iklan

Sejaah Majelis Islam A'laa Indonesia (Miai)


Mungkin kita masih absurd dengan nama MIAI. MIAI merupakan organisasi yang berdiri pada masa penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1937 di Surabaya. Pendirinya yaitu K. H. Mas Mansyur dan kawan-kawan. Organisasi ini tetap diizinkan berdiri pada masa pendudukan Jepang alasannya merupakan gerakan anti-Barat dan hanya bergerak dalam bidang amal (sebagai baitulmal) serta penyelenggaraan hari-hari besar Islam saja. Meskipun demikian, pengaruhnya yang besar menjadikan Jepang merasa perlu untuk membatasi ruang gerak MIAI.



Pada awal pendudukan, Jepang membentuk Bagian Pengajaran dan Agama yang dipimpin oleh Kolonel Horie. Ia mengadakan pertemuan dengan sejumlah pemuka agama di Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, Horie meminta biar umat Islam tidak melaksanakan kegiatankegiatan  yang bersifat politik. Permintaan ini disetujui oleh penerima pertemuan tersebut yang lalu menciptakan pernyataan perilaku di selesai pertemuan. Pada selesai Desember 1942, hasil pertemuan di Surabaya itu ditingkatkan dengan mengundang 32 orang kiai di seluruh Jawa Timur untuk menghadap Letnan Jenderal Imamura dan Gunseikan, Mayor Jenderal Okasaki. Dalam pertemuan tersebut, Gunseikan menyatakan bahwa Jepang akan tetap menghargai Islam dan aka mengikutsertakan golongan Islam dalam pemerintahan.

Pemerintah militer Jepang menentukan MIAI sebagai satu-satunya wadah bagi organisasi campuran golongan Islam. Akan tetapi, organisasi ini gres diakui oleh Jepang setelah  mengubah anggaran dasarnya, khususnya mengenai asas dan tujuannya. Pada asas dan tujuan MIAI ditambahkan kalimat: "... turut bekerja dengan sekuat tenaga dalam pekerjaan membangun masyarakat gres untuk mencapai kemakmuran bersama di lingkungan Asia Raya di bawah pimpinan Dai Nippon."

Sebagai organisasi tunggal golongan Islam, MIAI menerima simpati yang luar biasa dari kalangan umat Islam sehingga organisasi ini berkembang semakin maju. Melihat perkembangan ini, Jepang mulai merasa curiga. Tokoh-tokoh MIAI di banyak sekali kawasan mulai diawasi. Untuk mengantisipasi biar gerakan para pemuka agama Islam tidak menjurus pada acara yang berbahaya bagi Jepang, diadakan training para kiai. Para kiai yang menjadi penerima training tersebut dipilih menurut syarat-syarat mempunyai imbas yang luas di lingkungannya dan mempunyai watak yang baik. Pelatihan tersebut berlangsung di Balai Urusan Agama di Jakarta selama satu bulan.

Namun, keterbatasan acara MIAI justru dirasakan kurang memuaskan bagi Jepang sendiri. Pada bulan Oktober 1943, MIAI secara resmi dibubarkan dan diganti dengan organisasi baru, yaitu Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Organisasi ini disahkan oleh Gunseikan pada tanggal 22 November 1943. Susunan kepengurusan Masyumi yaitu ketua pengurus besar dipegang oleh K.H. Hasyim Asy'ari, wakil dari Muhammadiyah yaitu K.H. Mas Mansur, K.H. Farid Ma'ruf, K.H. Mukti, K.H. Hasyim, dan Kartosudarmo. Adapun wakil dari NU yaitu K.H. Nachrowi, Zainul Arifin, dan K.H. Mochtar.

Sumber http://buihkata.blogspot.com

0 Response to "Sejaah Majelis Islam A'laa Indonesia (Miai)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel