyekolahkan bawah umur bukan alasannya yaitu kuantitas nilai matematika tinggi, bukan juga alasannya yaitu angka matapelajaran SAINS yang menjulang. Saya menyekolahkan anak biar bermartabat, bermoral, sopan dan mempunyai self esteem.

Saya menciptakan catatan perkembangan sikap bawah umur saya. Hasilnya mencengangkan: Perilakunya bukannya lembut, malah kian keras dan kadang kasar. Buah-buah pendidikan yang ditemukan di luar rumah tampaknya saya tak bisa terlalu berharap. Dasar itulah hingga suatu waktu saya melayangkan surat ‘cinta’ alias surat protes kepada kepala sekolahnya.


Dengan celana sekolah merah hati, putraku lebih ekspresif berkompensasi. "Rul…kocek bolamu Nak!"




Dalam surat itu saya berterima kasih dikarenakan telah menciptakan anak saya kian impolite, jauh dari rasa menghargai dan doyan menghardik serta mengeluh. Tiada pancaran optimistik dari wajah dan ucapannya. Ia malah memaki gurunya dari jarak jauh. Ia benar-benar tertekan, dia takut gurunya, bukan segan. Ia ingin ungkapkan keluhannya di sekolah. Ia tak berani.




Gambar ini saya jepret di sebuah sekolah dasar di Kabupaten Bone, daerah kelahiran Jusuf Kalla. Kreasi murid dipajang di dinding. Bukankah ini eksploitasi atas nama pendidikan?



Saat ini dia sedang mengikuti UJIAN selama sepekan. Mamanya mewanti-wanti jangan hingga tak lulus. Saya bilang: Papa terima jikalau anak kita tak lulus. Biarlah anak kita tak lulus secara kuantitatif dan numerikal di sekolah. Yang penting di mata saya, dia lulus secara kebijaksanaan pekerti, mentality dan morality. Sebab sesungguhnya pendidikan dan ilmu pengetahuan, ujungnya yaitu kebijaksanaan pekerti dan memanusiakan manusia.




Saksikanlah bawah umur ini menentukan berkompensasi di halaman sekolah. Dapatkah saya simpulkan bahwa mereka patah arang disasaki penugasan yang minim teknologi psikologi pendidikan? (Doc Armand)



Jika ilmu pengetahuan menciptakan anak-anakku terpelajar tetapi kepintarannya untuk memakan orang lain, maka sesungguhnya saya telah sangat meratapi seumur hidupku: ‘Mengapa saya sekolahkan anak-anakku itu?’.

Pendidikan ketika ini. Kita diberikan opsi secara tak sengaja oleh sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional): Anakmu mau terpelajar atau bermoral?. Sulit bagi depniknas merangkul kedua tujuan itu. Jawaban saya: saya menentukan anak saya bermoral. Enyahkan kepintaran versi sekolah. Jauhkanlah kepintaran ala depdiknas.

Sebab metode, teknik, capain kurikulum di sekolah untuk bawah umur saya, tak membuatnya lebih baik. Maka saya katakan bahwa sesungguhnya penjajahan mental bawah umur saya terjadi di sekolah dan itu berjulukan pendidikan.

Via artikel ‘murahan’ ini saya mengusulkan kepada para guru di sekolah:
  1. Hal pertama yang wajib Anda lakukan, sentuhlah jiwa anak kami sebelum menyentuh kognitifnya. 
  2. Perlakukanlah secara manusiawi dengan merasionalisasi antara kemampuan dengan beban penugasan. Sebab anak kami bukanlah mesin, bukan pula robot.
  3. Berikan penugasan yang berafiliasi eksklusif dengan kenyataan lapangan. Jangan memberi penugasan yang terlihat KEREN tetapi jauh dari kebermanfaatan dalam tatanan sosial kemasyarakatan.
  4. Ingat motto saudara kita di Jepang: “Mengajar yaitu belajar”. Kajilah motto ini biar terhadir rasa kesejajaran dengan murid. Tak selamanya guru yaitu superior dan benar. Seorang guru sanggup saja membatalkan penugasan kepada muridnya jikalau dia telah mempertimbangkan bahwa penugasan itu memang tak rasional dan tak layak.
Sekian dari saya selaku seorang ayah yang seolah ingin berkata:

“Perkara kualitas moral dan martabat, bawah umur hanya bisa mendapatkannya di rumah. Bukan di sekolah….!”.

Entahlah….!!!



 ----------------------------------------------------------------------------------------------------- 
Muhammad Armand

Lahir di Polewali Mandar-Sulawesi Barat. Ikatan Alumni Universitas Indonesia. Mengajar di Universitas Hasanuddin, Makassar-Sulawesi Selatan. Etnis Mandar. Islam Sunni

Sumber http://aliefsyahru.blogspot.com

Related Posts

0 Response to "Penjajahan Mental Itu Berjulukan Pendidikan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel