iklan

Makalah Islam Ihwal Pernikahan

     Apa itu pernikahan ? Pernikahan merupakan bahwa Setiap insan yang sudah dewasa/baligh dan sehat jasmani dan rohaninya niscaya membutuhkan sobat hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. , yang sanggup menyayangi dan dicintai, yang sanggup mengasihi dan dikasihi, serta yang sanggup bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.untuk lebih jelasnya mari kita bahas lebih detail wacana aturan pernikahan dalam islam :

A. HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN
1. Arti Pernikahan
   Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah mempunyai persamaan dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti melaksanakan suatu kesepakatan atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan korelasi kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga senang yang diridhoi oleh Allh SWT.
   Nikah ialah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan insan sebagai makhluk Allah SWT. Setiap insan yang sudah pandai balig cukup akal dan sehat jasmani dan rohaninya niscaya membutuhkan sobat hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang sanggup memenuhi kebutuhan biologis, yang sanggup menyayangi dan dicintai, yang sanggup mengasihi dan dikasihi, serta yang sanggup bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
   Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw. memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya, ia bersabda: “Akan tetapi saya shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan muslim)
2. Hukum Pernikahan
a. Hukum Asal Nikah ialah Mubah
   Menurut sebagian besar ulama, aturan asal nikah ialah mubah, artinya boleh dikerjakan boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan ditingkalkan tidak berdosa. Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melaksanakan pernikahan, aturan nikah sanggup bermetamorfosis sunnah, wajib, makruh atau haram.
b. Nikah yang Hukumnya Sunnah
   Sebagian besar ulama beropini bahwa pada prinsipnya nikah itu sunnah. Alasan yang mereka kemukakan bahwa perintah nikah dalam banyak sekali Al-Qur’an dan hadits hanya merupakan ajuan walaupun banyak kata-kata amar dalam ayat dan hadits tersebut. Akan tetapi, bukanlah amar yang berarti wajib lantaran tidak semua amar harus wajib, kadangkala memperlihatkan sunnah bahkan suatu ketika hanya mubah. Adapun nikah hukumnya sunnah bagi orang yang sudah bisa memberi nafkah dan berkehendak untuk nikah.
c. Nikah yang Hukumnya Wajib
   Nikah menjadi wajib berdasarkan pendapat sebagian ulama dengan alasan bahwa diberbagai ayat dan hadits sebagaimana tersebut diatas disebutkan wajib. Terutama berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah menyerupai dalam sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang tidak mau melaksanakan sunnahku, maka tidaklah termasuk golonganku”.
    Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada lantaran dan faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jikalau kondisi seseorang sudah bisa memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina, dalam situasi dan kondisi menyerupai itu wajib nikah. Sebab zina ialah perbuatan keji dan buruk yang dihentikan Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.
  Dari Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu, lantaran sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”. (HR. Al-Hakim dan Abu Daud)
d. Nikah yang Hukumnya Makruh
   Hukum nikah menjadi makruh apabila orang yang akan melaksanakan perkawinan telah mempunyai impian atau hasrat yang kuat, tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberi nafkah tanggungannya.
e. Nikah yang Hukumnya Haram
  Nikah menjadi haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk menyakiti perempuan yang dinikahinya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Barangsiapa yang tidak bisa menikah hendaklah dia puasa lantaran dengan puasa hawa nafsunya terhadap prempuan akan berkurang”. (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Firman Allah di dalam Al-Qur’an:
Maka nikahilah perempuan yang engkau senangi. (QS.An-Nisa/4:3)
   Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memperlihatkan kemampuan kepada mereka dengan kemampuan-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), MahaMengetahui. (QS.An-Nur/24:32)
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian1036 diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.(Q.S An-Nur/24:32)
    Berpijak dari firman Allah dan hadits sebagaimana tersebut di atas, maka bahwa sanggup dijelaskan bahwa aturan menikah itu akan berubah sesuai dengan faktor dan lantaran yang menyertainya. Dalam hal ini setiap mukalaf penting untuk mengetahuinya. Misalnya, orang-orang yang belum baligh, seorang pemabuk, atau sakit gila, maka dalam situasi dan kondisi semacam itu seseorang haram uinutuk menikah. Sebab, jikja mereja menikah dikhawatirkan hanya akan menjadikan mudharat yang lebih besar pada orang lain.
3. Rukun Nikah
  Rukun nikah ialah unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk melangsungkan suatu pernikahan. Rukun nikah terdiri atas:
  Sigat akad, yang terdiri atas ijab dan kabul. Ijab dan kabul ini dilakukan olehy wali mempelai perempuan dan mempelai laki-laki. Ijab diucapkan wali mempelai perempuan dan kabul diucapkan wali mempelai laki-laki.

B. RUKUN DAN SYARATNYA PERNIKAHAN
Rukun pernikahan ada lima:
1. Mempelai laki-laki syaratnya: bukan dari mahram dari calon istri, idak terpaksa, atas kemauan sendiri, orangnya tertentu, terang orangny,calon suami, syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar pria, tidak lantaran terpaksa, bukan mahram (perempuan calon istri), tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia sekurang-kurangnya 19 tahun.
2. Mempelai perempuan syaratnya-syaratnya: tidak ada halangan syar’I yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah, merdeka, atas kemauan sendiri, terang orangnya. Calon istri, syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar perempuan, tidak lantaran terpaksa, halal bagi calon suami, tidak bersuami, tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia sekurang-kurangnya 16 tahun.
3. Wali (wali si perempuan) keterangannya ialah sabda Nabi Saw:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل
“Barangsiapa diantara perempuan yang menikah dengan tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal” (Riwayat Empat Ahli Hadis kecuali Nasa’I)
Dan syarat-syaratnya: laki-laki, baligh, waras akalnya, tidak dipaksa, adil.
a. Wali mempelai perempuan, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Wali inilah yang menikahkan mempelai perempuan atau mengizinkan pernikahannya.
Sabda Nabi Muhammad saw.:
Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersbda: “perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahan itu batal (tidak sah)”. (HR. Al-Arba’ah kecuali An-Nasa’i)
Mengenai susunan dan urutan yang menjadi wali ialah sebagai berikut:
1) Bapak kandung, bapak tiri tidak sah menjadi wali.
2) Kakek, yaitu bapak dari bapak mempelai perempuan.
3) Saudara laki-laki kandung.
4) Saudara laklaki sebapak.
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
7) Paman (saudara laki-laki bapak).
8) Anak laki-laki paman.
9) Hakim. Wali hakim berlaku apabila wali yang tersebut di atas semuanya tidak ada, sedang berhalangan, atau menyerahkan kewaliannya kepada hakim. .
b. Dua orang saksi, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi ialah tidak sah.
Sabda Nabi Muhammad saw.:
Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ibnu Hiban)
c. Dua orang saksi
لا نكاح إلا بولي وشاهد عدل (رواه أحمد)
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dengan 2 saksi yang adil” (HR. Ahmad)
Syarat-syaratnya: laki-laki, baligh, waras akalnya, adil, sanggup mendengar dan melihat, bebas (tidak dipaksa), memahami bahasa yang dipakai ijab qabul.
4. Sighat (akad) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, menyerupai kata wali “Saya nikahkan kau dengan anak saya bernama……………..” jawab mempelai laki-laki “Saya terima menikahi……………………”, boleh juga didahului perkataan dari pihak mempelai menyerupai “Nikahkanlah saya dengan anakmu” jawab wali “Saya nikahkan engkau dengan anak saya………………..” lantaran maksudnya sama.
Tidak sah ijab kabul kecuali dengan lafadz nikah, tazwij, atau terjemahan dari keduanya. Sabda Rasulullah Saw:
اتقوا الله في النساء فإنكم أخذتموهن بأمانة الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله (رواه مسلم)
“Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kau ambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kau halalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah” (HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan kalimat “kalimat Allah” dalam hadis ialah Al-Qur’an, dan dalam Al-Qur’an tidak disebutkan selain dua kalimat itu (nikah dan tazwij) maka harus dituruti semoga tidak salah pendapat yang lain, asal lafadz kesepakatan tersebut ma’qul ma’na, tidak semata-mata ta’abbudi.
5. Pernikahan yang Terlarang
   Pernikahan yang terlarang aalah pernikahan yang di haramkan oleh agama Islam. Adapun penikahan yang terlarang ialah sebagai berikut:
a. Nikah Mut’ah
   Nikah mut’ah ialah pernikahan yang diniatkan dan diakadkan untuk sementara waktu saja (hanya untuk bersenang-senang), contohnya seminggu, satu bulan, atau dua bulan. Masa berlakunya pernikahan dinyatakan terbatas. Nikah mut’ah telah dihentikan oleh rasulullah saw. sebagaimana dijelaskan dalam suatu hadits:
  Dari Rabi’ bin Sabrah al-Juhani bahwasannya bapaknya meriwayatkan, ketika dia bersama rasulullah saw., ia bersabda: “wahai sekalian manusia, dulu pernah saya izinkan kepada kau sekalian perkawinan mut’ah, tetapi ketahuilah sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat”. (HR. Muslim)
b. Nikah Syigar
   Nikah syigar ialah apabila seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya dengan tujuan semoga seorang laki-laki lain menikahkan anak perempuannya kepada laki-laki (pertama) tanpa mas kawin (pertukaran anak perempuan). Perkawinan ini dihentikan dengan sabda Rasulullah saw.
Dari Ibnu Umar ra., sesungguhnya Rasulullah saw. melarang perkawinan syigar. (HR. Muslim)
c. Nikah Muhallil
  Nikah muhallil ialah pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang tidak ditalak ba’in, dengan bermaksud pernikahan tersebut membuka jalan bagi mantan suami (pertama) untuk nikah kembali dengan bekas istrinya tersebut setelah cerai dan habis masa idah.
Dikatakan muhallil lantaran dianggap menciptakan halal bekas suami yang menalak ba’in untuk mengawini bekas istrinya. Pernikahan ini dihentikan oleh rasulullah saw. dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud:
Dari Ibnu Abbas ra., Rasulullah saw. melaknat muhallil (yang mengawini setelah ba’in) dan muhallil kemudian (bekas suami pertama yang akan mengawini kembali). (HR. Al-Kamsah kecuali Nasai)
Baca Juga : Makalah Tentang Zina
d. Kawin dengan pezina
   Seorang laki-laki yang baik-baik tidak diperbolehkan (haram) mengawini perempuan pezina. Wanita pezina hanya diperbolehkan kawin dengan laki-laki pezina, kecuali kalau perempuan itu benar-benar bertobat.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an.
   Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan Pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang mukmin. (QS. An-Nur/24:3)
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu'min” (Q.S An-Nur/24:3)
Akan tetapi, kalau perempuan pezina tersebut sudah bertobat, halallah perkawinan yang dilakukannya. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
  Dari Abu Ubaidah bin abdullah dari ayahnya berkata: “Bersabda rasulullah saw.: Orang yang bertobat dari dosa tidak ada lagi dosa baginya.” (HR. Ibnu Majah)
Dengan demikian, secara lahiriah perempuan pezina kalau benar-benar bertobat, maka sanggup kawin dengan laki-laki yang bukan pezina (baiuk-baik)

C. PENGERTIAN AKAD NIKAH
    secara bahasa : kesepakatan = menciptakan simpul, perjajian, kesepakatan; ijab kabul = mengawinkan wanita.secara syar’i : Ikrar seorang laki-laki untuk menikahi/mengikat janji seorang perempuan lewat mediator walinya, dengan tujuan
a) hidup bersama membina rumah tangga sesuai sunnah Rasulullah saw.
b) memperoleh ketenangan jiwa.
c) menyalurkan syahwat dengan cara yang halal
d) melahirkan keturunan yang sah dan shalih.

D. RUKUN DAN SYARAT SAH NIKAH
Akad nikah tidak akan sah kecuali jikalau terpenuhi rukun-rukun yang enam masalah ini :
1. Ijab-Qabul
   Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai perempuan kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai laki-laki dalam mendapatkan ijab) sebagai bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai menunjukan keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah tersebut ialah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul ialah :
a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut terang pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai laki-laki ialah :
a) Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Mumtahanah : 9.
b) Bukan mahrom dari calon isteri.
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
3. Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai perempuan ialah :
a) Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
b) Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom dari calon suami).
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
4. Adanya wali.
Syarat wali ialah :
a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Tidak dipaksa.
d) Tidaksedang melaksanakan ibadah haji.
Tingkatan dan urutan wali ialah sebagai berikut:
a) Ayah
b) Kakek
c) Saudara laki-laki sekandung
d) Saudara laki-laki seayah
e) Anak laki-laki dari saudara laki – laki sekandung
f) Anak laki-laki dari saudara laki – laki seayah
g) Paman sekandung
h) Paman seayah
i) Anak laki-laki dari paman sekandung
j) Anak laki-laki dari paman seayah.
k) Hakim
5. Adanya saksi (2 orang pria).
   Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya ialah saksi, tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi laki-laki yang jujur lagi adil semoga pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah
a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Dapat mendengar dan melihat.
d) Tidak dipaksa.
e) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
6. Mahar.
Beberapa ketentuan wacana mahar :
a) Mahar ialah santunan wajib (yang tak sanggup digantikan dengan lainnya) dari seorang suami kepada isteri, baik sebelum, setelah maupun pada ketika aqad nikah. Lihat QS. An Nisaa’ : 4.
b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik mertua.
c) Mahar yang tidak tunai pada kesepakatan nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d) Mahar sanggup dinikmati bersama suami jikalau sang isteri memperlihatkan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak mempunyai batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan masalah ini untuk diadaptasi kepada adat   istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, mempunyai nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang gampang dan pernah pula.

E.TALAK
   Pengertian Talak secara bahasa berarti melepaskan ikatan. Kata ini ialah derivat dari kata الْإِطْلَاق “ithlaq”, yang berarti melepas atau meninggalkan.
Secara syar’i, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan.
Dalil Dibolehkannya Talak
Allah Ta’ala berfirman,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang sanggup dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai Nabi, apabila kau menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kau ceraikan mereka pada waktu mereka sanggup (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath Tholaq: 1)
   Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, sebetulnya ia pernah mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu menanyakan persoalan ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ، ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ، ثُمَّ تَطْهُرَ ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
“Hendaklah ia meruju' istrinya kembali, kemudian menahannya hingga istrinya suci kemudian haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al 'iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah 'azza wajalla.”
   Ibnu Qudamah Al Maqdisi menyatakan bahwa para ulama setuju (berijma’) akan dibolehkannya talak. ‘Ibroh juga menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam rumah tangga mungkin saja pernikahan bermetamorfosis hal yang hanya membawa mafsadat. Yang terjadi ketika itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak kunjung henti. Karena persoalan inilah, syari’at Islam membolehkan syari’at nikah tersebut diputus dengan talak demi menghilangkan mafsadat.
Kritik Hadits
Adapun hadits yang berbunyi,
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ
“Perkara yang paling dibenci Allah Ta’ala ialah talak.”Dalam sanad hadits ini ada dua ‘illah (cacat): (1) dho’ifnya Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah, (2) terjadi perselisihan di dalamnya. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ahmad bin Yunus … Abu Daud menyebutnya tanpa menyebutkan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sanad hadits dari Al Hakim dinilaidho’if. Kesimpulannya, hadits ini ialah hadits yang dho’if. Di antara yang mendho’ifkannya ialah Al Baihaqi, Syaikh Al Albani, dan Syaikh Musthofa Al ‘Adawi.
Hukum Talak
   Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Talak boleh jadi ada yang haram, ada yang makruh, ada yang wajib, ada yang sunnah dan ada yang boleh.”
Rincian aturan talak di atas ialah sebagai berikut:
Pertama, talak yang haram yaitu talak bid’i (bid’ah) dan mempunyai beberapa bentuk.
Kedua, talak yang makruh yaitu talak yang tanpa lantaran apa-apa, padahal masih bisa jikalau pernikahan yang ada diteruskan.
Ketiga, talak yang wajib yaitu talak yang di antara bentuknya ialah adanya perpecahan (yang tidak mungkin  lagi untuk bersatu atau meneruskan pernikahan).
Keempat, talak yang sunnah yaitu talak yang disebabkan lantaran si istri tidak mempunyai sifat ‘afifah (menjaga kehormatan diri) dan istri tidak lagi memperhatikan perkara-perkara yang wajib dalam agama (seperti tidak memperhatikan shalat lima waktu), ketika itu ia pun sulit diperingatkan.
Kelima, talak yang hukumnya boleh yaitu talak ketika butuh di ketika istri berakhlaq dan bertingkah laris buruk dan menerima efek negatif jikalau terus dengannya tanpa bisa meraih tujuan dari menikah.
1. Talak Sunni dan Talak Bid’i
   Talak dipandang dari aspek sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan syara’ terbagi pada dua bagian; a. Talak sunni dan b. Talak bid’i. Ulama’ fikih beraneka ragam dalam menstandari batasan-batasan talak sunni dan bid’i.
Kalangan Hanafiyah membagi talak kedalam tiga bagian, yaitu: a. Talak ahsan b. Talak hasan dan c. Talak bid’i.
   Talak ahsan ialah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dengan talak satu, pada masa suci dan tidak disetubuhi pada waktu sucinya serta ia membiarkan (tidak mentalak lagi) pada istrinya hingga iddahnya berakhir dengan tiga kali haid. Talak hasan ialah talak yang dilakukan suami pada istrinya dengan talak tiga, dalam waktu tiga kali suci dan disetiap masa suci dilakukan talak satu. Sedangkan Talak bid’i ialah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dengan talak tiga, atau talak dua dengan menggunakan satu kalimat, atau ia mentalak tiga dalam satu masa suci.
   Sedangkan kalangan Malikiyah dalam mengkatagorikan talak sunni atau bid’i dengan memberi syarat-syarat tertentu. Ada empat syarat talak sanggup dikategorikan talak sunni:
a. Perempuan pada waktu ditalak suci dari haid dan nifas,
b. Suami tidak menjima’nya pada waktu,
c. Suami mentalak satu,
d. Suami tidak mentalak istrinya yang kedua kali hingga masa ‘iddahnya berakhir.
   Dan berdasarkan mereka, talak bid’i ialah talak yang tidak memenuhi satu syarat atau seluruhnya. Misalnya : seorang suami mentalak istrinya lebih dari satu, atau ia mentalak istrinya pada masa haid atau nifas, atau pada masa suci tetapi dicampurinya dalam masa suci itu. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa suami yang mentalak bid’i pada isrinya ia dipaksa untuk rujuk kembai hingga masa iddah yang terakhir. Namun jikalau ia tidak mau untuk merujuknya, Hakim boleh mengancam untuk menahannya, dan manakala ia tetap enggan untuk merujuknya ia boleh dipukul, dan bila ia tetap bersikeras dalam keengganannya, seorang Hakim berhak memaksa untuk merujuknya.
   Sementara kalangan Syafi’iyah membagi talak pada tiga cuilan dengan istilah yang sedikit berbeda dengan kalangan Hanafiyah. Tiga cuilan itu ialah :
a. Talak sunni, b. Talak bid’i, dan c. Talak bukan sunni dan bukan bid’i (talak qhairu bid’I wa la- sunni).
   Talak sunni ialah talak yang dijatuhkan pada istri dengan talak satu pada masa suci dan tidak dicampuri pada masa sucinya serta tidak dicampuri pula pada masa haid sebelumya, dan bila suami ingin mentalak istrinya dengan talak tiga ia menjatuhkan talak satu disetiap masa suci.
Berkenaan dengan talak bid’i terbagi menjadi dua macam:
a. Talak yang dijatuhkan pada masa haid yang dicampuri pada masa haidnya, lantaran syara’ memerintahkan untuk mentalak istri pada masa suci, dan juga menciptakan mudharat pad istri dengan lamanya menjalani masa iddah.
b. Talak yang dijatuhkan pada istri dalam masa suci tetapi telah dicampuri pada masa suci itu.
Macam talak yang terakhir, yaitu talak qhiru bid’i wa la-sunni hanya terjadi bagi istri yang masih kacil, perempuan monopause, istri yang berkhulu’, istri yang hamil dan kehamilannya dipastikan hasil korelasi dengan suaminya, dan istri yang belum pernah didukhul.
  Sementara kalangan Hanabilah memberi pengertian talak sunni ialah talak yang suami menjatuhkan talak satu pada istrinya yang tidak disetubuhi pada masa sucinya itu kemudian ia tidak mentalaknya lagi hingga masa ‘iddahnya berakhir. Sedangkan talak bid’i ialah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dalam masa haid atau nifas, atau masa suci tetapi ia telah mendukhulnya.
   Dalam Kompilasi Hukum Islam -fikih Indonesia- lebih cendrung mengikuti pendapat secara umum dikuasai Ulama’ selain Hanafiyah, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 121 dan 122.
Pasal 121: Talak sunni ialah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122: Talak bid’i ialah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
2. Talak Raj’i dan Talak Ba’in
 Talak ditilik dari boleh dan tidak bolehnya rujuk terbagi pada dua macam :
a. Talak raj’i, dan b. Talak ba’in.
    Talak raj’i ialah talak yang boleh bagi suami untuk merujuk pada istrinya dengan tanpa perlu kesepakatan gres selama masa ‘iddah, meskipun istri tidak mau untuk dirujuk. Talak raj’i ini terjadi dalam talak satu dan dua tetapi setelah masa ‘iddah istri sudah habis, suami tidak sanggup merujuk kembali melainkan dengan kesepakatan baru.
Talak ba’in ada dua macam:
a. Ba’in shughraa (ba’in kecil)
b. Ba’in kubraa (ba’in besar)
   Talak ba’in shughraa ialah talak yang suami tidak sanggup untuk rujuk kembali pada mantan istrinya, melainkan dengan kesepakatan dan mahar baru. Talak ba’in shughraa terjadi bagi istri yang belum didukhul, istri yang berkhuluk dengan menyerahkan ‘iwad (ganti rugi), talak yang dijatuhkan oleh Hakim, dan talak lantaran ila’.
    Talak ba’in kubraa ialah talak yang suami tidak boleh untuk merujuk kembali kepada istri kecuali bila istri telah kawin lagi dengan orang lain dan telah dicampurinya, kemudian ia ditalak dan telah berakhir ‘iddahnya dari suami yang kedua. Talak macam ini terjadi dalam talak tiga
Pengertian Iddah
    Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak (perhitungan), seorang perempuan yang menghitung dan menjumlah hari dan masa haidh atau masa suci.
Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang perempuan menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.
Macam-Macam Masa Iddah
   Barangsiapa yang ditinggal mati suaminya, maka, iddahnya empat bulan sepuluh hari, baik sang isteri sudah dicampuri ataupun belum. Hal ini mengacu pada firman Allah SWT, ”Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah :234).
Terkecuali isteri yang sudah dicampuri dan sedang hamil, maka masa iddahnya hingga melahirkan,”Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah hingga mereka melahirkan kandungannya.” (At-Thalaq : 4).
    Dari al-Miswar bin Makhramah bahwa, Subai’ah al-Aslamiyah r.a. pernah melahirkan dan bernifas setelah beberapa malam kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi saw lantar meminta idzin kepada Beliau untuk kawin (lagi). Kemudian Beliau mengizinkannya, kemudian ia segera menikah (lagi). (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:470 no:5320 dan Muslim II:1122 no:1485).
    Wanita yang ditalak sebelum sempat dicampuri, maka tidak ada masa iddah baginya, berdasarkan pada firmannya Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, ’apabila kau menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kau ceraikan mereka sebelum kau mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kau minta, menyempurnakannya.” (Al-Ahzaab:49).
   Sedang perempuan yang ditalak yang sebelumnya sempat dikumpuli dan dalam keadaan hamil maka, masa iddahnya ialah ia melahirkan anak yang diakndungnya. Allah SWT berfirman, ”Dan wanita-wanita hamil, waktu iddah mereka itu ialah hingga mereka melahirkan kandungannya.” (At-Thalaq:4).
    Dari az-Zubair bin al-Awwam r.a. bahwa ia mempunyai isteri berjulukan Ummu Kultsum bin ’Uqbah radhiyallahu ’anha. Kemudian Ummu Kultsum yang sedang hamil berkata kepadanya, ”Tenanglah jiwaku (dengan dijatuhi talak satu).” Maka az-Zubir pun menjatuhkan padanya talak satu. Lalu dia keluar pergi mengerjakan shalat, sekembalinya (dari shalat) ternyata isterinya sudah melahirkan. Kemudian az-Zubir berkata: ”Gerangan apakah yang menimbulkan ia menipuku, semoga Allah menipunya (juga).” Kemudian dia tiba kepada Nabi saw kemudian ia bersabda kepadanya, ”Kitabullah sudah menetapkan waktunya; lamarlah (lagi) di kepada dirinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1546 dan Ibnu Majah I:653 no:2026).
   Jika perempuan yang dijatuhi talak termasuk perempuan yang masih berhaidh secara normal, maka masa iddahnya tiga kali haidh berdasarkan Firman Allah  SWT, ”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu tiga kali quru’).”. (Al-Baqarah :228).
    Kata quru’ berarti haidh. Hal ini mengacu pada  hadits Aisyah r.a. bahwa Ummu Habibah r.a. sering mengeluarkan darah istihadhah(darah yang keluar dari perempuan lantaran sakit atau lainnya), kemudian dia bertanya kepada Nabi saw. (mengenai hal tersebut). Maka Beliau menyuruh meninggalkan shalat pada hari-hari haidhnya. (Shahih Lighairih: Shahih Abu Daud no:252 dan ’Aunul Ma’bud I:463 no:278).
    Jika perempuan yang dijatuhi talak itu masih kecil, belum mengeluarkan darah hadih atau sudah lanjut usia yang sudah manopause (berhenti masa haidh), maka iddahnya ialah tiga bulan lamanya. Allah swt berfirman, ”Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (manopause) diantara isteri-isteri kaian jikalau ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka ialah tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang belum haidh.” (At-Thalaq:4)

 PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pernikahan yaitu ikatan dua orang hamba berbeda jenis dengan suatu ikatan akad
2. Hukum-hukumnya nikah ialah jaiz, sunnat, wajib, makruh, haram.
3. Diantaranya rukun-rukun nikah ialah mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali, dua orang saksi, sighat.
4. Tujuan adanya pernikahanan ternyata sangat banyak ditinjau dari banyak sekali sisi
B. Hikmah
1. Pernikahan yang sah menjadikan korelasi antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim menjadi halal.
2. Pernikahan menjadi sah dengan rukun dan syarat nikah.
C. Saran
    Akhirnya, pemakalah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu di dalam menuntaskan makalah kami ini. Disamping itu, kritik dan saran dari mahasiswa serta dosen pengampu dan para pembaca sangat kami harapkan, demi kebaikan kita bersama terutama bagi pemakalah.

REFERENSI
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan terjemahnya. Toha Putra
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2006. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera
Rasjid, H. Sulaiman. 2008. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Rifa’I, H. Moh. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra
Drs. H. Muh. Rifa’i. Fiqih Islam Lengkap. (Semarang: PT Karya Toha Putra)
 Al-Qur’an dan Terjemahnya (Departemen Agama Islam)
 H. Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. (Bandung: Sinar Baru Algesindo) 381-383

Sumber http://sekolahmaning.blogspot.com

0 Response to "Makalah Islam Ihwal Pernikahan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel