iklan

Biografi Ulama | Kh. M. Munawir Dari Krapyak Yogyakarta

 atau yang lebih dikenal dengan nama Kyai Hasan Besari tangan kanan Pangeran Diponegoro Biografi Ulama | KH. M. Munawir Dari Krapyak Yogyakarta
Dahulu, ada seorang ulama p0juang, KH. Hasan Bashari namanya, atau yang lebih dikenal dengan nama Kyai Hasan Besari tangan kanan Pangeran Diponegoro. Beliau sangat ingin menghafalkan Kitab Suci al-Quran namun terasa berat sehabis mencobanya berkali-kali. Akhirnya dia melaksanakan riyadhah dan bermujahadah, hingga suatu dikala Allah Swt. mengilhamkan bahwa apa yang dicita-citakan itu gres akan dikaruniakan kepada keturunannya.


Begitu pula anak beliau, KH. Abdullah Rosyad, selama 9 tahun riyadhah menghafalkan al-Quran, ketika berada di Tanah Suci Makkah, dia menerima wangsit bahwa yang akan dianugerahi hafal al-Quran ialah anak-cucunya.

KH. Abdullah Rosyad dikaruniai 11 orang anak dari 4 orang istri, salah satunya ialah KH. M. Munawwir yang merupakan buah ijab kabul dia dengan Nyai Khadijah (Bantul).

# Masa Belajar KH. M. Munawwir

Guru pertama dia ialah Ayah dia sendiri. Sebagai targhib (penyemangat) nderes al-Quran, Sang Ayah menunjukkan hadiah sebesar Rp 2,50 kalau dalam tempo satu minggu sanggup mengkhatamkannya sekali. Ternyata hal ini terealisasi dengan baik, bahkan terus berlangsung sekalipun hadiah tak diberikan lagi.

KH. M. Munawwir tidak hanya berguru qira’at (bacaan) dan menghafal al-Quran, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang dia timba dari para ulama di masa itu, diantaranya
  • KH. Abdullah (Kanggotan – Bantul)
  • KH. Kholil (Bangkalan – Madura
  • KH. Shalih (Darat – Semarang)
  • KH. Abdurrahman (Watucongol – Magelang)
Setelah itu, pada tahun 1888 M. dia melanjutkan pengajian al-Quran serta pengembaraan menimba ilmu ke Haramain (dua Tanah Suci), baik di Makkah al-Mukarramah maupun di Madinah al-Munawwarah. Adapun Guru-guru dia di sana antara lain:
  • Syaikh Abdullah Sanqara
  • Syaikh Syarbini
  • Syaikh Mukri
  • Syaikh Ibrahim Huzaimi
  • Syaikh Manshur
  • Syaikh Abdus Syakur
  • Syaikh Mushthafa
  • Syaikh Yusuf Hajar (Guru dia dalam qira’ah sab’ah)
Pernah dalam suatu perjalanan dari Makkah ke Madinah, tepatnya di Rabigh, dia berjumpa dengan seorang renta yang tidak dia kenal. Pak Tua mengajak berjabat tangan, lantas dia minta didoakan biar menjadi seorang hafidz al-Quran sejati. Lalu Pak Tua menjawab: “Insyaa-Allah.” Menurut KH. Arwani Amin (Kudus), orang renta itu ialah Nabiyullah Khadhir As.

KH. M. Munawwir mahir dalam qira’ah sab’ah (7 bacaan al-Quran). Dan salah satunya ialah qira’ah Imam ‘Ashim riwayat Imam Hafsh. Berikut inilah Sanad Qira’ah Imam ‘Ashim riwayat Hafsh KH. M. Munawwir hingga kepada Nabi Muhammad Saw. yaitu dari:
  1. Syaikh Abdulkarim bin Umar al-Badri ad-Dimyathi, dari
  2. Syaikh Isma’il, dari
  3. Syaikh Ahmad ar-Rasyidi, dari
  4. Syaikh Mushthafa bin Abdurrahman al-Azmiri, dari
  5. Syaikh Hijaziy, dari
  6. Syaikh Ali bin Sulaiman al-Manshuriy, dari
  7. Syaikh Sulthan al-Muzahiy, dari
  8. Syaikh Saifuddin bin ‘Athaillah al-Fadhaliy, dari
  9. Syaikh Tahazah al-Yamani, dari
  10. Syaikh Namruddin ath-Thablawiy, dari
  11. Syaikh Zakariyya al-Anshari, dari
  12. Syaikh Ahmad al-Asyuthi, dari
  13. Syaikh Muhammad ibn al-Jazariy, dari
  14. Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Khaliq al-Mishri asy-Syafi’i, dari
  15. Al-Imam Abi al-Hasan bin asy-Syuja’ bin Salim bin Ali bin Musa al-‘Abbasi al-Mishri, dari
  16. Al-Imam Abi Qasim asy-Syathibi, dari
  17. Al-Imam Abi al-Hasan bin Huzail, dari
  18. Ibnu Dawud Sulaiman bin Najjah, dari
  19. Al-Hafidz Abi ‘Amr ad-Daniy, dari
  20. Abi al-Hasan ath-Thahir, dari
  21. Syaikh Abi al-‘Abbas al-Asynawiy, dari
  22. ‘Ubaid ibnu ash-Shabbagh, dari
  23. Al-Imam Hafsh, dari
  24. Al-Imam ‘Ashim, dari
  25. Abdurrahman as-Salma, dari
  26. Sadatina Utsman bin ‘Affan, ‘Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, ‘Ali bin Abi Thalib, dari
  27. Rasulullah Muhammad Saw. dari
  28. Robbul ‘Alamin Allah Swt. dengan perantaraan Malaikat Jibril As.
Beliau menekuni al-Quran dengan riyadhah, yakni sekali khatam dalam 7 hari 7 malam selama 3 tahun, kemudian sekali khatam dalam 3 hari 3 malam selama 3 tahun, kemudian sekali khatam dalam sehari semalam selama 3 tahun, dan terakhir ialah riyadhah membaca al-Quran selama 40 hari tanpa henti hingga verbal dia berdarah karenanya.

Setelah 21 tahun menimba ilmu di Tanah Suci, dia pun kembali ke kediaman dia di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1909 M.

# Akhlaq KH. M. Munawwir

KH. M. Munawwir selalu menentukan awal waktu untuk menunaikan shalat, lengkap dengan shalat sunnah Rawatibnya. Shalat Witir dia tunaikan 11 raka’at dengan hafalan al-Quran sebagai bacaannya. Begitu juga dalam mudawamah dia terhadap shalat Isyroq (setelah terbit matahari), shalat Dhuha dan shalat Tahajjud.

Beliau mewiridkan al-Quran tiap ba’da Ashar dan ba’da Shubuh. Walau sudah hafal, seringkali dia tetap memakai Mushaf. Bahkan kemanapun dia bepergian, baik berjalan kaki maupun berkendara, wirid al-Quran tetap terjaga. Beliau mengkhatamkan al-Quran sekali tiap satu minggu, yakni pada hari Kamis sore. Demikianlah dia mewiridkan al-Quran sejak berusia 15 tahun.

Waktu siang dia lewatkan dengan mengajarkan al-Quran, dan di waktu senggang dia masuk ke dalam kamar khusus (dahulu terletak di sebelah utara Masjid) untuk bertawajjuh kepada Allah Swt. Sedangkan di malam hari dia istirahat secara bergilir di antara istri-istri dengan demikian adilnya.

Beliau mempunyai 5 orang istri, adapun istri kelima, dinikahi sehabis wafatnya istri pertama, yakni;
  1. Nyai R.A. Mursyidah (Kraton Yogyakarta)
  2. Nyai Hj. Sukis (Wates Yogyakarta)
  3. Nyai Salimah (Wonokromo Yogyakarta)
  4. Nyai Rumiyah (Jombang – Jawa Timur)
  5. Nyai Khadijah (Kanggotan – Yogyakarta)
Begitulah KH. M. Munawwir hidup beserta keluarga di tengah ketenangan, kerukunan, istiqamah dan wibawa, dengan berkah al-Quran al-Karim.

Orang hafal al-Quran (Hafidz) yang dia akui ialah orang yang bertakwa kepada Allah, dan shalat Tarawih dengan hafalan al-Quran sebagai bacaannya.

Begitu besar pengagungan dia terhadap al-Quran, sampai-sampai ajakan Haflah Khatmil Alquran hanya dia sampaikan kepada mereka yang kalau memegang Mushaf al-Quran selalu dalam keadaan suci dari hadats.

Pernah terjadi seorang santri asal Kotagede dengan sengaja memegang Mushaf al-Quran dalam keadaan hadats. Setelah diusut oleh KH. M. Munawwir, risikonya santri tersebut mengakuinya. Atas pengakuannya, si santri dita’zir, kemudian dikeluarkan dari Pesantren dalam keadaan sudah menghafalkan al-Quran 23,5 juz.

Setiap setengah bulan sekali dia memotong rambut. Juga tak pernah diketahui membuka tutup kepala, selalu tertutup, baik itu dengan kopyah atau sorban maupun keduanya. Menggunting kuku selalu dia lakukan tiap hari Jum’at.

Pakaian dia sederhana namun tepat untuk melaksanakan ibadah, rapi dan bersetrika. Jubah, sarung, sorban, kopyah dan tasbih selalu tersedia. Pakaian dinas Kraton Yogyakarta selalu dia kenakan ketika menghadiri acara-acara resmi Kraton. Untuk bepergian, dia sering mengenakan baju jas hitam, sorban, dan sarung.

Beliau tidak suka makan hingga kenyang, terlebih lagi di bulan Ramadhan, yakni cukup dengan satu cawan nasi ketan untuk sekali makan. Jika ada pemberian pemberian dari orang, dia pergunakan sesuai dengan tujuan pemberinya. Jika ada kelebihan, maka akan dikembalikan lagi kepada pemberinya.

Walau dia termasuk dalam Abdi Dalem (anggota dalam) Kraton, namun dia tidak suka mendengarkan pementasan Gong Barzanji. Sebagai hiburan, dia bahagia sekali mendengarkan lantunan shalawat-shalawat, Burdah dan tentunya Tilawatil Quran.

Para santri dia perintahkan untuk berziarah di Pemakaman Dongkelan tiap Kamis sore. Tiap berziarah, dia membaca surat Yasin dan Tahlil. Apabila terjadi suatu insiden yang menyangkut ummat pada umumnya, dia mengumpulkan semua santri untuk gotong royong tawajjuh dan memanjatkan do’a kehadirat Allah, biasanya dengan membaca shalawat Nariyyah 4.444 kali atau surat Yasin 41 kali.

Selain mengasuh santri, dia tak lantas meninggalkan kiprah sebagai kepala rumah tangga. Tiap ba’da Shubuh, dia mengajar al-Quran kepada segenap keluarga dan pembantu rumah tangga. Nafkah dari beliau, baik untuk istri-istri maupun anak-anak, selalu cukup berdasarkan kebutuhan masing-masing. Suasana keluarga senantiasa tenang, tenteram, rukun, dan tidak sembarang orang keluar-masuk rumah selain atas ijin dan perkenan dari beliau.

Hampir-hampir dia tak pernah murka kepada santrinya, selain dalam hal yang mengharuskannya. Pernah suatu waktu dia tiduran di muka kamar santri, tiba-tiba bantal yang dia pakai diambil secara tiba-tiba oleh seorang santri, hingga terdengar bunyi kepala dia mengenai lantai. Lantas dia memanggil santri yang mengambil bantal tadi seraya berkata: “Nak… saya pinjam bantalmu, lantaran bantal yang saya pakai gres saja diambil oleh seorang santri.”

Seringkali dia menunjukkan sangu kepada santri yang mohon ijin pulang ke kampung halamannya, dan sangat memperhatikan kehidupan santri-santrinya. Para santri pun dianjurkan untuk bertamasya ke luar pesantren, biasanya sekali tiap setengah bulan, sebagai pelepas penat.

 Dakwah KH. M. Munawwir

Sepulang dari Makkah pada tahun 1909 M, dia lantas mendakwahkan al-Quran di sekitar kediaman dia di Kauman. Tepatnya di sebuah langgar kecil milik beliau, daerah tersebut kini sudah menjadi Gedung Nasyiatul ‘Aisyiyyah Yogyakarta.

Lantas pindah ke Gading, tinggal bersama abang beliau, KH. Mudzakkir. Namun lantaran aneka macam sebab, juga atas saran dari KH. Sa’id (Pengasuh Pesantren Gedongan, Cirebon), pada tahun 1910 M dia pun hijrah ke Krapyak sehabis selesainya pembangunan daerah tinggal dan komplek pesantren di sana, di tanah milik Bapak Jopanggung yang kemudian dibeli dengan uang amal dari Haji Ali.

Pada 15 November 1910, Pesantren Krapyak mulai ditempati untuk mengajar al-Quran. Dilanjutkan dengan pembangunan Masjid atas prakarsa KH. Abdul Jalil.

Konon, KH. Abdul Jalil dalam menentukan daerah untuk pembangunan masjid, ialah dengan menggariskan tongkatnya di atas tanah sehingga membentuk batas-batas wilayah yang akan dibangun masjid. Dengan kehendak Allah, wilayah yang dilingkupi garis itu tidak ditumbuhi rumput.

KH. M. Munawwir selalu mengerahkan segenap santri untuk melaksanakan amaliyah membaca surat Yasin tiap selesai pembangunan berlangsung. Pembangunan terus berlanjut secara bertahap, mulai dari masjid, jalan masuk jalan, dan gedung komplek santri hingga tahun 1930 M.

Di Pesantren Krapyak inilah dia memulai berkonsentrasi dalam pengajaran al-Quran. Para santri sangat menghormati beliau, bukan lantaran takut, melainkan lantaran haibah, wibawa beliau.

Pengajian pokok yang diasuh eksklusif oleh KH. M. Munawwir ialah Kitab Suci al-Quran, yakni terbagi atas 2 bagian; BIN-NADZOR (membaca) dan BIL-GHOIB (menghafal). Santri bermula dari surat al-Fatihah, lantas Lafadz Tahiyyat hingga dengan shalawat Aali Sayyidina Muhammad, kemudian surat an-Nas hingga surat an-Naba’, gres kemudian surat al-Fatihah diteruskan ke surat al-Baqarah hingga khatam surat an-Nas.

Selain itu, pengajian kitab-kitab juga digelar sebagai penyempurna. Suatu hari pada tahun 1910, seorang santri dari Purworejo, yang dianggap bisa oleh dia diperintahkan: “Ajarkanlah ilmu fiqh kepada santri-santri di hari Jum’at, biarlah mereka mengenal air.”

Begitu seterusnya berkembang, baik kitab fiqh maupun tafsir, makin menonjol disamping pengajian al-Quran yang utama. Beliau mengajar secara sistem MUSYAFAHAH, yakni sorogan, tiap santri eksklusif membaca di hadapan beliau. kalau ada kesalahan dia eksklusif membetulkannya.

Adab (Tata Krama) dalam pengajian al-Quran sangat dia tekankan kepada para santri. Berbagai hukum dan ta’ziran dia berlakukan terhadap para santri. Untuk santri yang telah khatam, maka dipanjatkanlah doa untuknya eksklusif oleh KH. M. Munawwir, lantas diberikanlah baginya sebuah Ijazah, yang pada dasarnya berisi legalisasi ilmu dari guru kepada muridnya serta Tarattubur-Ruwat (Urutan Riwayat) atau Sanad dari Sang Guru hingga kepada Rasulullah Saw. secara lengkap.

Banyak diantara murid-murid dia yang juga meneruskan usaha di kampung masing-masing, berupa mendakwahkan Islam pada umumnya, dan pengajaran al-Quran pada khususnya. Misal;
1. KH. Arwani Amin (Kudus)
2. KH. Badawi (Kaliwungu – Semarang)
3. Kyai Zuhdi (Nganjuk – Kertosono)
4. KH. Umar (Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan – Solo)
5. Kyai Umar (Kempek – Cirebon)
6. KH. Noor (Tegalarum – Kertosono)
7. KH. Muntaha (Pesantren Al-Asy’ariyyah, Kalibeber – Wonosobo)
8. KH. Murtadha (Buntet – Cirebon)
9. Kyai Ma’shum (Gedongan – Cirebon)
10. KH. Abu Amar (Kroya)
11. KH. Suhaimi (Pesantren Tamrinus Shibyan, Benda – Bumiayu)
12. Kyai Syathibi (Kyangkong – Kutoarjo)
13. KH. Anshor (Pepedan – Bumiayu)
14. KH. Hasbullah (Wonokromo – Yogyakarta)
15. Kyai Muhyiddin (Jejeran – Yogyakarta)
16. Haji Mahfudz (Purworejo)

Untuk para Mutakharrijiin (Alumni), dia senantiasa menjalin korelasi dan bimbingan, bahkan berupa kunjungan ke daerah masing-masing.

# Karomah KH. M. Munawwir

KH. Abdullah Anshar (Gerjen – Sleman) mengetahui dia wafat, maka menangislah ia serta menyampaikan tak kerasan lagi hidup di dunia tanpa beliau. Setelah pulang ke rumah, KH. Abdullah eksklusif menyusul pulang ke Rahmatullah.

Kyai Aqil Sirodj (Kempek – Cirebon) dikala masih berusia sekitar 8 tahun belum bisa mengucap dengan terang bunyi “R”. Namun sehabis minum air bekas cucian tangan beliau, eksklusif sanggup membaca “R” dengan jelas.

Kala mengajar, biasanya dia sambil tiduran, bahkan kadang benar-benar tertidur. Namun bila ada santri yang keliru membaca, dia eksklusif bangkit dan mengingatkannya.

Saat gres berusia 10 tahun, dia berangkat mondok kepada KH. Cholil di Bangkalan, Madura. Sampai di sana, dikala akan dikumandangkan iqamat, KH. Cholil tidak berkenan menjadi imam shalat seraya berkata: “Mestinya yang berhak menjadi imam shalat ialah anak ini (yakni KH. M. Munawwir). Walaupun ia masih kecil tetapi mahir qira’at.”

Sewaktu awal di Tanah Suci, dia mengirimkan surat kepada ayahnya, menyatakan niat untuk menghapalkan al-Quran. Namun ayah dia belum memperkenankannya, sehingga berniat mengirimkan surat balasan. Namun, belum sempat mengirimkan surat balasan, sang Ayah sudah menerima surat kedua dari putranya yang menyatakan bahwa ia sudah terlanjur hafal. Dihafalkannya dalam waktu 70 hari (keterangan lain menyatakan 40 hari).

Sumber http://d0w3r.blogspot.com/

0 Response to "Biografi Ulama | Kh. M. Munawir Dari Krapyak Yogyakarta"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel