Teka-Teki Matematika Terbaik Sepanjang Masa
Memperkenalkan matematika kepada anak-anak, kalau masih bisa dimulai dari sesuatu yang ringan-ringan saja. Terkhusus kepada bawah umur yang masih duduk di Sekolah Dasar, mereka pastinya lebih suka dimulai dari yang sederhana tapi tidak menghilangkan tujuan pemebelajaran atau tujuan dari berguru matematika.
Salah satu alternatif memperkenalkan matematika dengan ringan ialah melalui teka-teki. Teka-teki matematika yang akan kita diskusikan ini ialah salah satu teka-teki matematika terbaik yang pernah ada. Untuk bawah umur SD kelas tinggi sewaktu berguru pecahan, teka-teki ini sangat cocok menjadi bahan pembuka.
Mari kita simak teka-tekinya:
Seorang ayah yang sudah meninggal dunia dan meninggalkan tiga orang anak. Harta yang dimiliki sang ayah ialah $17$ ekor sapi dan akan dibagikan kepada tiga orang anaknya berasarkan wasiat dari sang ayah.
Pada surat wasiat sang ayah tertulis:
Pertanyaan berikutnya ialah bagaimana cara pembagian harta warisan tersebut semoga tidak ada anak yang merasa dirugikan?
Jika teka-teki diatas kita dijawab bawah umur tanpa menunjukkan sedikit kreatifitas maka balasan mereka kira-kira ibarat berikut ini;
Teka-teki diatas mengingatkan saya pada teka-teki yang dituliskan oleh Deddy Corbuzier pada bukunya yang berjudul "MANTRA". Teka-teki dikemas dengan baik sehingga tampak ibarat sebuah dongeng yang menegangkan. Cara Deddy Corbuzier mengemasnya menjadi sebuah dongeng keren, menggambarkan kemampuan dia dalam menulis sudah mumpuni, iya tidak jauh bedalah dengan saya [*tepok jidat sekali].
Kalau belum pernah baca ceritanya di buku "MANTRA" nya Omm Deddy Corbuzier, mari kita lihat kepiawaian dia dalam menceritaan ulang teka-teki sederhana diatas menjadi dongeng keren.
..."Kami mempunyai warisan yang diterima dari Sang Baginda Raja yang gres saja wafat. Masalahnya ialah soal membagi bongkahan berlian. Di antara harta bendanya, Sang Baginda Raja mempunyai $36$ bongkah berkan yang sangat besar, dan ia ingin membaginya menjadi empat.
Saya sendiri mendapatkan satu sebagai tanda terima kasih Baginda atas dedikasi saya. Sisanya yang $35$ bongkah dibagi sebagai berikut:
"Lalu?" Divka yang kini sedang memerhatikan wajah Pangeran Ketiga mengajukan pertanyaan. Sesekali ia menyeringai kepada Pangeran Ketiga yang mengintip dari balik jubahnya. Seolah jubah itu ia gunakan sebagai perisai.
"Lalu, ketiga pangeran ini tidak mau membaginya dengan adil. Hm... sebab memang susah untuk dibagi secara adil. Pangeran Pertama meminta $18$ bongkah, padahal seharusnya hanya $17,5$. Pangeran Kedua meminta $12$ di mana seharusnya hanya $11,6$. Dan, hal itu terang akan merugikan Pangeran Ketiga, yang saya yakin, seandainya ia tidak tolol ibarat ini juga akan meminta lebih!"
"Aku juga ingin lebih!" Teriak Pangeran Ketiga sambil mengintip dari balik jubahnya.
Semua orang yang hadir di sana menatapnya dan untuk sekali lagi mereka dengan kompak berteriak kepada Pangeran Ketiga, "DIAAAAAAAAMMM!"
Divka tertawa geli melihat hal ini. la pun berdiri dari kursinya dan berjalan berkeliling ruangan. Semua orang kembali tak bersuara. Kibasan jubah, sayap, dan pakaian hitam Divka mengeluarkan aroma harum yang sangat nikmat ibarat mawar di pagi hari. Sesekali Pangeran Pertama mencuri pandang, berharap seandainya saja perempuan langsing berpakaian serbahitam ini bukan seorang penyihir.
"Mungkin ia sudah kujadikan permaisuri." Pikir Pangeran Pertama.
Mendadak....
"Tok!" Demikian bunyi tongkat kayu yang mendarat di atas kepala Pangeran Pertama, menjadikan mahkotanya jatuh miring menutupi mata kanannya.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak, monyet! Kamu pikir saya mau kau sentuh? Sekali lagi pikiranmu kotor begitu, kau akan saya ubah menjadi bekicot! Mengerti?" Bentak Divka. Kebetulan ia berdiri sempurna di belakang Pangeran Pertama ketika ia melancarkan pukulan dengan telak.
Pangeran Pertama hanya tertunduk, bahkan tidak mau repot-repot membetulkan letak mahkotanya. Ia tidak berani berkomentar apa pun juga, apalagi berpikir untuk membalas. Ia mencoba mengosongkan pikiran.
Divka kembali berjalan dan alhasil kini berhadapan eksklusif dengan si Penasihat Kerajaan. Mereka berdua saling pandang beberapa detik.
"Lalu?" Tanya Penasihat Kerajaan yang mulai merasa risi dengan pandangan tajam Divka.
"Aku bisa membantu kalian...," jawab Divka.
"Tapi ada syaratnya...," Penasihat Kerajaan menyambut isu itu sebelum Divka sempat merampungkan kalimatnya.
"Apa?" tanya Divka cepat sembari menyipitkan matanya dan melemparkan pandangan tajam ke arah Si Penasihat Kerajaan.
"Tanpa ilmu sihir!" Tegas Penasihat Kerajaan.
Divka kembali diam, berpikir keras. la berdiri usang sambil menopangkan dagunya di atas jemari tangannya yang lentik. Jemari yang dihias oleh aneka macam cincin perak yang terukir indah, salah satunya berbentuk kepala tengkorak berlilit ular. Para hadirin menanti dengan penuk penasaran.
"Baik, tanpa ilmu sihir!" Katanya menyetujui.
"Dan satu lagi...," sergah Penasihat Kerajaan.
"Apa lagi?" Potong Divka.
"Tanpa ada yang dirugikan!"
"Oke... tanpa ilmu sihir dan tanpa ada yang dirugikan!"
Divka kembali mengangguk.
"Sekarang begini, saya ingin segera menuntaskannya. Ikuti semua perintah saya. Saya ingin semua bongkahan berlian itu dalam waktu lima menit ada di atas meja ini!" Sentak Divka.
Lima menit kemudian $36$ bongkah berlian, dengan kilauan jernih bagaikan cermin terkena sinar matahari, sudah terkumpul di atas meja. Para prajurit yang mengangkuti berlian-berlian itu terkapar di atas tanah, kehabisan napas sebab harus menguras semua sisa tenaga untuk membawa $36$ berlian kurang dari lima menit.
Para permaisuri tampak tidak berkedip menikmati indahnya cahaya yang terpantul oleh lapisan-lapisan bongkahan berlian. Beberapa di antaranya berbisik-bisik membicarakan keindahan berlian-berlian itu, beberapa saling sirik dan mengiri atas pembagian yang dianggap tidak adil itu. Ketiga pangeran berdiam diri dan berpikir, mengira-ngira apa yang akan dilakukan Divka. Si Penasihat Kerajaan mengawasi Divka semoga ia tidak berbuat curang. Dan, para tetua kebanyakan sudah tertidur pulas di kursinya masingmasing.
"Aku akan membantu kalian dengan syarat yang kalian minta, tidak menggunakan ilmu sihir dan tidak ada yang dirugikan." Ucap Divka sembari meraba salah satu bongkah berlian di atas meja tersebut.
"Namun untuk melaksanakannya, saya membutuhkan kerendahan hati dari kamu!" Tangannya menunjuk pada Penasihat Kerajaan.
"Maksudmu?" Tanya si Penasihat Kerajaan seraya mengernyitkan dahi. Tangannya kembali sibuk memuntir-muntirjanggut putihnya.
"Aku harus meminjam bongkah berlianmu, dengan komitmen akan saya kembalikan seutuhnya, dan kau tidak akan dirugikan sama sekali. Setuju?"
"Bagaimana saya bisa percaya padamu?"
"Kalau begitu saya pulang saja!" Sentak Divka tak sabar.
Serentak Pangeran Pertama dan Kedua berteriak, "Hei, yang benar dong! Penasihat macam apa kamu? Tidak mau merelakan sebentar milikmu untuk menjaga keutuhankerajaan?"
Penasihat Kerajaan kembali diam, dan kemudian mengangguk kendati di dalam hati merasa sangat kesal. Bahkan terlintas di kepalanya bahwa membawa Divka ke kerajaan itu bukanlah hal yang baik sama sekali. Namun, semua sudah terjadi, kini mereka harus menunggu hasilnya dengan pasrah.
"Baiklah! Lakukan yang menurutmu baik!"
"Nah, itu yang kutunggu dari tadi. Sekarang, semua dengarkan kata-kataku. Aku ingin semua orang menyimak.
Pasang kuping kalian baik-baik, jangan ada sedikit pun dari perkataanku yang teriewat. Dan, ini berlaku untuk semua yang ada di ruangan ini!" Divka kemudian meloncat ke atas meja. Sayapnya terkembang indah bagai kilatan bayangan hitam, dan ia mendarat dengan begitu gemulai. Sulit dibedakan apakah ia sekadar meloncat atau terbang ke atas meja.
"Hm, kini kita mempunyai $36$ bongkah berlian. Jadi, kita lupakan dulu kalau satu di antaranya ialah milik Penasihat Kerajaan." Ujar Divka dengan tegas.
Semua yang hadir berdiam diri untuk mendengarkan dengan saksama. Bahkan, Pangeran Ketiga pun kali ini melamun dan mengeluarkan kepalanya dari balik jubah yang biasa menutupi wajahnya. Ia mendengarkan, walau arah berdirinya terbalik dan membelakangi orang-orang. Rupanya ia masih kebingungan, mencari-cari dari mana bunyi itu tiba "Oke, $36$ bongkah. Dan, Anda, Pangeran Pertama, potongan sah Anda ialah setengah dari $35$. Hasilnya menjadi $17,5$ sedangkan Anda ingin mendapatkan $18$ sebab mustahil berlian itu dipotong-potong. Oleh sebab itu, kini, bila kita punya $36$ maka bagianmu menjadi setengah dari $36$. Kamu bisa mendapatkan apa yang kau mau, yaitu $18$ bongkah berlian!"
Pangeran Pertama tertawa puas. Ia merasa mendapatkan apa yang diinginkannya, dan ia tak sabar ingin tahu siapa yang akan menjadi tumbal bagi kerugian di tamat pembagian itu.
Divka menengok ke arah Pangeran Kedua dan berkata, "Pangeran Kedua, kau menuntut sepertiga dari $35$, yaitu $11,6$. Dan kau menginginkan $12$. Maka, dengan adanya $36$ bongkah ini, sepertiganya ialah $12$. Kamu boleh mendapatkan $12$ bongkah berlian. Sejauh ini semua adil bukan?"
Pangeran Kedua mengangguk seraya tersenyum gembira. Namun, wajah Penasihat Kerajaan terlihat ragu, sibuk menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya. la melipat tangannya dan tidak melepaskan pandangannya dari Divka.
"Dan, kau Pangeran Ketiga. Hoii! Pangeran Ketiga... hei! Lihat sini! Hoii!"
Divka berteriak-teriak memanggil Pangeran Ketiga yang kini sudah berjalan menjauh dari meja, masih mencari-cari dari mana bunyi memanggil itu berasal.
"Eh, Penasihat Kerajaan, bisa tolong...." Divka melirik kepada Penasihat Kerajaan dan menunjuk ke arah Pangeran Ketiga yang kini sudah berada erat pintu keluar.
Diperlukan waktu kurang lebih sepuluh menit untuk mengikat Pangeran Ketiga di kursinya. la tersenyum. Akhirnya, ia menemukan sumber bunyi itu.
"Kamu, Pangeran Ketiga yang dungu! Sepersembilan dari $35$ ialah $3,8$ dan kau akan saya beri $4$, sebab kita punya $36$ bongkah sekarang. Sepersembilan dari $36$ ialah $4$, benar begitu? Tolong mengangguk kalau mengerti." Divka menatapnya tajam dan mengacungkan tongkat kayunya.
Pangeran Ketiga mengangguk dan menjawab, "Iya, saya mengerti. Sekarang saya tahu kalau semenjak tadi itu yang berpidato ialah kamu. Kamu tahu tidak? Sedari tadi saya mencari-caa... hmmmp... hmp!"
Tongkat Divka kembali berayun dan mantra ia ucapkan, "Slapstik!" Dan, verbal Pangeran Ketiga seketika terkatup. "Ya, sedari tadi, dong!" Pangeran Pertama berkomentar geli melihat Pangeran Ketiga yang galau sebab mulutnya tidak sanggup dibuka. Kedua bibir melekat bagai diberi lem super.
"Tunggu! Lalu, bagaimana dengan potongan aku? Bukankah semua harus adil?" Buru-buru Penasihat Kerajaan berjalan mendekati Divka yang masih berdiri di atas meja kayu. Si Penasihat mengangkat kedua tangan untuk mengungkapkan kebingungannya.
"Sabar, bapak tua. Aku belum selesai. Eh, ngomongngomong, pernahkan ada yang berkomentar kalau kau tidak pantas menggunakan jubah biru?" Divka menjawab dengan sinis.
"Kita akan menghitungnya kembali. Oke?" Lanjut Divka. "Pangeran Pertama mendapatkan $18$ bongkah, Pangeran Kedua mendapat $12$ bongkah, dan Pangeran Ketiga mendapat $4$ bongkah. Semuanya puas dan saya tidak melihat ada satu pun dari pangeran yang mengeluh. Nah, kini kita jumlahkan semua yang dimiliki oleh ketiga pangeran itu: $18 + 12 + 4 = 34$. Padahal di sini kita punya $36$ bongkah.
Itu berarti $36$ dikurangi $34$ sama dengan $2$. Yang satu terang milikmu, Penasihat Kerajaan. Dan, yang satu lagi... menjadi milikku!"
Ia melengkungkan badan indahnya ke depan, mengambil satu bongkah berlian yang paling besar kemudian tertawa dan berkata, "Selesai sudah! Semua bahagia, tidak ada ilmu sihir, dan tidak ada yang dirugikan. Selamat malam para tamu kerajaan sekalian! Terima kasih atas permintaan kalian hari ini. Senang berbisnis dengan orang-orang tolol macam kalian! Ha... ha... haaaaa!"
la mendongakkan kepalanya, memejamkan mata, dan mengangkat tangan kanannya yang semenjak tadi menggenggam tongkat sihir. Tangan kirinya menggendong sebongkah berlian besar. Dan, sebelum orang-orang di sana sadar atas apa yang terjadi, Divka menyebutkan satu mantra lagi,
"Acrosdares... melienasitpos!"
Kepulan asap ungu tiba-tiba keluar dari ujung tongkatnya, dan dengan seketika menyelimuti badan Divka. Seisi ruangan berkabut sehingga pandangan mata semua yang hadir terganggu, tidak sanggup melihat terang apa yang terjadi. "Selamat tinggal!" Seru Divka untuk terakhir kalinya.
"KABUUM!"
Ruangan pun kembali senyap. Asap ungu yang tadi mengepul di seantero ruangan raib entah ke mana. Yang tertinggal hanyalah $14$ permaisuri, tiga pangeran, para tenia yang sebagian masih tertidur, Penasihat Kerajaan yang kebingungan dan sibuk menarik-narik janggut putihnya. Di meja kayu itu kini tersisa $35$ bongkah berlian. Tidak ada yang dirugikan...
Sepenggal dongeng diatas ialah potongan dongeng dari buku "MANTRA" goresan pena Omm Deddy Corbuzier, dan mungkin sudah sanggup menjawab teka-teki pada dongeng diawal tadi. Ada beberapa teka-teki lagi pada bukunya Omm Deddy, kalau ingin tau dengan teka-teki yang lainnya ada baiknya Anda segera untuk beli bukunya.
Sebelumnya kita juga pernah bagikan teka-teki matematika yang tidak kalah seru yaitu Membongkar Rahasia Matematika Kreatif Gaya The Master Joe Shandy atau Matematika Rekreasi: Persegi Ajaib Ganjil Untuk Bilangan Berurutan.
Saran dan kritik yang sifatnya membangun terkait dilema Teka-teki Matematika Terbaik Sepanjang Masa, silahkan disampaikan, kami dengan senang hati segera menanggapinya😊😊.
Jika Bermanfaat👌 Jangan Lupa Untuk Berbagi 🙏Share is Caring👀
Video pilihan khusus untuk Anda 😏 Pernah main game memindahkan orang keseberang sungai dengan syarat tertentu tapi tidak berhasil menyelesaikannya, simak cara penyelesaiannya;
Sumber http://www.defantri.com
Salah satu alternatif memperkenalkan matematika dengan ringan ialah melalui teka-teki. Teka-teki matematika yang akan kita diskusikan ini ialah salah satu teka-teki matematika terbaik yang pernah ada. Untuk bawah umur SD kelas tinggi sewaktu berguru pecahan, teka-teki ini sangat cocok menjadi bahan pembuka.
Mari kita simak teka-tekinya:
Seorang ayah yang sudah meninggal dunia dan meninggalkan tiga orang anak. Harta yang dimiliki sang ayah ialah $17$ ekor sapi dan akan dibagikan kepada tiga orang anaknya berasarkan wasiat dari sang ayah.
Pada surat wasiat sang ayah tertulis:
"Anak-anakku semoga kalian dalam keadaan sehat sewaktu membaca surat wasiat ini. Untuk dilema pembagian harta warisan kepada kalian saya berharap kalian tidak bertengkar. Yang bapak miliki hanya $17$ ekor sapi yang ada di kandang, semuanya kalian bagi dengan rincian sebagai berikut:
Pembagian ini berdasarkan kalian mungkin tidak adil, tetapi saya berharap kalian sanggup menerimanya dengan ikhlas. Jika kalian sudah nrimo maka saya akan sangat senang pada dunia saya ketika kalian membaca surat wasiat ini.
- Anak pertama mendapatkan $\frac{1}{2}$ dari banyak sapi
- Anak kedua mendapatkan $\frac{1}{3}$ dari banyak sapi
- Anak ketiga mendapatkan $\frac{1}{9}$ dari banyak sapi
Salam dari saya ayahmu yang menyayangi kalian bertiga.
Pertanyaan berikutnya ialah bagaimana cara pembagian harta warisan tersebut semoga tidak ada anak yang merasa dirugikan?
Jika teka-teki diatas kita dijawab bawah umur tanpa menunjukkan sedikit kreatifitas maka balasan mereka kira-kira ibarat berikut ini;
- Anak pertama mendapatkan $\frac{1}{2}$ dari $17$ yaitu $8\frac{1}{2}$ ekor sapi
- Anak kedua mendapatkan $\frac{1}{3}$ dari $17$ yaitu $5\frac{2}{3}$ ekor sapi
- Anak kedua mendapatkan $\frac{1}{9}$ dari $17$ yaitu $1\frac{8}{9}$ ekor sapi
Teka-teki diatas mengingatkan saya pada teka-teki yang dituliskan oleh Deddy Corbuzier pada bukunya yang berjudul "MANTRA". Teka-teki dikemas dengan baik sehingga tampak ibarat sebuah dongeng yang menegangkan. Cara Deddy Corbuzier mengemasnya menjadi sebuah dongeng keren, menggambarkan kemampuan dia dalam menulis sudah mumpuni, iya tidak jauh bedalah dengan saya [*tepok jidat sekali].
Kalau belum pernah baca ceritanya di buku "MANTRA" nya Omm Deddy Corbuzier, mari kita lihat kepiawaian dia dalam menceritaan ulang teka-teki sederhana diatas menjadi dongeng keren.
..."Kami mempunyai warisan yang diterima dari Sang Baginda Raja yang gres saja wafat. Masalahnya ialah soal membagi bongkahan berlian. Di antara harta bendanya, Sang Baginda Raja mempunyai $36$ bongkah berkan yang sangat besar, dan ia ingin membaginya menjadi empat.
Saya sendiri mendapatkan satu sebagai tanda terima kasih Baginda atas dedikasi saya. Sisanya yang $35$ bongkah dibagi sebagai berikut:
- $\frac{1}{2}$ dari dari $35$ akan diberikan kepada Pangeran Pertama.
- $\frac{1}{3}$ dari $35$ akan diberikan kepada Pangeran Kedua.
- $\frac{1}{9}$ dari $35$ diberikan kepada Pangeran Ketiga."
"Lalu?" Divka yang kini sedang memerhatikan wajah Pangeran Ketiga mengajukan pertanyaan. Sesekali ia menyeringai kepada Pangeran Ketiga yang mengintip dari balik jubahnya. Seolah jubah itu ia gunakan sebagai perisai.
"Lalu, ketiga pangeran ini tidak mau membaginya dengan adil. Hm... sebab memang susah untuk dibagi secara adil. Pangeran Pertama meminta $18$ bongkah, padahal seharusnya hanya $17,5$. Pangeran Kedua meminta $12$ di mana seharusnya hanya $11,6$. Dan, hal itu terang akan merugikan Pangeran Ketiga, yang saya yakin, seandainya ia tidak tolol ibarat ini juga akan meminta lebih!"
"Aku juga ingin lebih!" Teriak Pangeran Ketiga sambil mengintip dari balik jubahnya.
Semua orang yang hadir di sana menatapnya dan untuk sekali lagi mereka dengan kompak berteriak kepada Pangeran Ketiga, "DIAAAAAAAAMMM!"
Divka tertawa geli melihat hal ini. la pun berdiri dari kursinya dan berjalan berkeliling ruangan. Semua orang kembali tak bersuara. Kibasan jubah, sayap, dan pakaian hitam Divka mengeluarkan aroma harum yang sangat nikmat ibarat mawar di pagi hari. Sesekali Pangeran Pertama mencuri pandang, berharap seandainya saja perempuan langsing berpakaian serbahitam ini bukan seorang penyihir.
"Mungkin ia sudah kujadikan permaisuri." Pikir Pangeran Pertama.
Mendadak....
"Tok!" Demikian bunyi tongkat kayu yang mendarat di atas kepala Pangeran Pertama, menjadikan mahkotanya jatuh miring menutupi mata kanannya.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak, monyet! Kamu pikir saya mau kau sentuh? Sekali lagi pikiranmu kotor begitu, kau akan saya ubah menjadi bekicot! Mengerti?" Bentak Divka. Kebetulan ia berdiri sempurna di belakang Pangeran Pertama ketika ia melancarkan pukulan dengan telak.
Pangeran Pertama hanya tertunduk, bahkan tidak mau repot-repot membetulkan letak mahkotanya. Ia tidak berani berkomentar apa pun juga, apalagi berpikir untuk membalas. Ia mencoba mengosongkan pikiran.
Divka kembali berjalan dan alhasil kini berhadapan eksklusif dengan si Penasihat Kerajaan. Mereka berdua saling pandang beberapa detik.
"Lalu?" Tanya Penasihat Kerajaan yang mulai merasa risi dengan pandangan tajam Divka.
"Aku bisa membantu kalian...," jawab Divka.
"Tapi ada syaratnya...," Penasihat Kerajaan menyambut isu itu sebelum Divka sempat merampungkan kalimatnya.
"Apa?" tanya Divka cepat sembari menyipitkan matanya dan melemparkan pandangan tajam ke arah Si Penasihat Kerajaan.
"Tanpa ilmu sihir!" Tegas Penasihat Kerajaan.
"Baik, tanpa ilmu sihir!" Katanya menyetujui.
"Dan satu lagi...," sergah Penasihat Kerajaan.
"Apa lagi?" Potong Divka.
"Tanpa ada yang dirugikan!"
"Oke... tanpa ilmu sihir dan tanpa ada yang dirugikan!"
Divka kembali mengangguk.
"Sekarang begini, saya ingin segera menuntaskannya. Ikuti semua perintah saya. Saya ingin semua bongkahan berlian itu dalam waktu lima menit ada di atas meja ini!" Sentak Divka.
Lima menit kemudian $36$ bongkah berlian, dengan kilauan jernih bagaikan cermin terkena sinar matahari, sudah terkumpul di atas meja. Para prajurit yang mengangkuti berlian-berlian itu terkapar di atas tanah, kehabisan napas sebab harus menguras semua sisa tenaga untuk membawa $36$ berlian kurang dari lima menit.
Para permaisuri tampak tidak berkedip menikmati indahnya cahaya yang terpantul oleh lapisan-lapisan bongkahan berlian. Beberapa di antaranya berbisik-bisik membicarakan keindahan berlian-berlian itu, beberapa saling sirik dan mengiri atas pembagian yang dianggap tidak adil itu. Ketiga pangeran berdiam diri dan berpikir, mengira-ngira apa yang akan dilakukan Divka. Si Penasihat Kerajaan mengawasi Divka semoga ia tidak berbuat curang. Dan, para tetua kebanyakan sudah tertidur pulas di kursinya masingmasing.
"Aku akan membantu kalian dengan syarat yang kalian minta, tidak menggunakan ilmu sihir dan tidak ada yang dirugikan." Ucap Divka sembari meraba salah satu bongkah berlian di atas meja tersebut.
"Namun untuk melaksanakannya, saya membutuhkan kerendahan hati dari kamu!" Tangannya menunjuk pada Penasihat Kerajaan.
"Maksudmu?" Tanya si Penasihat Kerajaan seraya mengernyitkan dahi. Tangannya kembali sibuk memuntir-muntirjanggut putihnya.
"Aku harus meminjam bongkah berlianmu, dengan komitmen akan saya kembalikan seutuhnya, dan kau tidak akan dirugikan sama sekali. Setuju?"
"Bagaimana saya bisa percaya padamu?"
"Kalau begitu saya pulang saja!" Sentak Divka tak sabar.
Serentak Pangeran Pertama dan Kedua berteriak, "Hei, yang benar dong! Penasihat macam apa kamu? Tidak mau merelakan sebentar milikmu untuk menjaga keutuhankerajaan?"
Penasihat Kerajaan kembali diam, dan kemudian mengangguk kendati di dalam hati merasa sangat kesal. Bahkan terlintas di kepalanya bahwa membawa Divka ke kerajaan itu bukanlah hal yang baik sama sekali. Namun, semua sudah terjadi, kini mereka harus menunggu hasilnya dengan pasrah.
"Baiklah! Lakukan yang menurutmu baik!"
"Nah, itu yang kutunggu dari tadi. Sekarang, semua dengarkan kata-kataku. Aku ingin semua orang menyimak.
Pasang kuping kalian baik-baik, jangan ada sedikit pun dari perkataanku yang teriewat. Dan, ini berlaku untuk semua yang ada di ruangan ini!" Divka kemudian meloncat ke atas meja. Sayapnya terkembang indah bagai kilatan bayangan hitam, dan ia mendarat dengan begitu gemulai. Sulit dibedakan apakah ia sekadar meloncat atau terbang ke atas meja.
"Hm, kini kita mempunyai $36$ bongkah berlian. Jadi, kita lupakan dulu kalau satu di antaranya ialah milik Penasihat Kerajaan." Ujar Divka dengan tegas.
Semua yang hadir berdiam diri untuk mendengarkan dengan saksama. Bahkan, Pangeran Ketiga pun kali ini melamun dan mengeluarkan kepalanya dari balik jubah yang biasa menutupi wajahnya. Ia mendengarkan, walau arah berdirinya terbalik dan membelakangi orang-orang. Rupanya ia masih kebingungan, mencari-cari dari mana bunyi itu tiba "Oke, $36$ bongkah. Dan, Anda, Pangeran Pertama, potongan sah Anda ialah setengah dari $35$. Hasilnya menjadi $17,5$ sedangkan Anda ingin mendapatkan $18$ sebab mustahil berlian itu dipotong-potong. Oleh sebab itu, kini, bila kita punya $36$ maka bagianmu menjadi setengah dari $36$. Kamu bisa mendapatkan apa yang kau mau, yaitu $18$ bongkah berlian!"
Pangeran Pertama tertawa puas. Ia merasa mendapatkan apa yang diinginkannya, dan ia tak sabar ingin tahu siapa yang akan menjadi tumbal bagi kerugian di tamat pembagian itu.
Divka menengok ke arah Pangeran Kedua dan berkata, "Pangeran Kedua, kau menuntut sepertiga dari $35$, yaitu $11,6$. Dan kau menginginkan $12$. Maka, dengan adanya $36$ bongkah ini, sepertiganya ialah $12$. Kamu boleh mendapatkan $12$ bongkah berlian. Sejauh ini semua adil bukan?"
Pangeran Kedua mengangguk seraya tersenyum gembira. Namun, wajah Penasihat Kerajaan terlihat ragu, sibuk menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya. la melipat tangannya dan tidak melepaskan pandangannya dari Divka.
"Dan, kau Pangeran Ketiga. Hoii! Pangeran Ketiga... hei! Lihat sini! Hoii!"
Divka berteriak-teriak memanggil Pangeran Ketiga yang kini sudah berjalan menjauh dari meja, masih mencari-cari dari mana bunyi memanggil itu berasal.
"Eh, Penasihat Kerajaan, bisa tolong...." Divka melirik kepada Penasihat Kerajaan dan menunjuk ke arah Pangeran Ketiga yang kini sudah berada erat pintu keluar.
Diperlukan waktu kurang lebih sepuluh menit untuk mengikat Pangeran Ketiga di kursinya. la tersenyum. Akhirnya, ia menemukan sumber bunyi itu.
"Kamu, Pangeran Ketiga yang dungu! Sepersembilan dari $35$ ialah $3,8$ dan kau akan saya beri $4$, sebab kita punya $36$ bongkah sekarang. Sepersembilan dari $36$ ialah $4$, benar begitu? Tolong mengangguk kalau mengerti." Divka menatapnya tajam dan mengacungkan tongkat kayunya.
Pangeran Ketiga mengangguk dan menjawab, "Iya, saya mengerti. Sekarang saya tahu kalau semenjak tadi itu yang berpidato ialah kamu. Kamu tahu tidak? Sedari tadi saya mencari-caa... hmmmp... hmp!"
Tongkat Divka kembali berayun dan mantra ia ucapkan, "Slapstik!" Dan, verbal Pangeran Ketiga seketika terkatup. "Ya, sedari tadi, dong!" Pangeran Pertama berkomentar geli melihat Pangeran Ketiga yang galau sebab mulutnya tidak sanggup dibuka. Kedua bibir melekat bagai diberi lem super.
"Tunggu! Lalu, bagaimana dengan potongan aku? Bukankah semua harus adil?" Buru-buru Penasihat Kerajaan berjalan mendekati Divka yang masih berdiri di atas meja kayu. Si Penasihat mengangkat kedua tangan untuk mengungkapkan kebingungannya.
"Sabar, bapak tua. Aku belum selesai. Eh, ngomongngomong, pernahkan ada yang berkomentar kalau kau tidak pantas menggunakan jubah biru?" Divka menjawab dengan sinis.
"Kita akan menghitungnya kembali. Oke?" Lanjut Divka. "Pangeran Pertama mendapatkan $18$ bongkah, Pangeran Kedua mendapat $12$ bongkah, dan Pangeran Ketiga mendapat $4$ bongkah. Semuanya puas dan saya tidak melihat ada satu pun dari pangeran yang mengeluh. Nah, kini kita jumlahkan semua yang dimiliki oleh ketiga pangeran itu: $18 + 12 + 4 = 34$. Padahal di sini kita punya $36$ bongkah.
Itu berarti $36$ dikurangi $34$ sama dengan $2$. Yang satu terang milikmu, Penasihat Kerajaan. Dan, yang satu lagi... menjadi milikku!"
Ia melengkungkan badan indahnya ke depan, mengambil satu bongkah berlian yang paling besar kemudian tertawa dan berkata, "Selesai sudah! Semua bahagia, tidak ada ilmu sihir, dan tidak ada yang dirugikan. Selamat malam para tamu kerajaan sekalian! Terima kasih atas permintaan kalian hari ini. Senang berbisnis dengan orang-orang tolol macam kalian! Ha... ha... haaaaa!"
la mendongakkan kepalanya, memejamkan mata, dan mengangkat tangan kanannya yang semenjak tadi menggenggam tongkat sihir. Tangan kirinya menggendong sebongkah berlian besar. Dan, sebelum orang-orang di sana sadar atas apa yang terjadi, Divka menyebutkan satu mantra lagi,
"Acrosdares... melienasitpos!"
Kepulan asap ungu tiba-tiba keluar dari ujung tongkatnya, dan dengan seketika menyelimuti badan Divka. Seisi ruangan berkabut sehingga pandangan mata semua yang hadir terganggu, tidak sanggup melihat terang apa yang terjadi. "Selamat tinggal!" Seru Divka untuk terakhir kalinya.
"KABUUM!"
Ruangan pun kembali senyap. Asap ungu yang tadi mengepul di seantero ruangan raib entah ke mana. Yang tertinggal hanyalah $14$ permaisuri, tiga pangeran, para tenia yang sebagian masih tertidur, Penasihat Kerajaan yang kebingungan dan sibuk menarik-narik janggut putihnya. Di meja kayu itu kini tersisa $35$ bongkah berlian. Tidak ada yang dirugikan...
Sepenggal dongeng diatas ialah potongan dongeng dari buku "MANTRA" goresan pena Omm Deddy Corbuzier, dan mungkin sudah sanggup menjawab teka-teki pada dongeng diawal tadi. Ada beberapa teka-teki lagi pada bukunya Omm Deddy, kalau ingin tau dengan teka-teki yang lainnya ada baiknya Anda segera untuk beli bukunya.
Sebelumnya kita juga pernah bagikan teka-teki matematika yang tidak kalah seru yaitu Membongkar Rahasia Matematika Kreatif Gaya The Master Joe Shandy atau Matematika Rekreasi: Persegi Ajaib Ganjil Untuk Bilangan Berurutan.
Saran dan kritik yang sifatnya membangun terkait dilema Teka-teki Matematika Terbaik Sepanjang Masa, silahkan disampaikan, kami dengan senang hati segera menanggapinya😊😊.
Jika Bermanfaat👌 Jangan Lupa Untuk Berbagi 🙏Share is Caring👀
Video pilihan khusus untuk Anda 😏 Pernah main game memindahkan orang keseberang sungai dengan syarat tertentu tapi tidak berhasil menyelesaikannya, simak cara penyelesaiannya;
0 Response to "Teka-Teki Matematika Terbaik Sepanjang Masa"
Posting Komentar