Apa Perbedaan Mou Denga Perjanjian?
A. Nota Kesepahaman
Nota Kesepahaman atau juga biasa disebut dengan Memorandum of Understanding ("MoU") atau pra-kontrak, intinya tidak dikenal dalam aturan konvensional di Indonesia. Akan tetapi dalam praktiknya, khususnya bidang komersial, MoU sering dipakai oleh pihak yang berkaitan.
MoU merupakan suatu perbuatan aturan dari salah satu pihak (subjek hukum) untuk menyatakan maksudnya kepada pihak lainnya akan sesuatu yang ditawarkannya ataupun yang dimilikinya. Dengan kata lain, MoU pada dasarnya merupakan perjanjian pendahuluan, yang mengatur dan menunjukkan kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum membuat perjanjian yang lebih terperinci dan mengikat para pihak pada nantinya.
1) MoU merupakan pendahuluan perikatan (landasan kepastian);
2) Content/isi bahan dari MoU hanya memuat hal-hal yang pokok-pokok saja;
3) Dalam MoU memilki tenggang waktu, dengan kata lain bersifat sementara;
4) MoU pada kebiasaannya tidak dibentuk secara formal serta tidak ada kewajiban yang memaksa untuk dibuatnya kontrak atau perjanjian terperinci; dan
5) Karena masih terdapatnya keraguan dari salah satu pihak kepada pihak lainnya, MoU dibentuk untuk menghindari kesulitan dalam pembatalan.
B. Perjanjian
Perjanjian merupakan suatu kejadian di mana salah satu pihak (subjek hukum) berjanji kepada pihak lainnya atau yang mana kedua belah dimaksud saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sanggup dipahami bahwa suatu perjanjian mengandung unsur sebagai berikut:
a) Perbuatan
Frasa “Perbuatan” wacana Perjanjian ini lebih kepada “perbuatan hukum” atau “tindakan hukum”.Hal tersebut dikarenakan perbuatan sebagaimana dilakukan oleh para pihak menurut perjanjian akan membawa akhir aturan bagi para pihak yang memperjanjikan tersebut.
b) Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih
Perjanjian hakikatnya dilakukan paling sedikit oleh 2 (dua) pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling menunjukkan pernyataan satu sama lain. Pihak tersebut yaitu orang atau tubuh aturan (subjek hukum).
c) Mengikatkan diri
Di dalam perjanjian terdapat unsur komitmen yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Artinya, terdapat akhir aturan yang muncul lantaran kehendaknya sendiri.
Adapun suatu Perjanjian sanggup menjadi sah dan mengikat para pihak maka perjanjian dimaksud haruslah memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPer, yang menyatakan:
1) Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibentuk terutama mengingat dirinya orang tersebut;.
2) Cakap untuk membuat perikatan.
Para pihak bisa membuat suatu perjanjian, dalam hal ini tidak tekualifikasi sebagai pihak yang tidak cakap aturan untuk membuat suatu perikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPer.
Dalam hal suatu perjanjian yang dibentuk oleh pihak yang tidak cakap sebagaimana tersebut di atas, maka Perjanjian tersebut batal demi aturan (Pasal 1446 KUHPer).
3) Suatu hal tertentu.
Perjanjian harus memilih jenis objek yang diperjanjikan. Dalam hal suatu perjanjian tidak memilih jenis objek dimaksud maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Sebagaimana Pasal 1332 KUHPer memilih bahwa hanya barang-barang yang sanggup diperdagangkan yang sanggup menjadi obyek perjanjian. Selain itu, menurut Pasal 1334 KUHPer barang-barang yang gres akan ada di lalu hari sanggup menjadi obyek perjanjian kecuali jikalau dihentikan oleh undang-undang secara tegas.
4) Suatu alasannya yaitu atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada ketika perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal yaitu batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Sebagaimana Pasal 1335 KUHPer menyatakan suatu perjanjian yang tidak menggunakan suatu alasannya yaitu yang halal, atau dibentuk dengan suatu alasannya yaitu yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.
C. Kekuatan Hukum antara MoU dan Perjanjian
Sejatinya, MoU belumlah melahirkan suatu Hubungan Hukum lantaran MoU baru merupakan persetujuan prinsip yang dituangkan secara tertulis. Sehingga sanggup ditarik kesimpulan, MoUyang dituangkan secara tertulis gres membuat suatu awal yang menjadi landasan penyusunan dalam melaksanakan korelasi hukum/perjanjian.
Kekuatan mengikat dan memaksa MoU intinya sama halnya dengan perjanjian itu sendiri. Walaupun secara khusus tidak ada pengaturan wacana MoU dan bahan muatan MoU itu diserahkan kepada para pihak yang membuatnya.
Di samping itu, walaupun MoU merupakan perjanjian pendahuluan, bukan berarti MoU tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa bagi para pihak untuk mentaatinya dan/atau melaksanakannya.
Perhatikan Isinya bukan Namanya
Terkadang, ada perjanjian yang diberi nama MoU. Artinya, penamaan dari dokumen tersebut tidak sesuai dengan isi dari dokumen tersebut. Sehingga MoU tersebut mempunyai kekuatan aturan mengikat sebagaimana perjanjian.
Dalam hal suatu MoU telah dibentuk secara sah, memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebut dalam Pasal 1320 KUHPer, maka kedudukan dan/atau keberlakuan MoU bagi para pihak sanggup disamakan dengan sebuah undang-undang yang mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Tentu saja pengikat itu hanya menyangkut dan sebatas pada hal-hal pokok yang termuat dalam MoU.
Maka menurut klarifikasi tersebut di atas, sanggup disimpulkan bahwa mengenai kekuatan aturan dari MoU sanggup mengikat para pihak, apabila content/isi dari MoU tersebut telah memenuhi unsur perjanjian sebagaimana telah diuraikan di atas, dan bukan sebagai pendahuluan sebelum membuat perjanjian, sebagaimana maksud pembuatan MoU sebenarnya.
Sumber: Hukum Online
Sumber http://belajarperbankangratis.blogspot.com
0 Response to "Apa Perbedaan Mou Denga Perjanjian?"
Posting Komentar