Kemampuan Siswa Memecahkan Duduk Masalah Matematika (Mathematics Problem Solving) Minggu, 18 November 2018 Add Comment Edit Hakekat Suatu Masalah, Masalah Rutin dan Tidak Rutin, Klasifikasi Masalah Matematika secara sederhana sudah dijelaskan. Berikut sebagai materi tambahan, goresan pena dari Sri Wulandari Danoebroto, Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kemampuan Siswa Memecahkan Masalah Matematika (Mathematics Problem Solving) A. Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran MatematikaMasalah dalam matematika merupakan soal-soal yang belum diketahui mekanisme pemecahannya oleh siswa. Pemecahan problem merupakan upaya memperoleh solusi problem dengan menerapkan pengetahuan matematika dan melibatkan keterampilan siswa berpikir dan bernalar. Pemecahan problem dalam pembelajaran matematika sanggup berfungsi sebagai konteks (problem solving as context), sebagai keterampilan (problem solving as skill), dan sebagai seni dari matematika (problem solving as art) atau Stanick dan Kilpatrick (Schoenfeld, 1992) mengistilahkannya sebagai heart of mathematics. Dalam pembelajaran matematika, pemecahan problem sanggup dipakai sebagai konteks untuk mengajarkan suatu pengetahuan matematika (konsep atau prinsip). Tujuan utama dari proses ini ialah siswa memahami konsep matematika dan bukanlah pemecahan problem itu sendiri. Masalah dalam pembelajaran matematika disini berperan sebagai: justifikasi dalam mengajarkan matematika, konteks problem yang positif atau bersahabat dengan kehidupan sehari-hari siswa akan meyakinkan siswa bahwa matematika bermanfaat bagi kehidupannya. sebagai motivasi yang spesifik mengenai suatu topik matematika sebagai rekreasi, problem matematika menjadi tantangan atau permainan yang menyenangkan bagi siswa semoga semakin terampil dan mahir. sebagai perjuangan menyebarkan suatu keterampilan baru, problem diberikan dalam urutan tertentu untuk mengenalkan siswa pada materi gres dan sebagai konteks untuk materi diskusi selanjutnya. Dalam pembelajaran matematika, pemecahan problem merupakan keterampilan yang ditunjukkan melalui kemampuan untuk memperoleh solusi dari problem yang dihadapinya. Meskipun pemecahan problem sanggup diinterpretasikan sebagai suatu keterampilan, perkiraan pedagogi dan epistemologi yang mendasarinya ialah keterampilan merupakan penguasaan suatu taktik atau teknik pemecahan masalah. Siswa diajarkan suatu teknik pemecahan problem sebagai materi pelajaran, kemudian diberikan penugasan berupa latihan-latihan sehingga siswa sanggup menguasai teknik tersebut. Setelah memperoleh pengajaran pemecahan problem menyerupai ini, siswa dikatakan telah mempunyai keterampilan pemecahan problem sebaik penguasaannya terhadap fakta dan mekanisme yang telah dipelajari. Pemecahan problem merupakan seni dari matematika atau jantungnya matematika. Dalam hal ini, matematika merupakan pemecahan problem itu sendiri. Pembelajaran matematika dimulai dari pemecahan problem sebagai konteks untuk memperkenalkan atau memahami suatu konsep atau prinsip matematika, kemudian konsep atau prinsip yang telah berhasil dipahami tersebut diterapkan dalam soal-soal pemecahan problem untuk melatih keterampilan siswa. B. Kemampuan yang diharapkan sebagai Problem Solver yang suksesKemampuan siswa memecahkan problem berkembang secara perlahan dan kontinu. Menurut Van De Walle (1994) terdapat beberapa aspek dalam diri siswa yang perlu dikembangkan untuk menunjang kemampuannya dalam memecahkan masalah, yaitu: strategi pemecahan masalah proses metakognitif keyakinan dan sikap siswa terhadap matematika, yaitu meliputi kepercayaan diri, tekad, kesungguh-sungguhan dan ketekunan siswa dalam mencari pemecahan masalah. Berbagai taktik pemecahan problem perlu dikenal dan kemudian dikuasai siswa. Strategi pemecahan problem yang bisa diajarkan dalam pembelajaran matematika, antara lain: strategi coba-coba, intelligent guessing and testing, membuat gambar, menggunakan model matematika, mencari pola, membuat tabel, membuat dan mengorganisir daftar data atau informasi, bekerja mundur, menalar dengan logika, mencoba pada problem analog yang lebih sederhana, menuliskan persamaan atau kalimat terbuka, menggunakan kalkulator atau komputer, memperhitungkan segala kemungkinan, atau menggunakan sudut pandang yang berbeda. Dalam proses memecahkan masalah, siswa perlu memantau jalan berpikirnya atau proses metakognitif. Dalam proses ini siswa menyadari bagaimana dan mengapa ia melaksanakan hal tersebut, siswa juga menyadari langkah yang diambilnya apakah berjalan dengan baik atau menemui kendala sehingga sanggup mendorong siswa untuk memikirkan alternatif lain atau berusaha memahami kembali apa masalahnya. Sebagaimana halnya dengan strategi, kemampuan metakognitif ini juga sanggup dipelajari. Keyakinan diinterpretasikan sebagai pemahaman dan perasaan seseorang yang membentuk konseptualisasi dan keterikatan seseorang dengan matematika. Di samping penguasaan siswa akan bermacam-macam taktik pemecahan problem dan pentingnya proses metakognitif, bagaimana perasaan siswa ihwal pemecahan problem dan ihwal matematika secara umum mempunyai imbas yang signifikan terhadap usahanya untuk memecahkan problem dan keberhasilannya dalam matematika. Menurut Gorman (1974), faktor-faktor yang sanggup meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, antara lain ialah kemampuan mencari info yang relevan. Siswa harus sanggup membedakan info yang relevan dan yang tidak relevan terhadap problem yang dihadapinya. Kemudian, faktor kemampuan dalam menentukan pendekatan pemecahan masalah. Pendekatan pemecahan problem yang menurut pada keterampilan bernalar berupa uji hipotesis lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan yang tidak menurut pada keterampilan bernalar. Namun, terkadang taktik yang dipakai untuk memperoleh solusi tidak selalu berjalan dengan baik sehingga siswa juga perlu mempunyai fleksibilitas dalam menentukan pendekatan dan fleksibilitas dalam berpikir. Di samping itu, objektivitas dan keterbukaan dalam berpikir juga sanggup meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Objektivitas sanggup membantu siswa untuk bernalar secara logis. Schoenfeld (1992) mensintesiskan 5 aspek kognitif penting, yaitu: basis pengetahuan, taktik pemecahan masalah, monitoring dan kontrol, keyakinan dan kesungguhan, serta latihan-latihan. Kemampuan siswa dalam memecahkan problem terkait dengan pengetahuan yang dimilikinya, yaitu pengetahuan yang tersimpan dalam memorinya, dan bagaimana pengetahuan tersebut dikembangkan. Basis pengetahuan matematika siswa meliputi pengetahuan informalnya ihwal matematika dan pengetahuan intuitif, fakta dasar, definisi, mekanisme algoritmik, mekanisme rutin, pengetahuan ihwal rumus-rumus, prinsip matematika atau hukum lain yang relevan. Dalam pembelajaran, setidaknya ada dua unsur yang terlibat yaitu siswa dan guru. Bagaimana keyakinan siswa ihwal matematika dan bagaimana keyakinan guru ihwal matematika tentu kuat terhadap proses pembelajaran itu sendiri. Keyakinan siswa ihwal hakikat matematika antara lain: problem matematika hanya mempunyai satu tanggapan benar, dan hanya ada satu cara yang benar untuk menuntaskan problem matematika. Cara itu biasanya ialah cara yang sering diajarkan guru di kelas. Siswa umumnya juga berkeyakinan bahwa berguru matematika merupakan acara terisolir dan individu, matematika yang dipelajarinya di sekolah hanya mempunyai sedikit keterkaitan atau tidak terkait sama sekali dengan dunia nyata. Siswa berkemampuan rata-rata tidak sanggup diharapkan untuk bisa memahami matematika, sehingga mereka merasa lebih gampang untuk menghafalkan saja dan menerapkannya secara mekanistis tanpa pemahaman. Adapun keyakinan guru ihwal matematika misalnya: matematika lebih merupakan inspirasi dan proses berpikir daripada fakta, matematika akan lebih baik dipahami dengan cara menemukan kembali inspirasi tersebut. Oleh alasannya ialah itu, inovasi dan verifikasi merupakan proses yang penting dalam pembelajaran matematika. Guru juga berkeyakinan bahwa tujuan utama dari berguru matematika ialah menyebarkan keterampilan bernalar yang penting bagi pemecahan masalah. Guru harus merancang dan mengelola acara berguru yang bersifat terbuka dan informal semoga siswa mempunyai kebebasan untuk bertanya dan mengeksplorasi inspirasi mereka sendiri. Guru seharusnya mendorong siswa untuk menciptakan dugaan dan menalar sesuatu dengan usahanya sendiri daripada memperlihatkan kepada siswa bagaimana cara mencapai solusi atau jawaban. Guru seharusnya sanggup menarik intuisi dan pengalaman siswa dikala menyajikan suatu materi semoga menjadikannya lebih bermakna. Kemampuan pemecahan problem merupakan keterampilan yang diperoleh siswa dari berguru matematika. Sehingga latihan merupakan hal yang penting semoga siswa semakin terampil. Semakin siswa berpengalaman dalam memecahkan bermacam-macam masalah, semakin baik pula kemampuan pemecahan masalahnya. Akan lebih baik bila siswa tidak hanya dilatih untuk memakai satu taktik dalam memecahkan masalah. Untuk itu, siswa diberi kebebasan untuk melaksanakan dugaan dan pembuktian sendiri menurut konsep-konsep matematika yang dimilikinya. Siswa hendaknya mempunyai keterampilan untuk menentukan sendiri taktik apa yang sempurna untuk problem yang dihadapinya tersebut, siswa juga hendaknya sanggup memakai taktik tersebut pada bermacam-macam problem yang melibatkan konteks yang berbeda dan bab yang berbeda dari matematika. Menurut Resnick dan Ford (1981), terdapat tiga aspek yang menghipnotis kemampuan siswa dalam merancang taktik pemecahan masalah, yaitu: keterampilan siswa dalam merepresentasikan masalah keterampilan siswa dalam memahami ruang lingkup masalah, dan struktur pengetahuan siswa. Representasi matematis sanggup berupa: grafik, diagram, sketsa, persamaan, tabel, deretan bilangan, simbol/lambang, kata-kata, gambar, manipulatif objek, dan berpikir ihwal ide-ide matematika. Representasi matematis ini berfungsi sebagai sarana bagi siswa mengkomunikasikan gagasannya dikala menghadapi problem matematika. Semakin baik siswa mengkomunikasikan gagasannya, semakin baik pula siswa memahami hakikat problem yang dihadapinya. Dan sejalan dengan itu, semakin bermakna pemahaman konsep atau pengetahuan matematika siswa, maka semakin baik pula kemampuan siswa untuk merancang taktik pemecahan masalah. Posamentier dan Stepelman (1999) memaparkan faktor-faktor yang sanggup meningkatkan kreativitas siswa dalam memecahkan problem dilihat dari aspek lingkungan berguru dan guru, antara lain: menyediakan lingkungan berguru yang mendorong kebebasan siswa untuk berekspresi, menghargai pertanyaan siswa dan ide-idenya, memberi kesempatan bagi siswa untuk mencari dan menemukan solusi dengan caranya sendiri, memberi evaluasi terhadap orisinalitas inspirasi siswa dan mendorong pembelajaran kooperatif yang menyebarkan kreativitas pemecahan problem siswa. Dalam kegiatan pembelajaran, bentuk kegiatan pemecahan problem secara berkelompok dinilai lebih efisien daripada dilakukan secara individual. Faktor lain yang sanggup meningkatkan kemampuan pemecahan problem dari aspek guru yaitu perlakuan motivasional terhadap siswa menyerupai memperlihatkan toleransi dan pengertian. Dengan demikian, faktor-faktor yang kuat terhadap kemampuan siswa memecahkan problem matematika adalah: Kemampuan memahami ruang lingkup problem dan mencari info yang relevan untuk mencapai solusi Kemampuan dalam menentukan pendekatan pemecahan problem atau taktik pemecahan problem di mana kemampuan ini dipengaruhi oleh keterampilan siswa dalam merepresentasikan problem dan struktur pengetahuan siswa Keterampilan berpikir dan bernalar siswa yaitu kemampuan berpikir yang fleksibel dan objektif Kemampuan metakognitif atau kemampuan untuk melaksanakan monitoring dan kontrol selama proses memecahkan masalah Persepsi ihwal matematika Sikap siswa, meliputi kepercayaan diri, tekad, kesungguh-sungguhan dan ketekunan siswa dalam mencari pemecahan masalah latihan-latihan Adapun tugas guru yang kuat positif dalam meningkatkan kemampuan siswa memecahkan problem matematika adalah: Memberi cukup ruang bagi siswa untuk berkreasi Bersikap responsif dan toleran Mendorong kemandirian siswa dalam berpikir Referensi:Gorman, R. M. (1974). The psychology of classroom learning: An inductive approach. Columbus, Ohio. Merril Publishing Company. Posamentier, A. S. & Stepelman, J. (1999). Teaching secondary school mathematics: Techniques and enrichment units (5th ed). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall. Resnick, L. B & Ford, W. W. (1981). The Psychology of mathematics for instruction. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Schoenfeld. (1992). Learning to think mathematically: Problem solving, metacognition, and sense making in mathematics. Dalam Grouws, Douglas A (Eds.), Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning (pp. 334-366). New York: Macmillan Publishing Company. van de Walle, J. A. (1994). Elementary school mathematics: Teaching developmentally (2nd ed). New York: Longman Publishing. [Kemampuan Siswa Memecahkan Masalah Matematika (Mathematics Problem Solving) | Sri Wulandari Danoebroto] Mungkin Anda perlu artikel ini, Silahkan di d0wnl0ad:Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kemampuan Siswa Memecahkan Masalah Matematika.pdf Pengembangan Model Pembelajaran CTL.pps Persiapan dan Praktik Mengajar.pdf Model-Model Pembelajaran.ppt Tinjauan Matematika.pdf Pemecahan Masalah.pdf Contoh Masalah.ppt Dasar-dasar Problem Solving.pdf Dasar-dasar Problem Solving.ppt Praktek Pembelajaran Matematika.pdf Implikasi Konstruktivisme SD.pdf Dasar-dasar Psikologi Pembelajaran.ppt Strategi Pembelajaran SMA.pdf Bagaimana perkalian dikerjakan dengan cara nakal, mari kita lihat perkalian yang kreatif dikerjakan dengan cara piral (pintar bernalar); Sumber http://www.defantri.com Share this post
0 Response to "Kemampuan Siswa Memecahkan Duduk Masalah Matematika (Mathematics Problem Solving)"
Posting Komentar