iklan

✔ Studi Kasus Komunikasi Antar Budaya (Kab) Dalam Agribisnis

Perbedaan Budaya dan Adaptasi Antarbudaya dalam Relasi Kemitraan Inti-Plasma
(Studi Kasus Proyek PIR Lokal Teh Tapanuli Utara)
Proses penyuluhan pembangunan, acapkali mengalami kekurang­berhasilan hanya disebabkan oleh adanya hambatan perbedaan budaya di antara kelompok sosiologis. Salah satu referensi ketidakberhasilan itu yaitu yang terjadi di dalam korelasi kemitraan antara perkebunan besar dan petani kecil. Perkebunan besar dan petani kecil merupakan dua kelompok sosiologis yang mempunyai karakterististik sangat berbeda. Perbedaan ini merupakan realitas dari kehidupan ekonomi dualistik dalam sistem perke­bunan di Indonesia. Kelompok yang satu berorientasi pada kapitalisme modern, sementara kelompok lainnya berciri pra kapitalisme tradisional.
Munculnya sistem pembangunan perkebunan dengan pola Perkebunan Inti-Rakyat (PIR) pada tahun 1978/1979, merupakan upaya memadukan perkebunan besar dengan petani kecil dalam suatu proses produksi dengan analogi korelasi inti-plasma. Dalam perkembangannya, bentuk korelasi kedua pihak tersebut yaitu berupa korelasi kemitraan antara perusahaan inti dan petani plasma. Kemitraan dirumuskan sebagai korelasi kerja sama antara dua pihak atau lebih yang dilakukan dalam sistem yang utuh untuk mencapai laba bersama. Menurut Martodireso & Widodo (2002:11), korelasi kemitraan dalam perjuangan pertanian harus didasari oleh sikap saling percaya, saling membutuhkan, saling menguntungkan, dan saling memperkuat. Dalam korelasi kemitraan, harus ada proses training dan pengembangan yang berkelanjutan dari pengusaha besar terhadap mitranya yang tergolong pengusaha kecil (Sumardjo, 2004:16)
Martodireso & Widodo (2002:17), mengungkapkan perlunya para pelaku kemitraan membangun korelasi sosial yang baik, ibarat komunikasi interaktif, saling memberdayakan, dan tidak saling memaksa. Menurut Suroso (1994:14), dalam perkembangannya, ada problem yang menghambat harmoni korelasi tersebut. Relasi antara perusahaan inti dan petani plasma kurang serasi lantaran perbedaan pola pikir, sikap, dan sikap yang memunculkan problem operasional. Ini mengatakan bahwa komunikasi sebagai acara simbolik tidak diikuti oleh keakuratan persepsi atas pesan kedua belah pihak. Ketidakakuratan persepsi ini disebabkan lantaran perusahaan inti dan petani plasma yaitu dua komunitas yang mempunyai perbedaan budaya.
Dalam pelaksanaan Proyek PIR Lokal Teh Tapanuli Utara terdapat problem yang terkait dengan aspek pemeliharaan tumbuhan teh. Pemeliharaan tumbuhan teh tidak intensif lantaran hambatan budaya penduduk setempat. Menurut Wibowo dan Dharmadi (1999:48), dalam memelihara tumbuhan teh secara intensif dibutuhkan tenaga kerja yang setiap hari sanggup melaksanakan pekerjaan tersebut, tetapi kebutuhan ini tidak sanggup dipenuhi lantaran penduduk setempat terikat dengan tradisi berkumpul untuk menjalankan ritual-ritual adat. Demikian pula di Jawa Tengah, pelaksanaan Proyek PIR Lokal Teh menemui problem yang terkait dengan tradisi penduduk setempat. Pada ketika syawalan, pasokan pucuk the berkurang lantaran petani tidak memetik, namun sesudah syawalan usai pasokan berlimpah. Akibatnya terjadi ketidaksesuaian antara kapasitas produksi pabrik dan pasokan. Keadaan ini mengatakan bahwa aspek kegiatan industri tidak diperhatikan oleh petani.
Dalam pada itu, permasalahan yang ada pada pelaksanaan PIR Lokal Teh di Jawa Barat yaitu problem yang terkait dengan proses pembelian pucuk teh, yaitu problem penimbangan dan pengukuran analisis pucuk teh, serta problem penjualan pucuk teh oleh petani plasma ke luar perusahaan inti. Dalam problem penimbangan, perusahaan sering mencurigai bobot timbangan petani yang tidak akurat dalam menimbang pucuk teh. Sementara dalam pengukuran analisis pucuk teh banyak ditemukan pucuk-pucuk kasar yang dijual oleh petani, padahal perusahaan inti menghendaki pucuk teh yang halus untuk menghasilkan teh yang berkualitas bagus. Hal ini berbeda ketika petani menjual pucuk teh ke luar perusahaan inti, pihak luar tidak terlalu menekankan kualitas pucuk teh yang dijual kepadanya. Penjualan pucuk teh ke luar perusahaan dipandang tidak memenuhi janji penjualan produk yang mengharuskan petani hanya menjual produknya ke perusahaan inti (Bachriadi, 1995:137).
Dari hasil penelitian Hamidah dan Widodo (2003:88) ditemukan bahwa penjualan pucuk teh ke luar perusahaan inti disebabkan petani ingin secepatnya mendapat uang. Bahkan hal ini sering dipenuhi dengan sistem ijon, yakni dengan mendapat kontribusi uang di muka sebelum pucuk teh sanggup dipetik. Namun disebabkan pihak luar tersebut membeli pucuk teh dengan cara insidental, yakni hanya membeli ketika membutuhkan pasokan untuk produksi teh pabriknya, maka pihak inipun tak sanggup dipercaya petani untuk keamanan hidupnya. Oleh lantaran itu tidak ada jaminan kepastian dari pihak luar bagi keajegan pemasaran produk pucuk teh petani. Dari goresan pena Wibowo dan Dharmadi (1999:42) sanggup dikemukakan bahwa lantaran penjualan pucuk the ke luar perusahaan inti tanpa disertai pengendalian kualitas produk, maka kualitas pucuk the yang dihasilkan petani semakin rendah. Petani hanya mengejar kuantitas pucuk teh tanpa memperhatikan kualitasnya. Rendahnya kualitas pucuk teh juga disebabkan oleh makin merosotnya harga pucuk teh yang diberikan oleh perusahaan inti. Hal ini ibarat yang terjadi di PIR-Lokal Teh Jawa Tengah. Pada mulanya harga the yaitu RP. 650,- per kilogram untuk kategori kualitas pucuk teh rata-rata atau klas B.
Harga ini merupakan harga standar yang ditentukan oleh tiga komponen kemitraan, yakni perusahaan inti, petani plasma, dan pemerintah melalui Forum Musyawarah Produksi Pemasaran Teh (FMPPT). Namun lantaran jatuhnya harga teh di pasar internasional, maka terjadi perubahan harga pucuk teh menjadi Rp 500,- per kilogram. Harga ini ditentukan tanpa melalui FMPPT. Dalam pandangan petani, harga sebesar itu tidak cukup untuk membeli pupuk dan merawat tumbuhan teh. Padahal tanpa perawatan yang memadai, kualitas pucuk akan kian menurun. Demikian pula dengan produktivitas lahan. Keadaan ini diperparah dengan ciri upland plantation yang menghadapkan petani pada keterbatasan waktu dan tenaga kerja. Selain problem tersebut, terungkap permasalahan yang ada pada pelaksanaan pola PIR Teh di Jawa Tengah, yaitu berupa problem tidak dipisahkannya perjuangan tumbuhan teh petani dengan perjuangan tani lainnya. Selain mengusahakan tumbuhan teh, petani juga mengusahakan tumbuhan pangan. Permasalahan ini terkait dengan budaya ekonomi petani upland yang mengharuskannya melaksanakan kombinasi usahatani semoga sanggup survive dalam kehidupannya (Soedjono dan Hardiman, 1999:65).
Perbedaan pola pikir, sikap, dan sikap tersebut menjadi suatu menandakan bahwa sebagai acara simbolik, komunikasi antara perusahaan inti dan petani ditandai oleh ketidakakuratan persepsi atas pesan-pesan yang disampaikan. Masing-masing pihak dalam perspektifnya. Hal ini lantaran mereka dikondisikan untuk berkomunikasi sesuai cara pandang kelompoknya. Selain itu perbedaan yang tajam dalam kerangka pengalaman dan bahasa dari masing-masing pihak menimbulkan komunikasi tidak efektif. Selain itu, komunikasi yang tidak efektif juga lantaran adanya perbedaan dalam gaya berkomunikasi.
Dengan memakai cara pandang moral ekonomi dari James C. Scott (1981), petani plasma berbudaya peasant, sedangkan perusahaan inti sanggup digolongkan ke dalam budaya farmer. Budaya peasant ditunjukkan oleh pertama, sikap petani menjual pucuk teh ke luar perusahaan inti. Kedua, sikap petani tidak mengadopsi secara serta merta teknologi yang dialihkan dari pihak perusahaan inti, dan ketiga, sikap petani yang mendahulukan kegiatan tradisi sosial budaya komunitasnya. Perilaku tersebut merefleksikan budaya petani yang disebut safety first (dahulukan selamat) dan pola piker subsisten yang berlandas pada sopan santun subsistensi. Untuk keselamatan diri dan keluarganya, petani menjual pucuk teh ke luar inti. Sementara itu dengan pola pikir subsisten, petani mengusahakan tanaman, ibarat padi dan jagung yang kesannya untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Petani tidak mempunyai orientasi pada surplus produksi untuk dijual secara komersial. Etika subsistensi juga membawa petani untuk mementingkan komunitasnya.
Hal ini dilandasi anutan bahwa komunitas yaitu pihak awal yang akan menyelamatkan kehidupan petani dan keluarganya dari setiap risiko yang mengancam subsistensi mereka. Dengan orientasi safety first dan sopan santun subsistensi, petani sanggup mengabaikan komitmen kerjasama atau kemitraannya dengan perusahaan inti. Dalam pada itu farmer adalah petani komersial dengan budaya industri. Petani ini diharapkan dalam agroindustri atau agribisnis pada umumnya. Dengan mengambil ciri-ciri masyarakat berbudaya industrial, maka ciri-ciri farmer adalah pertama, rasional dan kreatif dalam memandang banyak sekali fenomena yang ada di alam sekitarnya. Kedua, mempunyai komitmen yang tinggi dalam menuntaskan problem dengan tuntas. Ketiga, mempunyai ketaatan yang tinggi pada aturan (Soetrisno, 1995:160). Peasant dapat digolongkan pula sebagai petani pra-industri. Dalam meningkatkan tugas pertanian di Indonesia, petani pra-industri perlu ditransformasikan menjadi farmer. Petani farmer dalam kerangka ini mempunyai tugas penting dalam membawa petani praindustri menjadi petani yang berbudaya industri.
Perbedaan budaya antara perusahaan inti dan petani plasma menimbulkan studi atas jalinan komunikasi di antara dua pihak tersebut menarik dilakukan. Dalam konteks kemitraan inti-plasma, studi ini sanggup memperkaya banyak sekali penelitian perihal korelasi intiplasma.

Analisis :
Berdasarkan pada kasus diatas terdapat korelasi kemitraan antara perusahaan inti dan petani plasma.  Dalam kasus tersebut korelasi antara perusahaan inti dan petani plasma kurang serasi lantaran perbedaan pola pikir, sikap, dan sikap yang memunculkan problem operasional. Ini mengatakan bahwa komunikasi sebagai acara simbolik tidak diikuti oleh keakuratan persepsi atas pesan kedua belah pihak. Ketidakakuratan persepsi ini disebabkan lantaran perusahaan inti dan petani plasma yaitu dua komunitas yang mempunyai perbedaan budaya.
Perbedaan budaya di antara komunitas perusahaan inti dan komunitas petani plasma dijelaskan dengan bertolak dari adanya pergulatan di antara dua prinsip yang disebut sebagai perekonomian dualistik. Pergulatan ini berakar dari kontradiksi antara kapitalisme barat yang modern dan tradisi pra-kapitalis. Kapitalisme barat yang modern, muda, dan kasar yang dibangun di kota besar berhadapan dengan tradisi pra-kapitalis yang renta yang berada di pedesaan (Boeke, 1983:11).
Menurut Boeke (1983:11), dalam situasi dualistik terdapat dua karakteristik yang berbeda dalam konteks sosial ekonomi. Satu sisi merupakan golongan masyarakat yang mempunyai ikatan sosial orisinil dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan yang sifatnya terbatas dan bersahaja, serta prinsip produksi pertanian yang sifatnya subsisten. Sisi lainnya yaitu masyarakat yang berorientasi keuntungan, bersaing perjuangan yang terorganisasikan, profesional, bertumpu pada kapitalisasi dan industri mekanis, serta memandang rendah dorongan atau motif ekonomi yang dikaitkan dengan motif sosial, etika, adat, tradisi, suku, agama, dan sebagainya. Dalam kehidupan pertanian, kapitalisme diasosiasikan dengan farmer yang berciri kota, sementara prakapitalisme diasosiasikan dengan peasant yang berciri desa.



Sumber http://indaharitonang-fakultaspertanianunpad.blogspot.com

0 Response to "✔ Studi Kasus Komunikasi Antar Budaya (Kab) Dalam Agribisnis"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel