Memahami Perihal Dasar Dan Konsep Teori Berguru Bruner
Kita mungkin setuju dengan pernyataan “Selama kita hidup maka selama itu kita masih belajar”. Apalagi kalau kita yang berprofesi sebagai mahasiswa, calon guru atau guru maka kata berguru ini semakin tidak ada akhirnya. Teori berguru intinya semua sudah kita lakukan tetapi kita tidak sadar bahwa yang kita lakukan bekerjsama sudah ada teorinya, untuk itu coba kita memahami wacana Dasar dan Konsep Teori Belajar Bruner.
Bruner yang mempunyai nama lengkap Jerome S.Bruner spesialis psikologi (1915) dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran psikologi kognitif yang memberi dorongan biar pendidikan memperlihatkan perhatian pada pentingnya pengembangan berfikir.
Bruner banyak memperlihatkan pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia, bagaimana insan berguru atau memperoleh pengetahuan, menyimpan pengetahuan dan menstransformasi pengetahuan.
Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa insan sebagai pemeroses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menyatakan berguru merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan insan untuk menemukan hal-hal gres di luar informasi yang diberikan kepada dirinya.
Ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu
Perolehan informasi gres sanggup terjadi melalui acara membaca, mendengarkan klarifikasi guru mengenai materi yang diajarkan atau mendengarkan audiovisual dan lain-lain. Informasi ini mungkin bersifat penghalusan dari informasi sebelumnya yang telah dimiliki.
Sedangkan proses transformasi pengetahuan merupakan suatu proses bagaimana kita memperlakukan pengetahuan yang sudah diterima biar sesuai dengan kebutuhan. Informasi yang diterima dianalisis, diproses atau diubah menjadi konsep yang lebih abnormal biar suatu ketika sanggup dimanfaatkan.
Menurut Bruner (dalam Hudoyo,1990:48) berguru matematika yaitu berguru mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari, serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu.
Siswa harus sanggup menemukan keteraturan dengan cara mengotak-atik bahan-bahan yang berafiliasi dengan keteraturan intuitif yang sudah dimiliki siswa. Dengan demikian siswa dalam belajar, haruslah terlibat aktif mentalnya biar sanggup mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam materi yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini memperlihatkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih gampang dipahami dan diingat anak.
Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan dilema yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan dilema kontekstual, penerima didik secara sedikit demi sedikit dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran, sekolah dibutuhkan memakai teknologi informasi dan komunikasi ibarat komputer, alat peraga, atau media lainnya.
Bruner, melalui teorinya itu, mengungkapkan bahwa dalam proses berguru anak sebaiknya diberi kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara khusus dan sanggup diotak-atik oleh siswa dalam memahami suatu konsep matematika.
Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat eksklusif bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan intuitif yang telah menempel pada dirinya.
Peran guru dalam penyelenggaraan pelajaran tersebut,
Dengan demikian biar pembelajaran sanggup membuatkan keterampilan intelektual anak dalam mempelajari sesuatu pengetahuan (misalnya suatu konsep matematika), maka materi pelajaran perlu disajikan dengan memperhatikan tahap perkembangan kognitif/ pengetahuan anak biar pengetahuan itu sanggup diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) orang tersebut.
Proses internalisasi akan terjadi se-cara sungguh-sungguh (yang berarti proses berguru terjadi secara optimal) kalau penge-tahuan yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga model tahapan yaitu model tahap enaktif, model ikonik dan model tahap simbolik.
Bila dikaji ketiga model penyajian yang dikenal dengan teori Belajar Bruner, sanggup diuraikan sebagai berikut:
Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imaginery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan acara kongkret atau situasi kongkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas (butir a). Bahasa menjadi lebih penting sebagai suatu media berpikir. Kemudian seseorang mencapai masa transisi dan memakai penyajian ikonik yang didasarkan pada pengindraan kepenyajian simbolik yang didasarkan pada berpikir abstrak.
Pada tahap simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abnormal (abstract symbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang digunakan menurut komitmen orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol mulut (misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abnormal yang lain.
Sebagai pola sederhana, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran akan terjadi secara optimal kalau mula-mula siswa mempelajari hal itu dengan memakai benda-benda faktual (misalnya menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng, dan kemudian menghitung banyaknya kelereng semuanya ini merupakan tahap enaktif).
Kemudian, acara berguru dilanjutkan dengan memakai gambar atau diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya kelereng semuanya, dengan memakai gambar atau diagram tersebut/ tahap yang kedua ikonik, siswa bisa melaksanakan penjumlahan itu dengan memakai pembayangan visual (visual imagenary) dari kelereng tersebut.
Pada tahap berikutnya yaitu tahap simbolis, siswa melaksanakan penjumlahan kedua bilangan itu dengan memakai lambang-lambang bilangan, yaitu : $3 + 2 = 5$.
Langkah yang diberikan Bruner dalam pembelajaran, secara logika sederhana sanggup kita terima. Dimana perkenalan pembelajaran dimulai dari hal yang paling sederhana atau nyata kemudian hingga kepada hal yang abstrak, mungkin konsep ini sanggup kita terapkan di dalam proses pembelajaran sehari-hari.
Contoh Proses Belajar Mengajar yang dianjurkan pada Kurikulum 2013, mungkin video berikut sanggup membantu kita dalam penerapan kuriulum 2013;
Sumber http://www.defantri.com
Bruner yang mempunyai nama lengkap Jerome S.Bruner spesialis psikologi (1915) dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran psikologi kognitif yang memberi dorongan biar pendidikan memperlihatkan perhatian pada pentingnya pengembangan berfikir.
Bruner banyak memperlihatkan pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia, bagaimana insan berguru atau memperoleh pengetahuan, menyimpan pengetahuan dan menstransformasi pengetahuan.
Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa insan sebagai pemeroses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menyatakan berguru merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan insan untuk menemukan hal-hal gres di luar informasi yang diberikan kepada dirinya.
Ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu
- proses perolehan informasi baru,
- proses mentransformasikan informasi yang diterima dan
- menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan.
Perolehan informasi gres sanggup terjadi melalui acara membaca, mendengarkan klarifikasi guru mengenai materi yang diajarkan atau mendengarkan audiovisual dan lain-lain. Informasi ini mungkin bersifat penghalusan dari informasi sebelumnya yang telah dimiliki.
Sedangkan proses transformasi pengetahuan merupakan suatu proses bagaimana kita memperlakukan pengetahuan yang sudah diterima biar sesuai dengan kebutuhan. Informasi yang diterima dianalisis, diproses atau diubah menjadi konsep yang lebih abnormal biar suatu ketika sanggup dimanfaatkan.
Menurut Bruner (dalam Hudoyo,1990:48) berguru matematika yaitu berguru mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari, serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu.
Siswa harus sanggup menemukan keteraturan dengan cara mengotak-atik bahan-bahan yang berafiliasi dengan keteraturan intuitif yang sudah dimiliki siswa. Dengan demikian siswa dalam belajar, haruslah terlibat aktif mentalnya biar sanggup mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam materi yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini memperlihatkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih gampang dipahami dan diingat anak.
Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan dilema yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan dilema kontekstual, penerima didik secara sedikit demi sedikit dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran, sekolah dibutuhkan memakai teknologi informasi dan komunikasi ibarat komputer, alat peraga, atau media lainnya.
Bruner, melalui teorinya itu, mengungkapkan bahwa dalam proses berguru anak sebaiknya diberi kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara khusus dan sanggup diotak-atik oleh siswa dalam memahami suatu konsep matematika.
Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat eksklusif bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan intuitif yang telah menempel pada dirinya.
Peran guru dalam penyelenggaraan pelajaran tersebut,
- perlu memahami sturktur mata pelajaran,
- pentingnya berguru aktif suapaya seorang sanggup menemukan sendiri konep-konsep sebagai dasar untuk memahami dengan benar,
- pentingnya nilai berfikir induktif.
Dengan demikian biar pembelajaran sanggup membuatkan keterampilan intelektual anak dalam mempelajari sesuatu pengetahuan (misalnya suatu konsep matematika), maka materi pelajaran perlu disajikan dengan memperhatikan tahap perkembangan kognitif/ pengetahuan anak biar pengetahuan itu sanggup diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) orang tersebut.
Proses internalisasi akan terjadi se-cara sungguh-sungguh (yang berarti proses berguru terjadi secara optimal) kalau penge-tahuan yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga model tahapan yaitu model tahap enaktif, model ikonik dan model tahap simbolik.
Bila dikaji ketiga model penyajian yang dikenal dengan teori Belajar Bruner, sanggup diuraikan sebagai berikut:
1. Model Tahap Enaktif
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara eksklusif terlibat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. Pada tahap ini anak berguru sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan memakai benda-benda faktual atau memakai situasi yang nyata, pada penyajian ini anak tanpa memakai imajinasinya atau kata-kata. Ia akan memahami sesuatu dari berbuat atau melaksanakan sesuatu.2. Model Tahap Ikonik
Dalam tahap ini acara penyajian dilakukan menurut pada pikiran inter-nal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak, berafiliasi dengan mental yang merupakan citra dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak eksklusif mema nipulasi objek ibarat yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif.Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imaginery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan acara kongkret atau situasi kongkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas (butir a). Bahasa menjadi lebih penting sebagai suatu media berpikir. Kemudian seseorang mencapai masa transisi dan memakai penyajian ikonik yang didasarkan pada pengindraan kepenyajian simbolik yang didasarkan pada berpikir abstrak.
3. Model Tahap Simbolis
Dalam tahap ini bahasa yaitu pola dasar simbolik, anak memanipulasi simbul-simbul atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek ibarat pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah bisa memakai notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil.Pada tahap simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abnormal (abstract symbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang digunakan menurut komitmen orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol mulut (misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abnormal yang lain.
Sebagai pola sederhana, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran akan terjadi secara optimal kalau mula-mula siswa mempelajari hal itu dengan memakai benda-benda faktual (misalnya menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng, dan kemudian menghitung banyaknya kelereng semuanya ini merupakan tahap enaktif).
Kemudian, acara berguru dilanjutkan dengan memakai gambar atau diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya kelereng semuanya, dengan memakai gambar atau diagram tersebut/ tahap yang kedua ikonik, siswa bisa melaksanakan penjumlahan itu dengan memakai pembayangan visual (visual imagenary) dari kelereng tersebut.
Pada tahap berikutnya yaitu tahap simbolis, siswa melaksanakan penjumlahan kedua bilangan itu dengan memakai lambang-lambang bilangan, yaitu : $3 + 2 = 5$.
Langkah yang diberikan Bruner dalam pembelajaran, secara logika sederhana sanggup kita terima. Dimana perkenalan pembelajaran dimulai dari hal yang paling sederhana atau nyata kemudian hingga kepada hal yang abstrak, mungkin konsep ini sanggup kita terapkan di dalam proses pembelajaran sehari-hari.
Contoh Proses Belajar Mengajar yang dianjurkan pada Kurikulum 2013, mungkin video berikut sanggup membantu kita dalam penerapan kuriulum 2013;
0 Response to "Memahami Perihal Dasar Dan Konsep Teori Berguru Bruner"
Posting Komentar