Bagaimana Pendidik (Sekarang) Berkembang, Jika Sambil Mikir Besok Mau Makan Apa? Jumat, 15 Juni 2018 Add Comment Edit Lagu untuk para guru dan pendidik. Lirik lagu itu mengatakan betapa mulia profesi guru. “Pendidik yakni pola bagi peserta didiknya," kata CEO & Founder Elite Tutors Indonesia, Sumarsono, Kamis (16/9/2016). Guru, lanjut Sumarsono, tidak hanya bertanggung jawab atas penyampaian materi tetapi juga berperan sebagai panutan. Namun, tak bisa dimungkiri guru juga insan biasa yang mempunyai banyak kebutuhan hidup untuk dipenuhi. Sayangnya, keluhan soal kesejahteraan para guru masih terus saja bergaung. Seperti dilansir Kompas.com pada Jumat (29/1/2016), misalnya, problem ini menjadi kegiatan Konferensi Kerja Nasional III Persatuan Guru Republik Indonesia pada Januari 2016. Keluhan yang mencuat antara lain pengucuran derma belum sempurna waktu. Persyaratan penerimaan derma juga dirasa terlalu banyak. Proses kenaikan pangkat pun disebut masih rumit. Belum lagi soal jabatan fungsional dan kecilnya pendapatan guru honorer. Juga, sejumlah derma khusus disebut belum merata. Padahal, tanggung jawab guru tidak kecil. Rasio guru dan murid juga sering tak seimbang. Menurut PP 74/2008 perihal Guru, idealnya satu guru maksimal mengajar 20 siswa. Kenyataannya, satu guru kerap mendidik lebih dari 40 siswa pada satu waktu. Terlebih lagi, ada tuntutan moral dan watak yang bersahabat menempel pada sosok guru, mulai dari tutur kata hingga perilaku. Untuk itu semua, seorang guru harus terus-menerus mengasah kualitas dan membangun kepribadian. “Jadilah guru yang kehadirannya selalu dinanti peserta didik alasannya metode pengajarannya menarik," ujar Sumarsono. Agar pengajaran efektif, lanjut Sumarsono, guru sebaiknya memastikan pula terlebih dahulu muridnya memang sudah siap mendapatkan materi pelajaran. Gairah Dalam perbincangan dengan kompas.com, Sumarsono mengaku tidak sependapat bila guru harus menjadi pendekar tanpa tanda jasa. Bukan pula berarti guru perlu medali. Namun, kata Sumarsono, guru harus dipastikan hidup sejahtera. Harapannya, kesejahteraan itu akan menciptakan guru terus termotivasi berbagi diri. "Semakin berkembang guru, ia akan semakin maksimal mengajar, sehingga anak didik ikut berkembang," ungkap Sumarsono. Menurut Sumarsono, dikala ini pendidikan masih terlalu terpaku pada pengabdian. Seolah-olah, kata dia, mulianya profesi ini menciptakan guru tidak perlu sejahtera. "(Namun), saya menekankan, pendidik jangan (lalu) menuntut dibayar mahal, tapi (pendidik yang harus) memantaskan diri,” tegas Sumarsono. Tentu saja, guru juga harus terus menambah kompetensi biar pantas dibayar mahal itu. Di dalamnya termasuk mempelajari kasus-kasus yang berkembang di dunia pendidikan dan cara menghadapi belum dewasa tertentu. “Nah, bagaimana pendidik (sekarang) mau berkembang kalau sambil mikir besok mau makan apa? Pendidikan macam apa yang mau dibangun oleh pendidik yang tidak sejahtera?” tanya Sumarsono. Berangkat dari pemahaman tersebut, Sumarsono pun memastikan para tutor di lembaganya mendapatkan bayaran pantas dan hidup sejahtera. Dari situ ia juga memastikan kualitas para pengajar di lembaganya. “Guru harus mempunyai dua kualitas utama. Kualitas latar belakang akademik dan kepribadian menarik," tegas dia. Menurut Sumarsono, peserta didik akan sulit mendapatkan ilmu dari guru yang tidak konsisten dan sikap kesehariannya bertolak belakang dengan ajarannya. Sistem penilaian pun Sumarsono bangun. Hasil dari proses ini dilaporkan pula ke orangtua murid, berbarengan dengan data perkembangan program. "Jadinya, guru pun semangat belajar," ungkap dia. Satu lagi, gairah atau passion yakni kata penting dalam proses pendidikan. Guru yang punya gairah tinggi mendidik akan otomatis punya tenggang rasa kepada anak didiknya. Dengan sendirinya, sebut Sumarsono, guru itu berpikir kesuksesan peserta didik yakni kesuksesannya. Sebaliknya juga buat para murid. Lagi-lagi, gairah ini tak bisa dipisahkan dengan kesejahteraan. Sumarsono menganalogikan, gairah tanpa kesejahteraan menyerupai mengendarai kendaraan beroda empat tanpa pengisian kembali bensin. "Tinggal tunggu mogok (kalau begitu)," tegas dia. Apa yang disampaikan oleh Bapak Sumarsono di atas tidak mengangkat sepenuhnya apa yang di alami guru. Para motivator dari MLM (Multi Level Marketing) yang populer dan yang amatiran sekalipiun untuk memotivasi para downline-nya sering berkata bahwa kategori insan jikalau digolongkan terhadap kemampuan makan besok sanggup digolongkan menjadi 4 kelompok. Kelompok itu adalah,Manusia besok bisa makan atau tidak? Manusia besok mau makan apa? Manusia besok mau makan dimana? Manusia besok mau makan siapa? Dari keempat golongan di atas dan pernyataan Bapak Sumarsono berarti guru sudah berada pada tingkat golongan kedua. Sedangkan pada kenyataannya masih banyak rekan-rekan guru saya dengar di bayar rendah dan masih berada pada kelompok pertama yaitu "Apakah besok bisa makan atau tidak?". Kaprikornus untuk mengangkat problem kesejahteraan guru kepermukaan ada baiknya topik lebih ditekankan yakni "Bagaimana Pendidik (Sekarang) Berkembang, Kalau Sambil Mikir Besok Makan Atau Tidak?" Sebagai penutup, bahwa apa yang disampaikan oleh bapak Sumarsono pada kolom edukasi kompas di atas sangat baik, contohnya "Guru harus mempunyai dua kualitas utama. Kualitas latar belakang akademik dan kepribadian menarik." dan yang lebih penting lagi Saya Sangat Setuju dengan pendapat bapak Sumarsono, untuk memperhatikan kesejahteraan para pendidik. Mari kita dukung Revolusi Mental, untuk perubahan yang lebih baik. Video ilustrasi berikut mungkin bisa mengajak kita untuk ikut berubah; Sumber http://www.defantri.com Share this post
0 Response to "Bagaimana Pendidik (Sekarang) Berkembang, Jika Sambil Mikir Besok Mau Makan Apa?"
Posting Komentar