iklan

Biografi Ulama - R.A, Kartini, Santriwati Yang Cerdas Dan Jagoan Indonesia

Siapa yang tak mengenal Tokoh Pahlawan perempuan ini, setiap tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini. Ibu kartini ialah sosok perempuan yang penuh ilham perbaikan bagi orang banyak, bukan hanya sekedar bertahan hidup dan berjuang dari rasa lapar, hidup tanpa uang dan permasalahan yang bersifat hedonisme lainnya.


Namun lebih kepada kedudukan seorang perempuan yang sholihah, yang baik berdasarkan Allah, dengan impian menggapai kedudukan tertinggi yaitu "Hamba Allah".

Sebagaimana surat Ibu Kartini yang ditulis ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Ibu Kartini menulis; Ingin benar saya memakai gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.

Yah, hamba Allah, bagi para perempuan Indonesia,,, kalau kalian ingin menjiplak jejak Ibu Kartini ingatlah surat beliau,,, yang lebih menyukai dan ingin semoga menerima predikat "Hamba Allah".

Sebuah predikat yang tentu membutuhkan ilmu, lantaran Hamba Allah berarti orang yang bertaqwa, dan semoga menjadi orang yang bertaqwa tentu harus mengerti makna taqwa yang sanggup diartikan "manut".

Manut pada perintah Allah, begitulah kira-kira yang dilakukan oleh Ibu Kartini. Hingga dia mau menuntut ilmu agama kepada salah satu Ulama yang Ahli sunnah wal jamaah dari semarang.

Biografi R.A Kartini

Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat ialah nama lengkap beliau. Ia dilahirkan pada tanggal 21 April 1879 di Mayong, Jepara, Jawa Tengah. Ayahnya yang berjulukan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat merupakan seorang bupati Jepara. 

Kartini ialah keturunan ningrat. Hal ini sanggup dilihat dari silsilah keluarganya. Kartini ialah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya berjulukan M.A. Ngasirah, putri dari NyaiHaji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini sanggup dilacak hingga Hamengkubuwana VI. 

Garis keturunan Bupati Sosroningrat bahkan sanggup ditilik kembali ke istana Kerajaan Majapahit. Semenjak Pangeran Dangirin menjadi bupati Surabaya pada kala ke-18, nenek moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja. Ayah Kartini pada mulanya ialah seorang wedana di Mayong. 

Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah darah biru tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan pribadi Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Kartini ialah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini ialah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan kala ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya. 

Kakak Kartini, Sosrokartono, ialah seorang yang pandai dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini berguru bahasa Belanda. Tetapi sesudah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah lantaran sudah sanggup dipingit. Beliau bersekolah hanya hingga sekolah dasar. 

Ia berkeinginan untuk melanjutkan sekolahnya, tapi tidak diizinkan oleh orangtuanya. Sebagai seorang gadis, Kartini harus menjalani masa pingitan hingga hingga waktunya untuk menikah. Ini merupakan suatu adat yang harus dijalankan pada waktu itu. Kartini hanya sanggup memendam keinginannnya untuk bersekolah tinggi.

Untunglah dia gemar membaca dari buku – buku, koran, hingga majalah Eropa. Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa .Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga mendapatkan leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). 

Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah perempuan Belanda De Hollandsche Lelie. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judulMax Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. 

Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder(Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda. Pikirannya menjadi terbuka lebar, apalagi sesudah membandingkan keadaan perempuan di Eropa dengan perempuan Indonesia. 

Sejak itu, timbullah keinginan dia untuk memajukan perempuan pribumi yang pada dikala itu berada pada status sosial yang rendah. Ia ingin memajukan perempuan Indonesia melalui pendidikan. Untuk itu, dia mendirikan sekolah bagi gadis – gadis di Jepara, lantaran pada dikala itu ia berdomisili di Jepara. Muridnya hanya berjumlah 9 orang yang terdiri dari kerabat atau famili.

Surat R.A. Kartini

Curhat dengan Stella Zihandelaar

Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;

Mengenai agamaku, Islam, saya harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan anutan agamanya dengan umat lain. Lagi pula, saya beragama Islam lantaran nenek moyangku Islam. Bagaimana saya sanggup menyayangi agamaku, kalau saya tidak mengerti dan dilarang memahaminya?

Alquran terlalu suci; dilarang diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, semoga sanggup dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang berguru Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.

Aku pikir, ialah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh saya menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.

Aku pikir, tidak jadi orang Sholeh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?

Surat Untuk Ny. Van Kol
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis;
Saya bertekad dan berupaya memperbaiki gambaran Islam, yang selama ini kerap menjadi target fitnah. Semoga kami menerima rahmat, sanggup bekerja menciptakan agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.

Surat Untuk Ny. Abendanon
Di samping itu, ia banyak pula menulis surat untuk teman-temannya orang Belanda.  Salah satunya ialah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dalam surat itulah ia melampiaskan cita-citanya untuk menuntut persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan wanita. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan akibatnya dimuat diDe Hollandsche Lelie, sebuah majalah terbitan Belanda yang selalu ia baca. 

RA Kartini menulis ke Yn. Abendanon dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.

Dan waktu itu saya tidak mau lagi melaksanakan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, berguru menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak saya mengerti artinya.

Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada saya apa artinya, nanti saya akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami dilarang mengerti apa artinya.

Salah satu isi surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;

Ingin benar saya memakai gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.

Dari surat-suratnya, tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil menciptakan catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga dilema sosial umum. Kartini melihat usaha perempuan semoga memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan aturan sebagai kepingan dari gerakan yang lebih luas.

Bertemu Kiai Sholeh Darat

Riwayat pertemuan Mbah Sholeh dengan RA Kartini sebagai awal langkah penulisan Tafsir Qur’an dalam Bahasa Jawa

“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya.  Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi semenjak hari  ini ia menjadi terang-benderang hingga kepada makna tersiratnya,  sebab Romo Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami.”. (RA Kartini)

Salah satu murid Mbah Kiai Sholeh Darat yang terkenal, tetapi bukan dari kalangan ulama ialah Raden Ajeng Kartini. Karena RA Kartini inilah Mbah Sholeh Darat menjadi pencetus penerjemahan Al-Qur’an ke Bahasa Jawa. Menurut catatan RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan dikala mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya lantaran dia bertanya perihal arti sebuah ayat Qur’an.

Kalau membaca surat surat Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon dengan tanggal 15 Agustus 1902 dari Belanda, terkesan Raden Ajeng Kartini sudah jadi sekuler dan penganut feminisme. Namun kisah berikut ini semoga sanggup memberi informasi gres mengenai apresiasi Kartini pada Islam dan Ilmu Tasawuf.

Mengapa? Karena dalam surat surat RA Kartini yang notabene sudah diedit dan dalam pengawasan Abendanon yang notabene merupakan abdnegara pemerintah kolonial Belanda plus Orientalis itu, dalam surat surat Kartini beliu sama sekali tidak menceritakan pertemuannya dengan Kiai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang — lebih dikenal dengan sebutan Kiai Sholeh Darat.

Takdir,mempertemukan Kartini dengan Kiai Sholeh Darat. Pertemuan terjadi dalam program pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.

Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Sholeh Darat. Saat itu dia sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Sholeh Darat.

Kiai Sholeh Darat menunjukkan ceramah perihal tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kiai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.

Ini sanggup dipahami lantaran selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.

Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kiai Sholeh Darat. Sang paman tak sanggup mengelak, lantaran Kartini merengek-rengek menyerupai anak kecil. Berikut obrolan Kartini-Kiai Sholeh.

“Kiai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berakal menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.

Kiai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kiai Sholeh balik bertanya.

“Kiai, selama hidupku gres kali ini saya berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.

Kiai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, saya heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Alquran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Alquran ialah bimbingan hidup senang dan sejahtera bagi manusia?”

Dialog berhenti hingga di situ. Kiai Sholeh tak sanggup berkata apa-apa kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kiai Sholeh untuk melaksanakan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa.

Dalam pertemuan itu RA Kartini meminta semoga Qur’an diterjemahkan lantaran menurutnya  tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya.  Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan al-Qur’an.  Mbah Sholeh Darat melanggar larangan ini, Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.

Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan abjad Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada dikala dia menikah  dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang.  Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan:

“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya.  Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi semenjak hari  ini ia menjadi terang-benderang hingga kepada makna tersiratnya,  sebab Romo Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami.”

Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu:

Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya (Q.S. al-Baqoroh: 257).

Dalam banyak suratnya kepada Abendanon,  Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.

Surat yang diterjemahkan Kiai Sholeh ialah Al Fatihah hingga Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai lantaran Mbah Kiai Sholeh Darat keburu wafat.

Kiai Sholeh membawa Kartini ke perjalanantransformasi spiritual. Pandangan Kartini perihal Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.

Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.

Tidak sekali-kali kami hendak mengakibatkan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.

Tafsir Faidlur Rahman fi Tarjamati Tafsir Kalam Malikid Dayyan

Tafsir Faidlur Rahman fi Tarjamati Tafsir Kalam Malikid Dayyan jilid satu itu ditulis selama sebelas bulan oleh Mbah Sholeh Darat (20 Rajab 1309 H/19 Februari 1892 hingga 19 Jumadal Ula 1310 H/9 Desember 1892 M). Jilid pertama ini berjumlah 503 halaman dengan bahasan surat al-Fatihah dan surat al-Baqarah. Kemudian kitab tafsir itu dicetak oleh percetakan HM Amin Singapura pada 27 Rabiul Akhir 1311 H/7 November 1893. Oleh Amirul Ulum ditegaskan bahwa pertemuan Kartini dan Mbah Sholeh Darat sudah pernah dilakukan sebelum 1892, tepat sebelum Kartini dipingit.

Seorang suami dari buyut Mbah Sholeh Darat berjulukan Agus Tiyanto (sering menyebut namanya Abu Malikus Salih Dzahir) menjelaskan bahwa sumber data Kartini pernah nyantri dengan Mbah Sholeh Darat ini awalnya ditemukan oleh Moesa Machfudz (dosen sejarah UGM) berdasarkan catatan pribadi murid Kyai Sholeh Darat yaitu KH. Ma’shum Demak. Dan itu dimuat dalam Majalah Gema Yogyakarta Nomor 3 tahun 1978.

Adapun tokoh-tokoh generasi awalyang melacak dan meneliti riwayat Mbah Soleh Darat pertama ialah HM. Ali Cholil (cucu Kyai Soleh Darat), kemudian dilanjutkan Abdullah Salim (Universitas Sultan Agung), Danuwiyoto (Dosen IAIN Sunan Kalijogo) dan Muchoyyar (IAIN Walisongo). Yang menulis buku perihal Mbah Sholeh Darat pertama ialah Abdullah Salim dalam goresan pena Arab Pegon dan dilanjutkan Agus Tiyanto dengan kemudian adanya revisi pemanis dan editing dari Muhammad Ikhwan.

Agus Tiyanto menambahkan  bahwa yang menarik dari RA Kartini ialah tiga hal: Pertama, Kartini telah menerima pencerahan (ilmu hikmah) dalam memahami ilmu agama berkat bimbingan seorang ulama (kyai). Kedua, Kartini yang dinyatakan p0juang sejati kesetaraan gender, tetapi pada akibatnya mendapatkan juga ketika suaminya berpoligami. Disitulah belakang layar besar lengan berkuasa Kartini. Dan ketiga, Kartini ialah generasi p0juang yang lahir dengan garis ayah dari kaum ningrat (terikat dengan adat budaya Jawa) dan dari garis Ibu yang dari ulama-ulama dalam tradisi kaum santri.

Yang perlu dibuka dan dikaji kali ini ialah bagaimana Mbah Sholeh Darat menyinggung atau mengisyaratkan seorang Kartini sebagai seorang muridnya? Apakah ada cacatan perihal itu? Coba kita simak pembukaan Kitab Tafsir Faudlur Rahma karya Mbah Sholeh Darat dalam bahasa Jawa dan ditulis dengan pegon ini:

Alhamdulillah amarana fi amrin hakim, wa nahana ‘anit ta’jil fi amrit ta’lim. Wassalatu wassalamu ‘ala syafi’il anam, sayyidina Muhammadin wa ‘ala ‘alihi washahbihi hidayatal ummah wal malikik ‘allam. Amma ba’du. Mekaten nyuwun marang Syaikhana mu’allif iki tafsir setengahe ikhwan kita fiddin kang supoyo iki tafsir kasebaro luwih disik senadyan mung sak surat, alasannya ialah kerono yakine hajate ba’dlul ikhwan mahu lan liyan-liyane hajat ngaweruhi iki tafsir. Maka ora kerso Syaikhana nuruti penuwune ba’dlul ikhwan mahu alasannya ialah mengkono iku ora muwafiq karo ‘azate ulama’ yang mutaqaddimin. Jalaran ulama mutaqaddimin iku ora kerso nyebar karangane yen durung rampung sarto piyambake taseh jumeneng. Sak wuse semunu saking bangete kajenge karepe kang nyuwun mahu, maka nuli istakharah Syaikhana nyuwun idzin apa kalilan disebar disik opo ora. Maka nuli diparingi isyarati idzin nyebarake tafsir marang wong akeh. Mulane iki juz awal disebar luwih disik sedurunge rampung liya-liyane. Mugo-mugo kang keri bisoho rampung. Kejobo soko iku iki ta’jil iku ora klebu hadits: “Al’ajalah minasy syaithan” alhadits. Sanadyan nulaya tatapan karo ‘adate ulama mutaqaddimin kerono wus ono idzin mahu kerono pesan tersirat ing njeruni iki ta’jil. Iyo iku inggal-inggal weruhe muslimin kang raghibe yang ora jahade mung ilmune pesan tersirat kang kasebut ono ing iki tafsir mugo-mugo iki ta’jil kalebu ta’jil sababi. Lamun ora dita’jil maka yekti suwe ora weruhe wong akeh mung ilmune pesan tersirat lan asrar kang kasebut ana ing iki tafsir ing hale sak iki kito kabeh wus kewajibane ngaweruhi ilmune pesan tersirat “lan asrore Qur’an”. Iyo bener wus tafsir olehe mahami tafsir liyane iki jalaran tembung Arab serto maneh lamuno olehe nyebar iki tafsir iki ngenteni rampung kabeh, maka yekni isih luas banget lan durung karuwan menangi rampung jalaran umur kito durung karuan menangi rampunge soko rampunge kabeh. Dadi kito mati sakdurunge weruh isine tafsir iki. Mugo-mugo kito keparingan weruh isine kabeh sarto amal alhashil ta’jil iki iku ora haram, ora mekruh, ora khilaful aula malah luwih becik lan luwih agung fadlilahe. Sebab kerono gegawe wasilah marang barang kang luweh gede  iyo iku weruhe wong akih marang ilmu lan pesan tersirat lan asrar. Ing hale asrar iku asrare Ratu kang agung lan maneh iki ta’jil iku ta’jil ata wal hikam”.

Kalimat pembuka ini menjadi fakta tekstual dari Mbah Sholeh Darat terhadap kegelisahan Kartini dalam hal memahami belakang layar al-Qur’an. Mbah Sholeh Darat menegaskan bahwa seruan untuk menerbitkan kepingan dari seluruh tafsir ini seruan sebagian teman-temannya. 

Bukan hanya itu, tapi ditegaskan ikhwan kito fiddin (teman yang seagama). Ini menegaskan bahwa seruan itu bukan dari Belanda yang beda agama. Dan Mbah Sholeh Darat sadar, bahwa tradisi ulama pendahulu itu kalau menciptakan karya tidak akan dipublikasikan sebelum selesai. Maka langkah spiritual dilakukan dengan istikharah dan isyaratnya boleh mempercepat penyebaran tafsir itu.

Alasan besar lengan berkuasa yang mengakibatkan percepatan penerbitan tafsir itu ialah lantaran umat sudah sangat membutuhkan. Sedangkan sebagian besar orang Jawa tidak sanggup berbahasa Arab. Ungkapan ini sama dengan ungkapan Kartini dalam surat pada Stella. Makara sangat masuk akal kalau dialektika karya Kartini direspon cepat oleh Mbah Sholeh Darat. Dan ada yang luar biasa dari ungkapan Mbah Sholeh Darat dalam mengukur usianya. Seakan sudah ada tanda bahwa dia akan berpamitan pada umat, maka tafsir yang jilid pertama dipercepat.

Sudah tidak ada yang sanggup mencurigai lagi pertemuan Kartini dengan Mbah Sholeh Darat dalam konteks masa hidup dan karya-karyanya. Ini seakan menjadi bukti konkret “dialog” antara dua tokoh dalam tabrakan tintanya masing-masing. Kartini melukiskan dalam surat-suratnya. Dan Mbah Sholeh Darat menulis dalammuqaddimah/pembukaan kitab tafsirnya. Apalagi Mbah Sholeh menuliskan kata “Ratu” dalam pembukaan tafsirnya. Kata “Ratu” itu sanggup memaksudkan bahwa yang dimaksudkan dua hal: Allah atau “Ratu” itu ialah pemerintah dan keluarga (termasuk Kartini).

Pernikahan R.A Kartini

Beliau sempat mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Belanda lantaran tulisan-tulisan hebatnya, namun ayahnya pada dikala itu tetapkan semoga Kartini harus menikah dengan R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat, Bupati Rembang kala ituyang sudah pernah mempunyai tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Sejak itu, Kartini harus hijrah dari Jepara ke Rembang mengikuti suaminya.  

Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah perempuan di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang sekarang dipakai sebagai Gedung Pramuka.

Kartini mempunyai seorang anak lelaki berjulukan Soesalit Djojoadhiningrat, yang dilahirkan pada tanggal 13 September 1904. Selang beberapa hari pasca melahirkan, Kartini tutup usia pada tanggal 17 September 1904. Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Beliau dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Sumber http://d0w3r.blogspot.com/

0 Response to "Biografi Ulama - R.A, Kartini, Santriwati Yang Cerdas Dan Jagoan Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel