Iwan Pranoto: Kemandirian Masyarakat Bernalar
Revolusi Industri sekaligus secara umum kemajuan sains dan teknologi hari ini tak sanggup dilepaskan dari buah keberhasilan gerakan pelibatan masyarakat dalam proses bernalar, yang dikenal sebagai Age of Reason atau Pencerahan.
Ini keberanian insan meremukkan pasung mental yang diciptakan sendiri: bahwa dirinya masih anabawang sehingga tak layak berpikir sanggup bangun diatas kaki sendiri [Kant, 1784].
Anggapan dirinya anabawang tadi, berdasarkan Kant, bukan alasannya yaitu masyarakat kurang pandai, melainkan alasannya yaitu mereka belum mempunyai keberanian dan sudah nyaman mematuhi insan lain yang dianggap lebih tinggi. Kecuali itu, masyarakat awam juga sudah nyaman "nerimo" jikalau urusan dirinya dipikirkan pihak lain. Maka, berdasarkan Kant lagi, semoga masyarakat luas berani memakai pemahaman hasil bernalar sendiri perlu digaungkan kebebasan.
Ringkasnya, kebebasan bernalar sanggup bangun diatas kaki sendiri merupakan cara menggelorakan Pencerahan.
Dalam hal penebaran kebebasan, sistem pendidikan mempunyai tugas paling strategis di masyarakat. Namun, untuk itu, sistem pendidikan perlu mentransformasi dirinya sendiri dahulu. Sistem pendidikan yang sudah berabad-abad terbiasa turut menebarkan kepatuhan sekaligus mengamini perasaan ketakberdayaan perlu berganti haluan nilai. Yang sebelumnya mengedepankan nilai mematuhi pikiran pihak yang ditinggikan berganti menjadi berani mengutamakan pernalaran sendiri.
Di luar sistem pendidikan formal terdapat dua penemuan fundamental yang turut menghela Pencerahan sekaligus mengubah kehidupan. Inovasi bersifat teknis ini secara pribadi menumbuhkan makna perebutan hak belajar dan bernalar tadi dalam wujud nyata, yaitu mesin cetak dan ensiklopedia.
Sampai sebelum kala ke-15, buku harus disalin dengan ditulis tangan satu per satu. Akibatnya, buku menjadi mahal dan langka. Akhirnya, pengetahuan hanya dikuasai kelompok beruntung. Alat cetak yang ada juga tidak simpel alasannya yaitu cetakannya harus diukir dari papan kayu halaman per halaman.
Dengan berpikir bahwa perjuangan penerbitan buku berpotensi menghasilkan uang banyak, pebisnis dan pintar besi Jerman, Johannes Gutenberg, merancang alat cetak yang terdiri atas cetakan alfabet per alfabet dan terbuat dari logam. Ini menciptakan percetakan lebih sederhana serta tahan usang sehingga sanggup dipakai untuk menghasilkan cetakan yang bagus, relatif murah, dan bahkan indah.
Sebenarnya, di Korea pada tahun 1400-an sudah dibentuk alat cetak sejenis, tetapi alasannya yaitu bahasa tulis di Korea [dan juga rumpun bahasa Sino-Tibet] memerlukan 10.000-an karakter, inspirasi ini mandek. Sementara Gutenberg beruntung alasannya yaitu bahasa tulis di Eropa memerlukan kurang dari 70 huruf [termasuk huruf kecil dan besar, serta tanda baca].
Produksi berskala besar pertama Gutenberg berupa 200 kitab suci pada tahun 1455. Produk pertama ini laris keras, bahkan habis dipesan sebelum diluncurkan. Dapat dibayangkan guncangannya, kitab suci yang sebelumnya ditulis tangan satu per satu dan karenanya hanya sanggup dibaca kalangan agamawan, terobosan Gutenberg memungkinkan masyarakat turut memahami serta nantinya menafsirkan sendiri. Terobosan ini menyulut keberanian masyarakat untuk beropini memakai benaknya sendiri.
Sebelum ada mesin cetak Gutenberg, di seluruh Eropa hanya ada 30.000 buku, tetapi pada tahun 1500 sudah ada 9 juta buku [Kaku, 2011]. Ini Revolusi Informasi yang sesungguhnya.
Pada simpulan kala ke-19, dengan tenaga mesin uap, industri penerbitan buku berskala industri semakin berkembang. Kemajuan penerbitan buku ini mempercepat penyebaran pengetahuan dan merombak dunia melalui revolusi radikal di sains, politik, agama, dan seni. Pesan pentingnya, kemajuan ini menyadarkan insan bahwa ada pengembangan pengetahuan di luar keyakinan.
Setaraf dengan makna penting penemuan Gutenberg dalam peradaban manusia, filsuf Denis Diderot bersama matematikawan Jean le Rond d'Alembert menggagas ensiklopedia, yang diartikan sebagai kamus sistematis dalam sains, seni, dan kriya. Kumpulan pengetahuan mutakhir yang ditulis oleh 125 cendekiawan terkemuka Eropa dan diterbitkan tahun 1772 itu menjelmakan semangat Pencerahan dengan mengajak masyarakat mempertanyakan kepastian serta kebenaran mutlak dari masa sebelumnya berlandaskan logika dan sains. Ensiklopedia diimpikan semoga sanggup menyemarakkan kasmaran mencar ilmu dan keberanian bernalar di masyarakat.
Dengan menyebarnya percetakan dan ensiklopedia itu, keran pengetahuan terbuka dan masyarakat asyik mencecap gelontoran gosip kemajuan sains dan pengetahuan lainnya.
Pemahaman bahwa pengetahuan sebagai milik publik serta bernalar sebagai hak tiap insan terus berlanjut dan melintas rentetan gelombang zaman. Bahkan, pemahaman itu semakin terawat baik di era digital ini.
Demikian pula dengan ensiklopedia. Walau ensiklopedia tradisional dalam wujud puluhan jilid buku tebal sudah jadi kenangan masa lalu, teknologi digital memungkinkan masyarakat hari ini mengakses pengetahuan dengan gampang dan murah. Bahkan "ensiklopedia" terlengkap dan termutakhir [baca: Wikipedia] kini terselip di dalam saku. Pencarian gosip sanggup dilakukan dengan telepon seluler [ponsel] di mana saja dan hanya butuh waktu sekian detik. Juga, kini masyarakat awam sanggup berkontribusi turut mengisi, melengkapi, dan memvalidasi isi ensiklopedia.
Sayangnya, kemajuan di bidang pendidikan hari ini belum selaju percetakan dan ensiklopedia. Praktik pendidikan di dunia hari ini hampir masih sama menyerupai Zaman Pencerahan atau sebelumnya. Kemajuan pesat sains dan teknologi ternyata belum membuahkan akad bahwa kemerdekaan bernalar sanggup bangun diatas kaki sendiri yaitu sasaran utama sistem pendidikan. Kecakapan bernalar juga belum dibelajarkan di kelas secara sistematis.
Karena itu, institusi pendidikan perlu menggaungkan terus pembelajaran kecakapan bernalar. Masyarakat yang sanggup bangun diatas kaki sendiri bernalar merupakan prasyarat pemijahan bibit toleransi sejati dalam bernegara, bermasyarakat, dan berkeyakinan di generasi mendatang.
Oleh : Iwan Pranoto, Pengajar Matematika di ITB
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi Selasa, 3 April 2018 dengan judul "Kemandirian Masyarakat Bernalar"
Video pilihan khusus untuk Anda 💗 Mengenal salah satu matematikawan Indonesia;
Sumber http://www.defantri.com
Ini keberanian insan meremukkan pasung mental yang diciptakan sendiri: bahwa dirinya masih anabawang sehingga tak layak berpikir sanggup bangun diatas kaki sendiri [Kant, 1784].
Kemandirian Bernalar
Yang sebelumnya aktivitas mencar ilmu dan bernalar dikuasai kalangan agamawan dan ningrat, kemudian Pencerahan menyadarkan insan bahwa dirinya, bahkan yang dari kalangan pinggiran, berhak dan perlu mengetengahkan buah olahan benaknya sendiri. Ini alasannya Zaman Pencerahan bermoto: "Berani memakai pemahaman hasil pemikiran sendiri".Anggapan dirinya anabawang tadi, berdasarkan Kant, bukan alasannya yaitu masyarakat kurang pandai, melainkan alasannya yaitu mereka belum mempunyai keberanian dan sudah nyaman mematuhi insan lain yang dianggap lebih tinggi. Kecuali itu, masyarakat awam juga sudah nyaman "nerimo" jikalau urusan dirinya dipikirkan pihak lain. Maka, berdasarkan Kant lagi, semoga masyarakat luas berani memakai pemahaman hasil bernalar sendiri perlu digaungkan kebebasan.
Ringkasnya, kebebasan bernalar sanggup bangun diatas kaki sendiri merupakan cara menggelorakan Pencerahan.
Dalam hal penebaran kebebasan, sistem pendidikan mempunyai tugas paling strategis di masyarakat. Namun, untuk itu, sistem pendidikan perlu mentransformasi dirinya sendiri dahulu. Sistem pendidikan yang sudah berabad-abad terbiasa turut menebarkan kepatuhan sekaligus mengamini perasaan ketakberdayaan perlu berganti haluan nilai. Yang sebelumnya mengedepankan nilai mematuhi pikiran pihak yang ditinggikan berganti menjadi berani mengutamakan pernalaran sendiri.
Di luar sistem pendidikan formal terdapat dua penemuan fundamental yang turut menghela Pencerahan sekaligus mengubah kehidupan. Inovasi bersifat teknis ini secara pribadi menumbuhkan makna perebutan hak belajar dan bernalar tadi dalam wujud nyata, yaitu mesin cetak dan ensiklopedia.
Sampai sebelum kala ke-15, buku harus disalin dengan ditulis tangan satu per satu. Akibatnya, buku menjadi mahal dan langka. Akhirnya, pengetahuan hanya dikuasai kelompok beruntung. Alat cetak yang ada juga tidak simpel alasannya yaitu cetakannya harus diukir dari papan kayu halaman per halaman.
Dengan berpikir bahwa perjuangan penerbitan buku berpotensi menghasilkan uang banyak, pebisnis dan pintar besi Jerman, Johannes Gutenberg, merancang alat cetak yang terdiri atas cetakan alfabet per alfabet dan terbuat dari logam. Ini menciptakan percetakan lebih sederhana serta tahan usang sehingga sanggup dipakai untuk menghasilkan cetakan yang bagus, relatif murah, dan bahkan indah.
Sebenarnya, di Korea pada tahun 1400-an sudah dibentuk alat cetak sejenis, tetapi alasannya yaitu bahasa tulis di Korea [dan juga rumpun bahasa Sino-Tibet] memerlukan 10.000-an karakter, inspirasi ini mandek. Sementara Gutenberg beruntung alasannya yaitu bahasa tulis di Eropa memerlukan kurang dari 70 huruf [termasuk huruf kecil dan besar, serta tanda baca].
Produksi berskala besar pertama Gutenberg berupa 200 kitab suci pada tahun 1455. Produk pertama ini laris keras, bahkan habis dipesan sebelum diluncurkan. Dapat dibayangkan guncangannya, kitab suci yang sebelumnya ditulis tangan satu per satu dan karenanya hanya sanggup dibaca kalangan agamawan, terobosan Gutenberg memungkinkan masyarakat turut memahami serta nantinya menafsirkan sendiri. Terobosan ini menyulut keberanian masyarakat untuk beropini memakai benaknya sendiri.
Sebelum ada mesin cetak Gutenberg, di seluruh Eropa hanya ada 30.000 buku, tetapi pada tahun 1500 sudah ada 9 juta buku [Kaku, 2011]. Ini Revolusi Informasi yang sesungguhnya.
Pada simpulan kala ke-19, dengan tenaga mesin uap, industri penerbitan buku berskala industri semakin berkembang. Kemajuan penerbitan buku ini mempercepat penyebaran pengetahuan dan merombak dunia melalui revolusi radikal di sains, politik, agama, dan seni. Pesan pentingnya, kemajuan ini menyadarkan insan bahwa ada pengembangan pengetahuan di luar keyakinan.
Setaraf dengan makna penting penemuan Gutenberg dalam peradaban manusia, filsuf Denis Diderot bersama matematikawan Jean le Rond d'Alembert menggagas ensiklopedia, yang diartikan sebagai kamus sistematis dalam sains, seni, dan kriya. Kumpulan pengetahuan mutakhir yang ditulis oleh 125 cendekiawan terkemuka Eropa dan diterbitkan tahun 1772 itu menjelmakan semangat Pencerahan dengan mengajak masyarakat mempertanyakan kepastian serta kebenaran mutlak dari masa sebelumnya berlandaskan logika dan sains. Ensiklopedia diimpikan semoga sanggup menyemarakkan kasmaran mencar ilmu dan keberanian bernalar di masyarakat.
Dengan menyebarnya percetakan dan ensiklopedia itu, keran pengetahuan terbuka dan masyarakat asyik mencecap gelontoran gosip kemajuan sains dan pengetahuan lainnya.
Pemahaman bahwa pengetahuan sebagai milik publik serta bernalar sebagai hak tiap insan terus berlanjut dan melintas rentetan gelombang zaman. Bahkan, pemahaman itu semakin terawat baik di era digital ini.
Era digital
Sekarang, penulis, percetakan, dengan pembaca sudah nyaris berada pada satu titik di ruang dan waktu. Teknologi digital memungkinkan penulis pribadi berafiliasi dengan calon pembaca dan mencetak goresan pena di rumah pembaca, yang boleh jadi ada di pulau terpencil di tengah laut, nyaris dalam waktu sekejap. Semangat perebutan hak belajar oleh masyarakat beriringan dengan kemajuan teknologi digital.Demikian pula dengan ensiklopedia. Walau ensiklopedia tradisional dalam wujud puluhan jilid buku tebal sudah jadi kenangan masa lalu, teknologi digital memungkinkan masyarakat hari ini mengakses pengetahuan dengan gampang dan murah. Bahkan "ensiklopedia" terlengkap dan termutakhir [baca: Wikipedia] kini terselip di dalam saku. Pencarian gosip sanggup dilakukan dengan telepon seluler [ponsel] di mana saja dan hanya butuh waktu sekian detik. Juga, kini masyarakat awam sanggup berkontribusi turut mengisi, melengkapi, dan memvalidasi isi ensiklopedia.
Sayangnya, kemajuan di bidang pendidikan hari ini belum selaju percetakan dan ensiklopedia. Praktik pendidikan di dunia hari ini hampir masih sama menyerupai Zaman Pencerahan atau sebelumnya. Kemajuan pesat sains dan teknologi ternyata belum membuahkan akad bahwa kemerdekaan bernalar sanggup bangun diatas kaki sendiri yaitu sasaran utama sistem pendidikan. Kecakapan bernalar juga belum dibelajarkan di kelas secara sistematis.
Karena itu, institusi pendidikan perlu menggaungkan terus pembelajaran kecakapan bernalar. Masyarakat yang sanggup bangun diatas kaki sendiri bernalar merupakan prasyarat pemijahan bibit toleransi sejati dalam bernegara, bermasyarakat, dan berkeyakinan di generasi mendatang.
Oleh : Iwan Pranoto, Pengajar Matematika di ITB
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi Selasa, 3 April 2018 dengan judul "Kemandirian Masyarakat Bernalar"
Video pilihan khusus untuk Anda 💗 Mengenal salah satu matematikawan Indonesia;
0 Response to "Iwan Pranoto: Kemandirian Masyarakat Bernalar"
Posting Komentar