iklan

Arsitektur Perbankan Indonesia

Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan menawarkan arah, bentuk, dan tatanan industry perbankan untuk rentang waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa tiba oleh API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna membuat kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

API menjadi kebutuhan yang mendesak bagi perbankan Indonesia dalam rangka memperkuat mendasar industri perbankan. Krisis ekonomi tahun 1997 memperlihatkan bahwa industri perbankan nasional belum mempunyai kelembagaan perbankan yang kokoh yang didukung dengan infrastruktur perbankan yang baik sehingga secara mendasar masih harus diperkuat untuk sanggup mengatasi gejolak internal maupun eksternal. Belum kokohnya mendasar perbankan nasional merupakan tantangan bukan hanya bagi industri perbankan secara umum, tetapi juga bagi Bank Indonesia sebagai otoritas pengawasnya.


Bertitik tolak dari kebutuhan untuk mempunyai mendasar perbankan yang lebih kuat dan sebagai upaya lanjutan dalam jadwal penyehatan perbankan yang ketika ini sedang berjalan, maka semenjak dua tahun terakhir dengan masukan-masukan berharga dari banyak sekali stakeholders, Bank Indonesia telah menuntaskan penyusunan API. Mengingat API merupakan serpihan yang tidak terpisahkan dari jadwal restrukturisasi perbankan maupun white paper penyehatan perbankan nasional pasca IMF, maka Bank Indonesia akan mulai mengimplementasikan API pada tahun 2004. Mengingat lingkup kebijakan dan pembahasan yang akan ditempuh
dan perlunya persiapan yang harus dilakukan oleh bank-bank dan Bank Indonesia dalam mengantisipasi perubahan dimaksud, maka implementasi perubahan-perubahan tersebut akan dilakukan secara bertahap.




6 PILAR API


Struktur perbankan yang sehat

Struktur perbankan yang sehat merupakan sasaran utama bagi industri perbankan di negara mana saja termasuk di Indonesia sehingga masalah struktur tersebut menjadi Pilar Pertama dalam API. Dengan adanya struktur perbankan yang sehat, diharapkan kita sanggup mempunyai mendasar perbankan yang lebih kuat. Dalam rangka mendukung terwujudnya struktur perbankan yang sehat tersebut maka salah satu caranya ialah dengan memperkuat permodalan bank-bank. Bank-bank umum (konvensional dan syariah) yang mempunyai permodalan dibawah Rp100 miliar harus ditingkatkan sehingga permodalan bagi industri perbankan harus minimum Rp100 miliar. Modal minimum Rp100 miliar tersebut merupakan kebutuhan minimum bagi suatu bank untuk sanggup menjalankan usahanya dengan baik. Dengan modal dibawah Rp100 miliar sangat sulit bagi bank untuk mendukung pertumbuhan kredit yang tinggi lantaran modalnya terbatas. Selain itu, dengan modal yang kecil dirasakan cukup sulit bagi suatu bank untuk meningkatkan skala perjuangan maupun skill level yang dimiliki serta mengcover risko-risiko yang dihadapi. Modal bank merupakan “engine” dari pada kegiatan bank, kalau kapasitas mesinnya terbatas maka sulit bagi bank tersebut untuk meningkatkan kapasitas kegiatan usahanya khususnya dalam penyaluran kredit. Diharapkan pada tahun 2011 nanti semua bank umum yang beroperasi telah mempunyai modal minimum sebesar Rp100 miliar.

Disamping dengan memperkuat permodalan, struktur perbankan yang kuat juga dibangun dengan meningkatkan tugas serta bank perkreditan rakyat (BPR) dalam peta perbankan nasional. Struktur perbankan kita perlu didukung oleh BPR yang kuat dan kokoh sehingga BPR tersebut bisa melayani lapisan masyarakat di daerah pedesaan atau terpencil khususnya yang tidak terjamah oleh pelayanan bank-bank umum. Untuk itu daya saing BPR akan terus ditingkatkan antara lain dengan menawarkan kemudahan pembukaan kantor cabang BPR sehingga BPR akan bisa bersaing dengan bank-bank umum yang mempunyai cabang-cabang di wilayah pedesaan menyerupai BRI Unit Desa. Selain itu, untuk memperkuat daya saing BPR, maka BPR perlu meningkatkan efisiensi dalam melaksanakan kegiatan operasional usahanya. Upaya tersebut sanggup dilakukan oleh BPR dengan melaksanakan kerjasama dengan BPR-BPR lain untuk memakai fasilitas back office secara bersamasama diantara BPR tersebut, sehingga mereka bisa beroperasi secara efisien dengan menekan overhead cost-nya.

Pengaturan perbankan yang efektif

Struktur perbankan yang sehat sulit untuk diwujudkan apabila tidak disertai dengan sistem pengaturan yang efektif yang diakomodir sebagai Pilar Kedua di dalam API. Guna membangun industri perbankan yang kuat harus disertai dengan pembenahan pada sistem pengaturan perbankan yang telah ada. Untuk itu Bank Indonesia akan memperbaiki proses penyusunan peraturan dan ketentuan perbankan dengan lebih banyak melibatkan para stakeholders perbankan dalam proses penyusunannya sehingga peraturan yang dibentuk akan selalu memperhatikan kemampuan stakeholders. Selanjutnya, best practices ketentuan perbankan yang bersifat internasional yang dikenal dengan 25 Basel Core Principles fo Effective Banking Supervision akan terus diimplementasikan secara sedikit demi sedikit dalam jangka panjang. Dengan penerapan 25 Basel Core Principles fo Effective Banking Supervision maupun ketentuan best practices laiinya seperti the New Basel Accord (Basel II) diharapkan praktek penyelenggaraan perbankan nasional kita telah mempunyai standar yang sama dengan bank-bank yang ada di luar negeri, sehingga tingkat iman masyarakat internasional terhadap industri perbankan nasional akan semakin meningkat.

Pengawasan bank yang independen dan efektif

Industri perbankan yang sehat juga perlu didukung dengan pengawasan bank yang independen dan efektif menyerupai yang tertuang di dalam Pilar Ketiga API. Pengawasan yang independen dan efektif sangat diharapkan baik untuk ketika ini maupun jangka panjang sebagai tanggapan atas meningkatnya kegiatan perjuangan maupun kompleksitas risiko yang dihadapi oleh perbankan. Bank-bank tidak lagi hanya menjual produk dan jasa perbankan saja, melainkan juga produk-produk keuangan lainnya menyerupai contohnya asuransi (bancassurance), assetbacked securities (efek beragun aset) dan reksadana sehingga sehingga diharapkan pengawasan yang lebih komleks. Oleh lantaran itu, Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas bank akan menyempurnakan sistem pengawasan bank dengan terus berbagi metode pengawasan bank yang berbasis pada risiko (risk-based supervision) serta melaksanakan konsolidasi organisasi pengawasan bank yang ada di Bank Indonesia. Pembenahan ke dalam yang akan dilakukan oleh Bank Indonesia dalam bentuk reorganisasi struktur pengawasan bank diharapkan untuk memenuhi tuntutan adanya dedicated team yang akan melaksanakan fungsi pengawasan yang berbasis risiko. Selain untuk meningkakan efektivitas pengawasan, konsolidasi organisasi pengawasan bank yang ada di Bank Indonesia juga ditujukan untuk memperkuat pelaksanaan enforcement atas ketentuan dan kebijakan perbankan yang telah dibentuk oleh Bank Indonesia.

Kualitas administrasi dan operasional perbankan

Terciptanya industri perbankan yang kuat merupakan harapan kita semua dan untuk mewujudkannya diharapkan peningkatan kualitas administrasi dan operasional perbankan. Masalah tersebut terkait sekali dengan Pilar Keempat API yang menyangkut banyak sekali jadwal untuk membuat industri perbankan yang kuat. Peningkatan kualitas administrasi bank diharapkan untuk meningkatkan good corporate governance dari administrasi bank itu sendiri, sehingga praktek-praktek perbankan yang tidak sehat (improper behaviour) sanggup diminimalisir atau dihilangkan. Selanjutnya peningkatan kualitas administrasi bank juga diharapkan untuk memperkecil terjadinya risiko-risiko bank khususnya operational risk yang pada akhir-akhir ini terjadi pada kasus fraud di Bank BNI dan BRI. Risiko operasional sangat gampang terjadi pada sistem, mekanisme maupun sumber daya insan apabila administrasi bank tidak mempunyai kualitas administrasi yang baik. Untuk itu, API merekomendasikan risk manager yang ada pada bank-bank untuk disertifikasi sehingga semua risk manager memiliki kompetensi yang memadai dalam mengelola risiko bank.  Disamping perlunya kualitas administrasi yang baik, mendasar perbankan kita juga perlu didukung dengan adanya operasional perbankan yang efisien. Kinerja bank yang efisien memungkinkan bank-bank untuk menekan biaya serendah mungkin sehingga bank tersebut bisa meningkatkan profitabilitasnya. Untuk itu API telah merekomendasikan bank-bank untuk memanfaatkan pemakaian fasilitas operasional perbankan secara tolong-menolong (shared facilities) menyerupai contohnya pemakaian ATMs dan back office, sehingga bank-bank sanggup mencapai economies of scales.

Infrastruktur pendukung

Kehadiran infrastruktur pendukung perbankan sangat dibutuhkan untuk menunjang industri perbankan yang kuat. Pentingnya infrastruktur pendukung bagi perbankan telah diakomodasi di dalam Pilar Kelima API. Dari sekian banyak infrastruktur pendukung yang dibutuhkan oleh perbankan, yang merupakan prioritas ialah tersedianya credit bureau yang sangat dibutuhkan oleh perbankan untuk memperbaiki dan mempercepat proses santunan kredit dari bank kepada debiturnya. Konsep credit bureau disini ialah tersedianya data historis kondisi keuangan calon debitur sehingga dengan adanya credit bureau tersebut bank mempunyai kapasitas untuk meningkatkan kualitas kredit sekaligus mengurangi potensi risiko kredit yang akan muncul. Disamping itu, konsepcredit bureau tersebut memungkinkan terjadi clearing informasi diantara semua forum keuangan bank termasuk BPR maupun bukan forum keuangan bukan serta perusahaan-perusahaan ritel sehingga seseorang yang pernah mempunyai kredit macet di perusahaan leasing akan sulit memperoleh kredit dari suatu bank. Konsep credit bureau yang telah dimiliki oleh negara-negara maju bahkan telah memasukkan tunggakan rekening listrik dan rekening telpon ke dalam sistem isu credit bureau, sehingga seseorang yang pernah menunggak pembayaran listrik akan mengalami kesulitan membuka rekening di bank kecuali yang bersangkutan harus melunasi utangnya terlebih dahulu.

Perlindungan konsumen

Perlindungan konsumen perbankan merupakan salah satu permasalahan yang hingga ketika ini belum mendapat tempat yang baik di dalam sistem perbankan nasional. Untuk itulah masalah proteksi dan pemberdayaan konsumen tersebut mendapat perhatian khusus di dalam Pilar Keenam API. Dengan mengangkat masalah proteksi konsumen tersebut ke dalam API, hal ini memperlihatkan besarnya kesepakatan Bank Indonesia dan perbankan untuk menempatkan konsumen jasa perbankan mempunyai posisi yang sejajar dengan bank-bank. Seringkali kita melihat bahwa nasabah selalu lemah atau pada posisi yang kurang diuntungkan apabila terjadi kasus-kasus perselisihan antara bank dengan nasabahnya, sehingga nasabah dirugikan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perbankan tolong-menolong dengan masyarakat akan mempunyai beberapa acara yang bertujuan untuk memperkuat proteksi konsumen. Agenda tersebut ialah dengan menyusun mekanisme pengaduan nasabah, membentuk forum mediasi perbankan (ombudsman), meningkatkan transparansi isu produk dan melaksanakan edukasi produk-produk dan jasa bank kepada masyarakat luas. Dari beberapa jadwal tersebut, pendirian ombudsman untk konsumen perbankan merupakan suatu hal gres bagi kita lantaran ketika ini dirasakan belum ada forum khusus yang menangani perselisihan antara bank dengan konsumen bank menyerupai halnya di beberapa negara lain.

TANTANGAN KEDEPAN API

1. Kapasitas pertumbuhan kredit perbankan yang masih rendah

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dalam waktu lima tahun ke depan, diharapkan pertumbuhan kredit perbankan yang cukup besar. Sementara itu, kemampuan permodalan perbankan Indonesia ketika ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan kredit yang cukup tinggi tersebut sulit dicapai kalau perbankan nasional tidak memperbaiki kondisi permodalannya. Selain kendala dalam hal permodalan bank, penyaluran kredit dalam banyak hal juga terhambat oleh keengganan sebagian bank untuk menyalurkan kredit lantaran kemampuan administrasi risiko dan core banking skills yang relatif belum baik, dan biaya operasional yang relatif tinggi.

2. Struktur perbankan yang belum optimal

Belum optimalnya struktur perbankan di Indonesia ditandai oleh terkonsentrasinya struktur perbankan hanya pada 11 bank besar (yang menguasai 75% aset perbankan Indonesia). Namun demikian bank-bank kecil dalam hal ini perlu mendapat perhatian lantaran selain jumlahnya relatif banyak, bank-bank kecil tersebut juga mempunyai cakupan perjuangan yang relatif sama dengan bank-bank besar namun dengan kemampuan operasional, administrasi risiko, dan corporate governance yang relatif lebih terbatas. Demikian pula, dibandingkan dengan negara-negara lain, kepemilikan pemerintah Indonesia dalam perbankan nampak cukup tinggi, bahkan tertinggi di daerah Asia. Hal ini juga merupakan duduk kasus tersendiri terhadap struktur perbankan lantaran sanggup mengakibatkan konflik kepentingan yang akan mengganggu efisiensi pasar.

3. Pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan perbankan yang dinilai oleh masyarakat masih kurang

Kurangnya pemenuhan kebutuhan masyarakat atas pelayanan perbankan ditandai dengan seringnya terdengar keluhan dari masyarakat mengenai kurangnya terusan terhadap kredit dan tingginya suku bunga kredit serta masih banyaknya praktek penyediaan jasa keuangan informal. Pandangan masyarakat semacam ini cukup beralasan, lantaran walaupun kredit korporasi dan UKM sudah mulai tumbuh, tingkat penetrasi kredit masih relatif rendah. Selain itu, meningkatnya kompleksitas jasa dan produk keuangan sebagai akhir dari globalisasi sektor keuangan juga memerlukan respons yang memadai dari banyak sekali pihak yang terkait. Hal ini semakin penting mengingat masyarakat pengguna jasa keuangan khususnya perbankan semakin menuntut kualitas pelayanan dan terusan perbankan yang semakin tinggi.

4. Pengawasan bank yang masih perlu ditingkatkan

Pengawasan bank juga merupakan bidang yang memerlukan peningkatan dan penyempurnaan. Hal ini disebabkan lantaran masih terdapatnya beberapa prinsip-prinsip prudensial yang masih belum diterapkan secara baik, koordinasi pengawasan yang masih perlu ditingkatkan, kemampuan SDM pengawasan yang belum optimal, dan pelaksanaan law-enforcement pengawasan yang belum efektif. Secara keseluruhan, upaya peningkatan kapabilitas pengawasan ini sejalan dengan perjuangan Bank Indonesia untuk menerapkan 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision, termasuk meningkatkan sarana teknologi pengawasan. Mengingat pengawasan bank merupakan bidang yang sangat dinamis dan luas cakupannya, maka peningkatan kualitas pengawasan merupakan upaya yang patut dilaksanakan secara terus menerus oleh Bank Indonesia maupun oleh forum lainnya menyerupai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada saatnya nanti.

5. Kapabilitas perbankan yang masih lemah

Lemahnya kapabilitas perbankan ditandai dengan kurangnya corporate governance dan core banking skills pada sebagian besar perbankan sehingga diharapkan perbaikan yang cukup mendasar pada dua hal tersebut. Meskipun kapabilitas beberapa bank besar sudah cukup kuat, namun kapabilitas perbankan secara umum masih di bawah international best practices. Demikian pula kemampuan bank dalam me-respon meningkatnya risiko operasional masih perlu terus diperbaiki, terutama penekanannya pada pentingnya internal control dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip prudensial.

6. Profitabilitas dan efisiensi operasional bank yang tidak sustainable

Tingkat profitabilitas dan efisiensi operasional yang dicapai oleh perbankan pada umumnya bukan merupakan profitabilitas dan efisiensi yang sustainable. Hal ini disebabkan oleh lemahnya struktur aktiva produktif bank-bank. Margin yang diperoleh bank-bank semakin mengecil lantaran adanya kecenderungan suku bunga yang menurun.

Faktor lain dari tidak sustainable-nya profitibilitas dan efisiensi ialah lantaran sebagian pendapatan perbankan berasal dari aktivitas trading yang fluktuatif serta rendahnya rasio asset per nasabah yang membuat biaya operasional perbankan Indonesia relatif tinggi dibandingkan negara-negara lain.

7. Perlindungan nasabah yang masih harus ditingkatkan

Perlindungan terhadap nasabah merupakan tantangan perbankan yang besar lengan berkuasa secara eksklusif terhadap sebagian besar masyarakat kita. Oleh lantaran itu, menjadi tantangan yang sangat besar bagi perbankan dan Bank Indonesia serta masyarakat luas untuk secara tolong-menolong membuat standar-standar yang terang dalam membentuk mekanisme pengaduan nasabah dan transparansi isu produk perbankan. Di samping itu, edukasi pada masyarakat mengenai jasa dan produk yang ditawarkan oleh perbankan perlu segera diupayakan sehingga masyarakat luas sanggup lebih memahami risiko dan laba yang akan dihadapi dalam memakai jasa dan produk perbankan.

8. Perkembangan Teknologi Informasi

Kemajuan teknologi isu ikut menambah tantangan yang dihadapi oleh perbankan. Perkembangan teknologi isu (TI) menimbulkan makin pesatnya perkembangan jenis dan kompleksitas produk dan jasa bank sehingga risiko-risiko yang muncul menjadi lebih besar dan bervariasi. Disamping itu, persaingan industri perbankan yang cenderung bersifat global juga menimbulkan persaingan antar bank menjadi semakin ketat sehingga bank-bank nasional harus bisa beroperasi secara lebih efisien dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Mari Berteman ^^
David Iskandar | Create Your Badge

Sumber http://belajarperbankangratis.blogspot.com

0 Response to "Arsitektur Perbankan Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel