iklan

Kesalahan Dalam Memperbaiki Kualitas Pendidikan Indonesia

Kesalahan Dalam Memperbaiki Kualitas Pendidikan Indonesia Kesalahan Dalam Memperbaiki Kualitas Pendidikan IndonesiaSekelumit kisah ungkapan hati ini terjadi lebih dari setengah masa yang lalu, tetapi relevansinya masih ada hingga ketika ini. Padahal, aneka macam kemajuan dunia telah tercapai dengan demikian pesatnya. Namun, ternyata kemajuan pendidikan memang menjadi salah satu pengecualian.

Lambang pendidikan memang biasa digambarkan dengan angka. Entah bagaimana asal muasalnya, tetapi yang terang angka-angka itulah yang nyaris selalu menjadikan duduk perkara besar bagi pelajar.

Yang salah harus disalahkan, yang benar harus dibenarkan, jangan menggunakan idiom jangan saling menyalahkan. Kalau dalil ini dipakai, siapa lagi kalau bukan pemerintah yang patut bertanggung jawab.
Selain berguru cara berpura-pura sakit, tidak banyak yang kudapat dari sekolah tahun itu, pelajaran yang kudapat tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata. Sering saya tidak mengerti mengapa guruku lebih memerhatikan jumlah hitunganku yang salah dan sama sekali tidak tertarik pada permainan yang kulakukan diluar sekolah. ____Sally Morgan, "My Place", 1983

Teramat banyak kebijakan tak sempurna yang dibuat. Sebaliknya, jangan terlalu menyalahkan para siswa bila lebih suka tidur di kelas atau mangkir berpura-pura sakit. Siswa tidak lagi sibuk memikirkan pelajaran, tetapi terlampau sibuk mencemaskan nasib mereka. Nasib lulus ujian nasional atau lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru.

SUPERIORITAS EKSAKTA


Penguatan superioritas eksakta dalam alam pendidikan semakin tampak dalam salah satu event besar Departemen Pendidikan Nasional. Kompetisi primadona yang menjadi obsesi besar para pelajar ialah Olimpiade Sains (OS).

Tak sanggup disangkal, kilau gemilang prestasi pelajar-pelajar Indonesia di kancah OS internasional begitu berbinar-binar. Tak syak lagi kilau tersebut mengundang perhatian aneka macam kalangan yang kemudian menilai bahwa bekerjsama sumber daya insan kita memiliki potensi besar, tak kalah dengan negara-negara lain, bahkan negara barat sekalipun.

Birokrasi pendidikan dengan konyolnya lagi menganggap mutu pendidikan Indonesia semakin meningkat dengan pencapaian tersebut. Kilau semakin menyilaukan ketika dinyatakan, dalam beberapa tahun mendatang akan lahir peraih-peraih Nobel dari Indonesia dengan bermodalkan pelajar-pelajar berprestasi luar biasa ini.

Optimisme menyerupai itu terlalu absah untuk diremehkan. Realitas bahwa ada pelajar-pelajar berbakat tak bisa disanggah lagi. Sayangnya, cara pencarian dan pengolahan talenta tersebut dilakukan dengan sangat mengecewakan.

Bakat-bakat terpendam yang dimiliki oleh pelajar kita tidak cukup digali hanya lewat OS. Apalagi mengukur kualitas pendidikan dengan capaian OS. Ukurannya masih kelewat absurd.

Lihatlah betapa menyesatkan dengan apa yang disebut menang itu. Ketika seorang pelajar berdiri dalam upacara pengalungan medali sambil diiringi lagu kebangsaan, sesungguhnya kemenangannya telah tidak berlaku lagi.

Sebab kalau seusai pengalungan medali pertandingan dimulai lagi, belum tentu menang lagi. Tak apalah kalau yang digunakan ialah majas sinekdoke totem pro party. Namun, keterwakilan tersebut ialah sampel kelas, bukan random sehingga jangkauan mutu sangat lebar jaraknya.

TERLALU INSTAN


Kompetisi menyerupai OS bisa dikatakan serumpun pula dengan kompetisi pemilihan idola di televisi, terlalu instan untuk dianugerahi predikat superstar. Pembinaan sporadis dan cenderung dadakan dengan cara men-drill siswa sebulan penuh dalam karantina telah mafhum kurang sesuai dengan kaidah pedagogis.

Kekecewaan bertambah pula dengan berpindahnya minat pelajar berprestasi spesifik ke disiplin ilmu lain. Capaian yang susah payah dibangun mubazir saja tinggal kenangan indah yang terukir di medali-medali kejuaraan.

Dari legalisasi beberapa mitra berprestasi internasional terungkap bahwa partisipasi mereka dalam kancah OS hanyalah alasannya terdorong oleh hobi belaka dan bukan merupakan bidang yang betul-betul mereka minati untuk ditekuni seumur hidupnya. Sungguh menakjubkan, hobi yang bisa ”menambang emas”.

Implikasi lebih jauh (seperti yang telah tersebut pada awal) ialah penciptaan pembagian terstruktur mengenai pelajar ndeso pandai dengan ukuran pencapaian dalam OS yang kemudian berbuntut panjang pada jomplangnya jalan masuk mutu pendidikan di antara dua kelas ekstrem ini.

Anehnya, akomodasi lebih banyak diberikan kepada pelajar pandai dan bukannya kepada pelajar bodoh. Sedikit cerita, seorang ayah siswa peraih emas olimpiade internasional dengan menggebu-gebu membeberkan idenya (yang akan disampaikan kepada bupati setempat) kepada penulis yang pada dasarnya ialah pembentukan kelas unggulan bagi pelajar berprestasi untuk dipersiapkan sebagai peserta aneka macam kompetisi.

Menurut pengalaman penulis, yang membutuhkan akomodasi lebih itu bukan siswa pandai, tetapi sebaliknya. Siswa-siswa pandai telah bisa menyebarkan dirinya secara personal dan mereka cenderung telah memahami apa yang harus mereka lakukan.

Baru-baru ini dilontarkan lagi pentingnya memaksimalkan kemampuan pelajar ber-IQ luar biasa. Ironisnya, jarang sekali disuarakan pentingnya akomodasi lebih bagi pelajar ber-IQ rendah.

Baiklah, barangkali banyak pihak terobsesi untuk melahirkan peraih Nobel. Namun, mohon diingat, kita bukanlah pungguk merindukan medali apalagi Nobel! [Ahmad R. Darojat, Peraih Medali Emas Olimpiade Sains Nasional 2007 Bidang Ekonomi]

Video pilihan khusus untuk Anda 😊 Bagaiamana kisah sukses Cristiano Ronaldo;
Kesalahan Dalam Memperbaiki Kualitas Pendidikan Indonesia Kesalahan Dalam Memperbaiki Kualitas Pendidikan Indonesia


Sumber http://www.defantri.com

0 Response to "Kesalahan Dalam Memperbaiki Kualitas Pendidikan Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel