iklan

Biografi Ulama - Kh. Imam Yahya Mahrus Lirboyo

 terjadi sebuah aksi Belanda yang dikenal sebagai  Biografi Ulama - KH. Imam Yahya Mahrus Lirboyo
Pada tahun 1948 hingga 1949 terjadi sebuah aksi Belanda yang dikenal sebagai “aksi polisional kedua”. Di dikala itu, KH. Mahrus Aly menghimbau seluruh santri Lirboyo untuk mengungsi ke beberapa kawasan termasuk di bawah kaki gunung Klotok, Mojokudi, sementara Nyai Hj. Zainab diungsikan bersama dzurriyah putri lainnya di kediaman KH. Marzuqi Dahlan.


Selang beberapa dikala sesudah santri-santri kembali ke Lirboyo, lahirlah seorang bayi mungil dari rahim Nyai Hj. Zainab yang diberi nama Imam Yahya. Beliau lahir kolam seorang pemenang di dikala suasana genting menyelimuti langit Kediri. Memang belum terperinci ihwal kepastian tanggal dilahirkannya Imam Yahya.

Namun berdasarkan Agus Reza (putra pertama Kiai Imam Yahya), dari surat-surat yang ada, tertera dia lahir pada 01 Agustus 1949. KH. Mahrus (ayahanda Kiai Imam) memberi nama Imam Yahya yang diambil dari nama pemimpin Yaman tahun 40-an, Imam Yahya yang berjuluk Amir al-Muslimin, spesialis politik, seni administrasi dan ilmu alat (Nahwu-Sharaf). Tentu, harapannya kelak Imam Yahya menjadi sosok menyerupai Imam Yahya, Sang Amir al-Muslimin.

Masa Kecil dan Pendidikan KH Imam Yahya Mahrus


Kiai Imam Yahya lahir di tengah-tengah keluarga pesantren. Paman, kakek serta ayahandanya merupakan ulama-ulama besar, sehingga kehadiran dia yaitu impian besar bagi perkembangan dunia pesantren. Di masa kecilnya, Kiai Imam mendapat pengawasan penuh dari KH. Mahrus Aly dan Ibunda Nyai Zainab. Tempaan ilmu agama terus ditanamkan oleh KH. Marus Aly dalam kepribadian Kiai Imam.

Setiap malam Kiai Imam sorogan al-Qur’an kepada ayahandanya. Tak jarang, dengan nada tegas KH. Mahrus Aly membenarkan pelafalan makhraj Kiai Imam, “Kalau Hamzah itu harus mangap (membuka mulut) sembari mengepalkan tangan dia ke ekspresi kiai Imam. Pernah juga suatu ketiak dikala jalan-jalan bersama sang ayah.

Baca juga : Biografi KH. Mahrus Aly Lirboyo

Kiai Imam melihat buruh angkut kemudian sang ayah berkata “Lihatlah kepada orang-orang itu yang kerjaannya mengangkut barang-barang, cobal bila mereka mempunyai ilmu yang tinggi maka mereka niscaya akan mempunyai profesi yang lebih layak”, dengan maksud semoga Kiai Imam lebih bersemangat dalam menimba ilmunya. Demikianlah KH. Mahrus Aly terus mendidik putranya semoga menjadi sosok yang disiplin, tegas, berani serta mempunyai motivasi tinggi dalam belajar.

Bisikan menuju Sarang.


Ketika mulai menginjak usia 20-an, Kiai Imam sering diajak KH. Mahrus Aly untuk “nderekaken” (mengikuti) ke manapun dia pergi. Sekitar tahun 1968, dalam sebuah perjalanan di derah Trowulan, Mojokerto, sempurna di depan sebuah lokasi –yang konon- bekas petilasan kerajaan Majapahit, Kiai Imam mendengar bunyi orang tak dikenal, entah dari mana asalnya, “Awakmu sesuk mangkato mondok neng Sarang, ojo ngomong sopo-sopo, sangu sak cukupe, ojo kondo sopo-sopo” (Besok, berangkatlah nyantri ke Sarang, jangan bilang siapa-siapa, bawalah bekal secukupnya, jangan bilang siapa-siapa).

Keesokan harinya dia pribadi berangkat ke Sarang dengan membawa bekal 25 perak, yang dikira oleh ibu serta pamannya, Kiai Imam kabur dari rumah dan menjalani profesi sopir atau kernet menyerupai yang pernah dilakukannya. KH. Marzuqi Dahlan prihatin atas kaburnya Kiai Imam. Keluarga sangat panik dan khawatir ihwal keberadaan Kiai Imam. Usaha pencarin untuk menemukan keberadaan dia dilakukan ke aneka macam penjuru tanah Jawa hingga Jakarta. Setelah tiga bulan tidak ditemukan, kabarpun datang, bahwa Kiai Imam sudah mondok di Sarang.

Awal perjalanan Kiai Imam menimba ilmu di Sarang, dia bertemu dengan KH. Zubair (ayahanda KH. Maimun Zubair). Anehya, Kiai Imam malah pribadi disuruh menemui dan ikut KH. Maimun. Padahal Kiai Imam bermaksud nyantri kepada KH. Zubair. Akhirnya Kiai Imam diterima sebagai santri pertama KH. Maimun Zubair.

Beberapa bulan di Sarang, Kiai Imam belum mengikuti salah satu pengajian yang diadakan di pondok. Keadaan demikian menciptakan dia gusar dan aib kepada Kiai Maimun. Kemudian dia memutuskan untuk mengikuti ngaji di kelas 5, sesudah dua ahad dia tidak betah alasannya tidak paham dengan pelajaran kelas 5. Tapi anehnya, dia malah mau pindah naik ke kelas 6. Baru 2 ahad juga Kiai Imam tidak betah di kelas 6 dan mau naik ke kelas 1 Tsanawi, begitu seterusnya samapi kelas 3. Setiap kelas yang Kiai Imam ikuti pengajiannya, tidak lebih dari satu bulan. Setelah tamat dari tsanawiyah, Kiai Imam diajak ngaji kitab Nashaih al-Ibad oleh Kiai Maimun hingga khatam. Kitab lain yang pernah dikhatamkan bersama dia yaitu Alfiyah ibn Malik, Syarh Ibn Aqil, dsb.

Menurut KH. Abdullah Ubab (putra KH. Maimun), Kiai Imam juga pernah ngaji di hadapan Kiai Zubair kira-kira setahun. Kiai Imam pernah mengakui, “Aku seneng ngaji bahkan saya iso ngaji ya di sini”. Menurut Kiai Ubab, Kiai Imam dalam memuliakan Kiai Maimun sangat luar biasa, juga kepada keluarga kiai, guru-gurunya bahkan orang kampung sekitar pondok, ia bakir mencari perhatian orang-orang di sekitanya, seolah menjadi talenta dan menerangkan dia akan menjadi ulama yang merakyat.

Menuntut ilmu di Makkah dan Madinah

Untuk menambah wawasan, KH. Mahrus Aly memerintahkan Kiai Imam semoga melanjutkan studinya ke Timur Tengah. Tepat tahun 1974, Kiai Imam berangkat menuntut ilmu ke Saudi Arabia bersaman dengan sang ayah menunaikan ibadah haji. Setelah dua tahun di Makkah, kemudian dia berguru di Universitas Islam Madinah al-Munawwarah. Beliau banyak berguru dari para ulama terkemuka di sana, di antaranya Sayyid Alawi al-Maliki, Syekh Yasin al-Padani, Dr. Muhammad Abduh al-Yamani, dsb. 

Berbagai macam fatwa dari aneka macam aliran agama Islam telah dia pelajari sehingga wawasan ihwal aliran hingga perbedaan pendapat dalam ulama Islam semakin luas. Meski demikian, kepercayaan pesantren tak menciptakan Kiai Imam bergeser dari paham aswaja. Mungkin dengan nuansa pembelajaran menyerupai itulah, perilaku dia semasa hidup selalu mengedepankan tasamuh atau toleransi ketika berinteraksi dengan siapa saja, dari kalangan apa saja, bahkan dengan komunitas non muslim sekalipun.

Tahun 1979, di Saudi Arabia terjadi gerakan teror dari komunitas oposisi yang disebut dengan “Hawadits Juhaiman”. Ketika itu Kiai Imam ingin melihat baku hantam antara dua kubu yang berseteru. Saat mengangkat kepala untuk melihat dari kajauhan, tanpa diduga peluru panas melesat dan mengenai pelipis mata sebelah kiri. Kiai Imam pribadi dilarikan ke rumah sakit untuk dilakukan operasi, dan Alhamdulillah Kiai Imam terselamatkan walaupun sempat beredar informasi kepada keluarga melalui media cetak bahwa Kiai Imam meninggal dunia.

Menikah dengan putri mursyid thariqat

Waktu terus bergulir, tiba saatnya di mana kiai Imam menikah. Beliau dijodohkan dengan Ning Zakiyah Miskiyah, putri KH. Muhammad Utsamn al-Ishaqi (Mursyid Thaqirat al-Qadiriyah wan-Naqsyabandiyah Surabaya). Beliau menikah di dikala Kiai Imam libur kuliah pada tahun 1978. Sebenarnya waktu itu dia masih dalam tahap berguru di kursi kuliah Universitas Islam Madinah. Setelah sebulan menikah, Ibu Nyai Zakiyyah ditinggal selama satu tahun oleh Kiai Imam untuk melanjutkan kembali studinya di Madinah. 

Pada tahun 1979 sang ayah meminta Kiai Imam pulang ke Indonesia sesudah dirasa luka tembak di pelipis sembuh. Mulailah Kiai Imam menahkodai rumah tangga dengan Ning Zakiyah di sebuah rumah kecil yang sederhana dengan satu kamar. Tak ada rasa keluh kesal dari keduanya, hingga ijab kabul ini melahirkan enam keturunan, 4 anak pria (Gus Reza, Gus Iing, Gus Nabil, Gus Izzul) dan 2 anak putri (Ning Etna, Neng Ochi). Kiai Imam yaitu sosok yang disegani oleh keluarga, Beliau populer tegas dalam mendidik, walaupun kepada putra-putrinya sendiri. Di balik ketegasannya, Kiai Imam mempunyai sifat adil dan bijaksana, dia tak membedakan putra-putrinya dalam segala hal bahkan uang saku.

Mendirikan kamar-kamar untuk “teman mukim”

Pada tahun 1985, KH. Mahrus Aly wafat. Semenjak itu, Kiai Imam melaksanakan amanat dan wasiat sang ayah, termasuk mendidik santri, dia memulainya dengan membantu mengurusi pondok HMC dan berbagi perguruan Tinggi Universitas Islam Tribakti (UIT). Kiai Imam bersama keluarga menempati sebuah rumah yang memang sudah mulai dibangun semasa hidup sang ayah.

Ndalem timur merupakan awal mula Kiai Imam mempunyai santri. Awal mulanya hanya empat santri, namun bertahap para santri berdatangan untuk bermukim. Waktu itu, dia belum berniat mendirikan pesntren. Kiai Imam hanya berniat mengakibatkan santri-santri sebagai sobat mukim, dan membangunkan kamar-kamar untuk mereka. Hingga karenanya –dengan segala pengorbanan- wasiat sang ayah untuk membeli tanah di depan dan di utara rumah dia laksanakan untuk dibangun sebuah asrama yang kini menjadi gedung Hidayatul Mubatadi’in Putra, gedung MA dan MTs HM Tribakti serta Sekolah Menengah kejuruan al-Mahrusiyah. Awalnya, di tahun 1988, pesantren tersebut diberi nama Ibnu Rusyd diambil dari nama kecil Kiai Mahrus, kemudian bermetamorfosis HM. Putra dan berganti lagi menjadi al-Mahrusiyah (hingga sekarang).

Dalam kepengasuhannya, Kiai Imam sangat akrab dengan santri, tak heran bila semua santri akan merasa sebagai anak kandung ketika berhadapan/berinteraksi dengan beliau. Kiai Imam membimbing santri dengan penuh keikhlasan dan ketekunan. Beliau memimpin acara sorogan kitab kuning pukul 21.00. Beliau akan bertindak tegas pada siapapun yang terlihat loyo atau kurang bersemangat dalam mengaji. Untuk menempa spiritual para santri, menjelang 02.00 dini hari, dia juga selalu membangunkan santri untuk melaksanakan qiyam al-lail dan istighatsah. Cara Kiai Imam mendidik santri yaitu dengan member pola terlebih dahulu barulah santri dituntut berdikari setelahnya menyerupai salat jamaah, istighatsah, tahlil, dsb. Berkat ketekunan dan ketegasan Kiai Imam, al-Mahrusiyah kini mempunyai tiga cabang dengan aneka macam macam unit pendidikan, baik formal maupun non formal.

Kiprah di dunia akademik

Sepeninggal Kiai Mahrus Aly, Kiai Imam mendapat amanat untuk berbagi perguruan tinggi yang telah dirintis sang ayah semenjak 1966 yaitu Universitas Islam Tribakti yang kini menjadi Institut Agama Islam Tribakti (IAIT). Saat menjabat rektor, Tribakti hanya mempunyai tidak lebih dari dua gedung dengan beberapa ruang dan mahasiswa.

Untuk berbagi Tribakti, dia sangat aktif membuka koneksi denan pihak luar, inilah keistimewaan Kiai Imam. Beliau bisa berinteraksi dengan dunia pesantren dan dunia akademisi. Ketika di pondok, belia tak ubahnya kiai yang utun dalam mendidik santri. Ketika di kampus, dia layaknya seorang intelek, sering mengisi acara seminar, workshop, diskusi, pelatihan, sarasehan, dll. Di luar itu, dia juga sibuk dalam kepengurusan RMI Jawa Timur, hingga tak jarang dia sering terjun ke beberapa pesantren untuk berkonsolidasi. Maka dalam kehidupannya, Kiai Imam selalu mempertimbangkan aspek agama dan sosial. Di tangan Kiai Imam, Tribakti di sekitar tahun 1986 berkembang pesat dengan suplemen beberapa sarana prasarana dan fakultas yang awalnya hanya ada Tarbiyah dan Syari’ah, sebut saja fakultas Dakwah, Ekonomi, Hukum, Bahasa dan Pertanian.

Menghadap Sang Khaliq

Pada tahun 2004, Kiai Imam divonis oleh dokter mengidap diabetes tinggi, meski demikian aktifitas selalu dijalani dengan tabah. Hingga awal tahun 2011, kondisi dia semakin drop dan dilarikan ke RS. Gambiran Kediri. Kemudian dokter menyarankan semoga Kiai Imam dilarikan ke Graha Amerta Surabaya. Beliau terkena kanker paru-paru yang telah menjalar ke jalan masuk pernafasan. Semenjak itu, dia sering keluar masuk rumah sakit. Berbagai macam cara pengobatan ditempuh termasuk cara tradisional Shin Sei hingga penyakitnya berangsur-angsur pulih. Melihat kondisi yang semakin membaik, dia kembali aktif dalam aneka macam kegiatan, mengurusi pondok, kampus serta menemui tamu setiap harinya hingga kondisi kesehatan terlalaikan.

Menjelang final 2011, penyakit kanker dia kambuh dan bertambah parah. Beliau meminta untuk dirujuk ke RS. Graha Amerta Surabaya. Sehari sebelum ke RS, dia menyempatkan untuk mengunjungi lahan ekspansi pondok di ds. Ngampel, Mojoroto. Setelah mengukur sepetak tanah, dia bilang kepada mandor tukang “ini kawasan kuburan saya”. Dan benar, sesudah dirawat di Surabaya, tanggal 14 januari 2012 dia dipanggil oleh Allah SWT. Mulanya dia merasa kesakitan di kepingan perut hingga sang istri mengeroki punggung dia alasannya dirasa masuk angin. Beliau berencana untuk pulang ke Lirboyo tercinta, sesaat kemudian dia pamit untuk tidur, akan tetapi dia tertidur untuk selamanya.

Sumber http://d0w3r.blogspot.com/

0 Response to "Biografi Ulama - Kh. Imam Yahya Mahrus Lirboyo"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel