Makalah Deskripsi Insiden Tutur Dan Tindak Tutur Penawaran Dan Penolakan
Membuat makalah memang sudah hal biasa bagi kalangan mahasiswa alasannya yakni menciptakan makalah menyerupai makanan,yang setiap hari selalu ada.oleh alasannya yakni itu bagi kalian yang sedang mencari contoh makalah wacana deskripsi saya sediakan contoh makalah deskripsi bencana tutur penawaran dan penolakan sebagai berikut :
Makalah deskripsi bencana tutur dan tindak tutur penawaran dan penolakan pada wacana jual beli sandang dan pangan ( pasar sumur panggang )
Diajukan untuk memenuhi kiprah mata kuliah “ Sosiolinguistik “ pada jadwal studi pendidikan bahasa indonesia yang di ampu oleh : Lely Triyana,M.Pd
Disusun Oleh :
Nama : Fuji Febriyanti
Kelas : 3 C
NPM : 1516500026
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas berkat rahmat serta nikmat-Nya sehingga penulis sanggup menuntaskan penyusunan penelitian mini ini dalam bentuk makalah dengan judul . “deskripsi bencana tutur dan tindak tutur penawaran dan penolakan pada wacana jual beli sandang dan pangan ( pasar sumur panggang )”.
Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu mata kuliah sosiolinguistik Sebagai salah satu kiprah individu, yang menjadi kewajiban dalam perkuliahan ini.
Penulis menyadari dalam makalah ini masih belum tepat oleh alasannya yakni itu, penulis mengharapkan pertimbangan dari dosen yang bersangkutan. Akhirnya penulis berharap semoga goresan pena ini sanggup bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan pendidikan, khususnya dalam mahasiswa bahasa dan sastra indonesia.
Tegal,28 November 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan penelitian
D. Manfaat penelitian
BAB II KAJIAN TEORI
A. Tindak Tutur
B. Jenis Tindak Tutur
BAB III HASIL PENELITIAN
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa merupakan salah satu ciri yang paling khas manusiawi yang membedakannya dari makhluk- makhluk yang lain. Dari dulu di sadari bahwa bahasa yakni kunci utama pengetahuan, memegang kunci utama berarti memegang kunci jendela dunia. Sebab sejuta pengetahuan,seribu peradaban semuanya tercipta dan terbahasakan, bahkan sejarah tidak akan terwujud kalau tidak ada bahasa didunia begitu juga dengan sosiolingistik yang merupakan studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat,maka kami merasa sangat penting membahas bahasa dalam konteks sosial. Karena kita ketahui bahwa,ada dua aspek yang fundamental dalam pengertian masyarakat. Yang pertama ialah bahwa anggota-anggota suatu masyarakat hidup dan berusaha bersama secara berkelompok - kelompok. Aspek yang kedua ialah bahwa anggota-anggota dan kelompok-kelompok masyarakat sanggup hidup bersama alasannya yakni ada suatu perangkat aturan dan adat kebiasaan yang mengatur kegiatan dan tindak laku mereka, termasuk tindak laku berbahasa.
Tindak tutur atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pragmatik. Tindak tutur dalam pragmatik merupakan pengujaran kalimat untuk menyatakan sesuatu biar suatu maksud dari pembicara diketahui oleh pendengar.
Tindak tutur menolak dalam bahasa Jawa banyak terjadi dalam transaksi perdagangan di pasar tradisional, salah satunya ialah di Pasar Sumur Panggang. Pasar Sumur Panggang mempunyai bermacam-macam bentuk penolakan dalam proses tawar menawar. Budaya Jawa yang menempel dalam keseharian masyarakatnya sangat mempengaruhi ragam penolakan tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah bentuk tindak tutur ekspresif menolak bahasa Jawa dalam transaksi jual beli di Pasar Sumur Panggang, Kota Tegal?
2. Bagaimanakah tipe tindak tutur ekspresif menolak bahasa Jawa dalam transaksi jual beli di Pasar Sumur Panggang, Kota Tegal?
C. Tujuan Penelitian
1. Bentuk tindak tutur ekspresif menolak bahasa Jawa dalam transaksi jual beli di
Pasar Sumur Panggang, Kota Tegal.
2. Tipe tindak tutur ekspresif menolak bahasa Jawa dalam transaksi jual beli di Pasar Sumur Panggang, Kota Tegal.
D. Manfaat penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diperlukan bisa memberikan embel-embel pengetahuan dalam bidang kebahasaan mengenai model analisis tindak tutur ekspresif menolak berbahasa Jawa secara pragmatik. Selain itu juga penelitian ini diperlukan bisa memberikan sumbangan pengetahuan, khususnya mengenai penelitian tindak tutur ekspresif menolak dalam ilmu pragmatik.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diperlukan sanggup digunakan sebagai contoh penelitian selanjutnya, bahan pengajaran bahasa Jawa, dan sumbangan terhadap pengembangan dan training bahasa Jawa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tindak Tutur
Istilah dan teori yang mengenai tindak tutur mula-mula di perkenalkan oleh J.L Austin, seorang guru besar di Universitas Hervard pada tahun 1959. Menurut Chaer dan Leoni (2010:50) teori ini merupakan catatan kuliah yang kemudian dibukukan oleh J.O Urmson (1965) dengan judul “ How to do thing with word ?” teori ini gres populer dalam studi linguistik sehabis Searle (1969) menerbitkan judul Speech Act and Essay in The Philosophy of Language.
Leech (1993:5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran, yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan ; menanyakan apa yang seseorang maksud dengan suatu tindak tutur ; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara dengan siapa, dimana dan bagaimana. Tindak tutur merepukan entitas yang bersifat sentral yang bersifat pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini menyerupai peranggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kolaborasi dan prinsip kesantunan. Retorika tekstual, pragmatik membutuhkan prinsip kerja sama.
Menurut Wijana ( 1996:46) untuk melaksanakan prisnsip kerjasama, penutur harus mematuhi empat maksim percakapan, yaitu maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan pelaksanaan. Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan donasi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan menyampaikan hal yang sebenarnya. Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut
Sementara itu Austin ( dalam Lech 1993:280) menyatakan bahwa semua tuturan yakni sebuah bentuk tindakan dan tidak sekedar sesuatu wacana dunia tindak ujaran atau tutur ( Speech act) yakni fungsi bahasa sebagai sarana penindak. Semua kalimat atau ujaran diucapkan oleh penutur sebetulnya mengandung fungsi komunikatif tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut sanggup dikatakan bahwa menhujarkan sesuatu sanggup disebut sebagai acara atau tindakan. Hal tersebut dimungkinkan alasannya yakni dalam setiap tuturan mempunyai maksud tertentu yang besar lengan berkuasa pada orang lain.
Menurut Chaer dan Leonie (2010:50) tindak tutur merupakan tanda-tanda individual, bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situsi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Tindakan dalam tuturan akan terlihat dari makna tuturan.
Berdasarkan pendapat di atas sanggup disimpulkan bahwa tindak tutur yakni acara dengan memutarkan sesuatu. Tindak tutur yang mempunyai maksud tertentu tersebut tidak sanggup dipisahkan dari konsep situasi tutur. Konsep tersebut memperjelas pengertian tindak tutur sebagai suatu tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.
B. Jenis Tindak Tutur
Wijana ( 1996: 17) mengemukakan konsep tindak tutur ujar dalam suatu tuturan yang dikemukakan oleh Searle di dalam bukunya yang berjudul Speech Acts : Essay in The Philosophy of Language. Secara pragmatik setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang sanggup diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi, tindak ilokusi dan tindak perlokusi.
1. Tindak Lokusi
Chaer dan Leonie (2010:53) menyatakan bahwa tindak lokusi yakni tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “ berkata” atau tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan sanggup dipahami. Searle ( dalam Rahardi. 2005:35) menyatakan tindak lokusioner yakni tindak bertutur dengan kata, frase, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frase dan kalimat itu. Menurut Wijana (1996:17) tindak lokusi yakni tindak tutur untuk mrnyatakan sesuatu.
2. Tindak Ilokusi
Wijana (1996:18-19) beropini bahwa tindak ilokusi yakni tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi daya ujar. Tindak tersebut diidentifikasi sebagai tindak tutur yang bersifat untuk menginformasikan sesuatu dan melaksanakan sesuatu, serta mengandung maksud dan daya tutur. Tindak ilokusi tidak gampang diidentifikasi, alasannya yakni tindak ilokusi berkaitan dengan siapa petutur, kepada siapa, kapan dan dimana tindak tutur itu dilakukan dan sebagainya. Tindak ilokusi ini meruapakan cuilan yang penting dalam memahami tindak tutur.
Sementara Chaer dan Leonie ( 2010: 53) menayatakan bahwa tindak ilokusi yakni tindak tutur yang biasanya diidentifikasi dengan kalimat performatif yang eksplisit. Tindak ilokusi ini biasanya berkenaan dengan pinjaman isin, mengucapkan terimakasih, menyuruh, memperlihatkan dan menjanjikan.
Uraian di atas, sanggup di simpulkan bahwa tindak tutur ilokusi yakni tindak tutur yang berfungsi memberikan sesuatu dengan maksud untuk melaksanakan tindakan yang ingin dicapai oleh penuturnya pada waktu memutarkan sesuatu kepada kawan tutur
3. Tindak Perlokusi
Chaer dan Leonie (2010:53) menjelaskan tindak perlokusi dalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapak orang lain sehubungan dengan sikap dan sikap non linguistic dari orang lain. Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya efek atau imbas bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya efek ini sanggup secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengaturannya dimaksud untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi. Menurut Wijana (1996:19-20) tindak ini disebut The Act of Affecting Someone.
Tindak tutur terbagi menjadi delapan jenis (Wijana, 1996:36), ialah tindak tutur eksklusif dan tindak tutur tidak langsung, tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, tindak tutur eksklusif literal, tindak tutur tidak eksklusif literal, tindak tutur eksklusif tidak literal, dan tindak tutur tidak eksklusif tidak literal. Sedangkan secara formal, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita, tanya, dan perintah.
Searle dalam (Tarigan 2009: 42) mengklasifikasikan tindak ilokusi antara lain, asertif, direktif, komisif, ekspresif dan deklaratif. Sedangkan Searle dalam (Rohmadi 2004:32) mengkategorikan tindak tutur menjadi lima jenis, yaitu representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi. George Yule (2006:92) menyatakan bahwa tindak tutur sanggup diklasifikasikan sebanyak lima jenis, yaitu deklaratif, representatif, ekspresif, direktif dan komisif. Berdasarkan beberapa pendapat para mahir serta melihat fungsi umum yang ditunjukan tindak tutur, maka sanggup diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu deklaratif, representatif/asertif, ekspresif, direktif dan komisif.
Baca Juga : Makalah Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia
BAB III
HASIL PENELITIAN
Percakapan 1
Pembeli : Pira nek gorden? Gur tekok sik.
Penjual : Telung puluh niku.
Pembeli : Gak kurang?
Penjual : Mpun kula pres niku.
Analisis :
Peristiwa tutur di atas terjadi antara Pembeli dengan Penjual. Warna emosi biasa saja. Maksud tuturan ialah penawaran harga gorden, namun dalam prosesnya terjadi beberapa tuturan penolakan. Tidak ada orang ketiga. Urutan tutur dimulai oleh Pembeli dan dilanjutkan oleh Penjual. Bab yang dibicarakan mengenai harga gorden. Instrumen yang digunakan oleh keduanya ialah bahasa Jawa ngoko. Citarasa tuturan di atas biasa saja, tidak formal.
Percakapan 2
Penjual : Salake murah, limangewu.
Pembeli : Mboten kurang? Patangewu wis ta dhe.
Penjual : ya wis, pirang kilo?
Analisis :
Peristiwa tutur di atas terjadi antara Penjual dan Pembeli. Warna emosi biasa saja. Maksud tuturan ialah Penjual memperlihatkan dagangan salaknya, kemudian Pembeli menawar harga salak. Tidak ada orang ketiga. Urutan tutur dimulai oleh Penjual kemudian dilanjutkan oleh Pembeli selaku pembeli. Bab yang dibicarakan yakni tetang harga salak. Instrumen yang digunakan antar keduanya ialah menggunakan ragam jawa Ngoko. Citarasa tuturan ialah biasa saja menggunakan ragam informal.
Percakapan 3
Pembeli : Iki pira?
Penjual : Anting kuwi pat belas ewu wae.
Pembeli : Rolas ewu.
Penjual : Mbok diingerke sik! iki ka nggone telulas ewu, percaya karepmu ra percaya karepmu.
Analisis :
Peristiwa tutur terjadi antara Pembeli dengan Penjual. Warna emosi biasa saja, cenderung santai. Maksud tuturan ialah penawaran harga. Tidak ada keikutsertaan orang ketiga. Urutan tutur dimulai dari Pembeli menggunakan ragam ngoko, kemudian dilanjutkan oleh Penjual dengan menggunakan ragam ngoko pula. Bab yang dibicarakan ialah tawar-menawar mengenai harga anting. Instrumen yang digunakan ialah bahasa Jawa. Citarasa tuturan bersifat santai dan non formal.
Percakapan 4
Pembeli : Parute niki telu, sepuluh ewu nggih?
Penjual : Ora entuk, iki rega pas.
Analisis :
Peristiwa tutur tersebut terjadi di Pasar Sumur Panggang, terjadi antara penjual pecah belah dengan pembeli. Warna emosi yang terjadi dalam obrolan di atas ialah biasa saja, cenderung ke sebuah pementingan penawaran harga. Maksud tindak tutur di atas ialah penawaran harga oleh Pembeli yang kemudian ditolak oleh Penjual. Norma kebahasaan yang digunakan yakni ragam ngoko alasannya yakni kedua orang tersebut tidak saling kenal, hanya menjalankan fungsinya sebagai pembeli dan penjual saja.
Percakapan 5
Pembeli : Jembake pira?
Penjual : Rongewu, lima.
Penjual : La leh adol pira?
Analisis :
Warna emosi tuturan di atas awalnya biasa saja namun endingnya agak tinggi. Maksud tintak tutur di atas ialah menolak harga sayur “jembak”. Tidak ada orang ketiga dalam tuturan di atas. Urutan tutur diawali dari Pembeli yang menanyakan harga “jembak”, kemudian diikuti oleh Penjual yang merespon pertanyaan Pembeli dan diakhiri oleh Pembeli yang menolak harga “jembak”. Bab yang dibahas dalam tuturan ini yakni mengenai harga sayur-sayuran terutama harga “jembak”. Tuturan di atas tidak menggunakan instrumen, melainkan dituturkan secara langsung. Citarasa yang digunakan ialah ragam bahasa santai.
Percakapan 6
Pembeli : Pira mbak tase?
Penjual : Selangkung niku.
Pembeli : Nembelas ewu.
Penjual : Kula pas kalih dasa. Mpun ngaten!
Pembeli : Pitulas ewu mbak.
Penjual : Gak entuk niku, niki dedegan e nanggung nek.
Analisis :
Peristiwa tutur terjadi antara pembeli dengan penjual. Warna emosi dengan nada tinggi, dan ada sedikit pementingan dari penjual. Maksud tuturan yakni pembeli ingin membeli sebuah tas, namun dalam prosesnya terjadi tawar menawar harga. Tidak ada orang ketiga. Urutan tutur dimulai dari tuturan pembeli yang menanyakan harga tas, kemudian dilanjutkan oleh penjual. Bab yang dibicarakan ialah mengenai harga tas. Instrumen menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko. Citarasa tuturan bersifat non formal.
Percakapan 7
Pembeli : kangkunge pinten mbah?
Penjual : Sewunan.
Pembeli : Cilik-cilik no. Larangmen, golek liyane yo mbak.
Analisis :
Terjadi bencana tutur antara Pembeli dengan Penjual. Warna emosi ada sedikit kekecewaan alasannya yakni harga. Maksud tuturan ialah Pembeli ingin membeli sayuran namun ia kecewa dengan harga yang terlalu mahal. Ada orang ketiga, namun orang ketiga pasif. orang ketiga tersebut yakni anak Pembeli yang mengikuti Pembeli belanja, dalam bencana tutur ini orang ketiga disebutkan hanya dikala Pembeli ingin beranjak dari kios penjual sayuran tersebut. Urutan tutur dimulai dari Pembeli yang menanyakan harga kangkung kemudian dilanjutkan oleh Penjual. Bab yang dibicarakan mengenai harga kangkung. Instrumen yang digunakan bahasa Jawa ragam krama Pembeli dan ngoko penjual. Citarasa tuturan tidak formal. Register yang digunakan ialah wacan verbal secara langsung. Menggunakan ragam bahasa Jawa ngoko dan krama.
Percakapan 8
Pembeli : Gerihe pintenan buk?
Penjual : Telusetengah.
Pembeli : Mboten angsal kurang buk?
Penjual : Gak entuk.
Analisis :
Peristiwa tutur di atas terjadi antara Pembeli selaku pembeli dengan Penjual selaku penjual. Emosi yang timbul biasa saja. Maksud tuturan ialah, Pembeli ingin membeli gerih. Tidak ada orang ketiga. Urutan tutur dimulai dari Pembeli kemudian dilanjutkan oleh Penjual. Bab yang dibicarakan ialah mengenai harga gerih/ikan asin. Instrumen yang digunakan ialah bahasa Jawa krama oleh Pembeli dan ngoko oleh Penjual. Citarasa tuturan ialah santai. Bahasa yang digunakan ialah menggunakan ragam ngoko dan krama.
Percakapan 9
Penjual : Timun rongewu setengah Bu.
Pembeli : Ndadak nggo setengah barang.
Penjual : La ndhek mben geh sementen.
Pembeli : Rasah nggo setengah ya, la terong pira?
Penjual : Terong tigasetengah bu.
Pembeli : Gak lorosetengah?
Penjual : Mboten angsal, terong awis bu.
Analisis :
Terjadi bencana tutur antara Penjual dan Pembeli. Warna emosi yang
ditimbulkan biasa saja. Maksud tuturan ialah transaksi jual beli
sayuran dalam transaksi tersebut terdapat tawar menawar termasuk
penolakan. Tidak ada orang ketiga. Urutan tutur dimulai dari Penjual dengan memperlihatkan barang dagangannya, kemudian dilanjutkan oleh Pembeli menawar. Bab yang dibicarakan ialah mengenai harga sayuran, yaitu mentimun dan terong. Citarasa tuturan biasa saja, tidak bersifat formal. Ragam yang digunakan yakni ragam ngoko oleh Penjual dan ragam krama oleh Pembeli.
Percakapan 10
Pembeli : klambine iki pira regane?
Penjual : Telung puluh ewu.
Pembeli : Ora enek sing ireng marai. Sik, sik ndelok liyane, ndelok liyane.
Analisis :
Terjadi bencana tutur antara Pembeli dan Penjual. Warna emosi yang ditimbulkan biasa saja. Maksud tuturan ialah Pembeli ingin membeli baju, namun alasannya yakni harga yang tidak sesuai, jadinya ia meninggalkan kawasan penjual dagangan tersebut. Tidak ada orang ketiga. Urutan tutur dimulai dari Pembeli kemudian dilanjutkan oleh Penjual. Bab yang dibicarakan ialah mengenai pakaian. Instrumen yang digunakan ialah bahasa Jawa ragam ngoko. Citarasa tuturan biasa saja, dalam keadaan tidak formal.
Percakapan 11
Pembeli : Sandale Niki pinten?
Penjual : Pitulas.
Pembeli : Pitulas?
Kalih pak, sedasa.
Penjual : Iki anu mbak, abadi bianget, nganggo serampat kok.‟
Pembeli : Kalih lo pak, sedasa.
Penjual : Telung puluh mbak.
Pembeli : Kalih dasa pak.
Penjual : Apik mbak iki.
Pembeli : Penglaris lah.
Penjual : Nggih, ngko nek gak percaya neng lor enek siji nggone
Pembeli : Sedasa pak, mboten pareng ta?
Analisis :
Peristiwa tutur di atas terjadi antara dengan Pembeli dengan Penjual. Warna emosi biasa saja. Maksud tuturan ialah Pembeli ingin membeli barang dengan disertai tawar-menawar dan terjadi penolakan harga. Tidak ada orang ketiga. Urutan tutur dimulai dari Pembeli yang menanyakan harga sandal, kemudian dijawab Penjual, kemudian terjadilah transaksi tawar-menawar tersebut. Bab yang dibicarakan ialah tawar-menawar harga sandal. Instrumen yang digunakan ialah bahasa Jawa ragam ngoko oleh Penjual dan Krama oleh Pembeli.
Percakapan 12
Pembeli : Mbakon (tembakau) pintenan buk?
Penjual : Sekawan ewu mbak.
Pembeli : Tigangewu buk. Mboten angsal tigangewu?
Penjual : Ngaturaken lepat mbak, nek niki malah angsal kalih setengah mbak.
Pembeli : O, geh mpun.
Analisis :
Terjadi bencana tutur antara Pembeli dan Penjual. Warna emosi yang ditimbulkan ialah biasa saja. Maksud tuturan yakni Pembeli ingin membeli tembakau, namun didalamnya ada proses tawar menawar yang menyiratkan penolakan. Tidak ada orang ketiga. Urutan tutur dimulai dari Pembeli kemudian dilanjutkan oleh Penjual. Bab yang dibicarakan ialah mengenai harga tembakau. Instumen yang digunakann ialah bahasa Jawa ragam krama.
Percakapan 13
Penjual : Mangga mbak salake mbak, dijijal sik ya entuk.
Pembeli : Pinten buk?
Penjual : Mangewu.
Pembeli : Sekilo?
Penjual : La jeruk saiki pitungewu ra gedhe.
Pembeli : Sekawan ewu mboten angsal?
Penjual : Tambahi mangatus ndang.
Ndang sekilo apa rong kilo?
Pembeli : Sekawan ewu buk.
Penjual : Nggeh. Rong kilo?
Pembeli : Sekilo mawon.
Analisis :
Terjadi bencana tutur antara Penjual dengan Pembeli. Warna emosi yang digunakan biasa, namun terkadang ada sedikit pementingan tuturan oleh Penjual. Maksud tuturan di atas ialah Penjual memperlihatkan dagangannya, namun dalam prosesnya terjadi penolakan-penolakan penawaran harga. Tidak ada orang ketiga dalam tuturan di atas. Urutan tutur dimulai dari Penjual yang memperlihatkan dagangannya kemudian Pembeli menanggapi, dan selajutnya terjadi bencana tutur antara Penjual dan Pembeli. Bab yang dibicarakan ialah mengenai
harga salak. Instrumen yang digunakan ialah bahasa Jawa Ngoko yang digunakan oleh Penjual, sedangkan Pembeli menggunakan bahasa Jawa krama lugu dan merupakan percakapan langsung. Citarasa tuturan di atas ialah biasa saja dengan menggunakan ragam bahasa non formal.
Percakapan 14
Penjual : Terong tiga setengah bu.
Pembeli : Gak loro setengah?
Penjual : Mboten angsal, terong awis bu.
Analisis :
Terjadi bencana tutur antara Penjual dan Pembeli. Warna emosi yang ditimbulkan biasa saja. Maksud tuturan ialah transaksi jual beli sayuran dalam transaksi tersebut terdapat tawar menawar termasuk penolakan. Tidak ada orang ketiga. Urutan tutur dimulai dari Penjual dengan memperlihatkan barang dagangannya, kemudian dilanjutkan oleh Pembeli selaku pembeli. Bab yang dibicarakan ialah mengenai harga sayuran, yaitu timun dan terong. Instrumen yang digunakan ialah bahasa jawa ragam ngoko dan krama. Citarasa tuturan biasa saja, tidak bersifat formal.
Percakapan 15
Pembeli : Iki bibit lomboke Iki sak mene iki pira iki?
Penjual : Iki akeh sayang. Patang puluh lima.
Pembeli : Haduh.
Penjual : Ya seket neknu, haaaa.
Pembeli : Iki tunggal ibu iki?
Penjual : Geh tunggal ibu.
Pembeli : Semene mbane regane, sepuluh ewu ra oleh iki?
Penjual : Hah, sepuluh ewu? Bah, Bah, Bah, bah.
Analisis :
Terjadi bencana tutur antara Pembeli dan Penjual. Warna emosi biasa saja, kadang diselingi sedikit kata-kata yang humor. Maksud tuturan ialah adanya transaksi jual beli bibit cabai oleh, namun dalam transaksi tersebut ada beberapa penawaran dan penolakan. Tidak
ada orang ketiga. Urutan tutur dimulai dari Pembeli kemudian dilanjutkan oleh Penjual. Bab yang dibicarakan mengenai bibit cabe. Instrumen yang digunakan ialah bahasa Jawa ngoko. Citarasa tuturan santai, kadang diselingi humor.
Percakapan 16
Pembeli : Slebor pira?
Penjual : Tiga ribu saiki.
Pembeli : Gak kurang?
Penjual : Rongewu mbak ya.
Pembeli : Longi limangatus ya.
Penjual : Ngene ki nem ewu setengah ya.
Pembeli : Nem ewu ya.
Penjual : Lah iki bayar pira naknu. Nak nem ewu gogloh gak iki ngko?
Pembeli : Gak, gak gogloh.
Analisis :
Terjadi bencana tutur antara Pembeli dan Penjual. Warna emosi biasa saja. Maksud tuturan ialah Pembeli ingin membeli sayuran slebor, namun dalam transaksi tersebut ada beberapa tuturan penolakan. Tidak ada orang ketiga. Urutan tutur dimulai dari Pembeli yang menanyakan harga slebor kemudian dilanjutkan oleh Penjual. Bab yang dibicarakan mengenai harga sayuran slebor. Instrumen yang digunakan ialah bahasa Jawa ragam ngoko. Citarasa yang ditimbulkan biasa saja.
Percakapan 17
Penjual : Petene telung puluh ditambahi seprapat bu
Pembeli : Gak oleh, ya wis sak mono, lawong gur arep kanggo oleh-oleh. Pokoke ya sakmono, ya mboyak.
Penjual : Oalah-alah bu.
Pembeli : Mboyak, ya pokoke sakmono kui.
Analisis :
Terjadi bencana tutur antara Penjual dan Pembeli. Warna emosi sedikit keras, disertai beberapa kata dengan nada tinggi. Maksud tuturan ialah Penjual pete, menjual barang dagangannya kepada Pembeli. Dalam proses transaksi, Pembeli menawar harga pete senilai tiga puluh ribu rupiah, namun Penjual tidak menyetujuinya dan ia meminta petenya dihargai tiga puluh dua ribu rupiah. Tidak ada orang ketiga. Urutan tutur dimulai oleh Penjual selaku penjual kemudian dilanjutkan oleh Pembeli selaku pembeli. Bab yang dibicarakan ialah mengenai harga pete. Instrumen yang digunakan yakni bahasa Jawa ragam ngoko. Citarasa tuturan sedikit tegang, alasannya yakni pembeli menawar dengan nada tinggi.
Baca Juga : Makalah Media Pembelajaran
Percakapan 18
Penjual : Wortel tiga setengah bu.
Pembeli : Gak loro setengah?
Penjual : Mboten angsal, wortel awis bu.
Analisis :
Terjadi bencana tutur antara Penjual dan Pembeli. Warna emosi yang ditimbulkan biasa saja. Maksud tuturan ialah transaksi jual beli sayuran dalam transaksi tersebut terdapat tawar menawar termasuk penolakan. Tidak ada orang ketiga. Urutan tutur dimulai dari Penjual dengan memperlihatkan barang dagangannya, kemudian dilanjutkan oleh Pembeli selaku pembeli. Bab yang dibicarakan ialah mengenai harga sayuran, yaitu timun dan terong. Instrumen yang digunakan ialah bahasa jawa ragam ngoko dan krama. Citarasa tuturan biasa saja, tidak bersifat formal.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Setelah dilakukan analisis data dan pembahasan beberapa simpulan
dikemukakan sebagai berikut:
1. Tindak tutur yang digunakan dalam interaksi sosial di pasar tradisional Sumur Panggang yaitu tindak ilokusi (representatif, direktif, ekspresif, komisif,deklarasi) dan tindak perlokusi. Tindak tutur yang paling mayoritas yang terdapat dalam interaksi sosial di pasar tradisional Sumur Panggang yakni tindak tutur direktif (pertanyaan, memohon, menyuruh, menantang dan (lain-lain), alasannya yakni tindak direktif tindak ujaran yang dilakukan Penutur dengan maksud biar si pendengar atau kawan tutur melaksanakan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu.
2. Dalam penelitian ini juga dianalisis pasangan berdampingan/bersesuaian yang terdapat dalam interaksi sosial di pasar tradisional Sumur Panggang. Ada 8 pola pasangan berdampingan/bersesuaian yaitu pola sapaan-sapaan, pola panggilan-jawaban, pola ajakan informasi-pemberian, pola keluhan-mengakui, pola permintaan-pemersilakan, pola penawaran-penerimaan, pola penawaran-penolakan, pola pertanyaan Tindak Tutur Dalam Interaksi Sosial Di Pasar Tradisional Sumur Panggang Pola pasangan berdampingan/bersesuaian yang sering muncul dalam interaksi sosial di pasar tradisional Sumur Panggang yakni pola pertanyaan jawaban. Struktur percakapan interaksi sosial di pasar tradisional Sumur Panggang mempunyai gangguan (dynamic) dan tidak selamanya linear, dan percakapan yang terpanjang terdiri dari enam unit percakapan alasannya yakni terdapat tantangan, bahasa yang digunakan dalam percakapan di pasar tradisional Sumur Panggang yakni bahasa nonformal.
B. Saran
Berkenaan dengan simpulan yang dibuat, saran dikemukakan sebagai
berikut:
1. Peneliti mengharapkan biar peneliti berikutnya mengenai tindak tutur/speech act perlu dikaji lebih mendalam dan lebih luas alasannya yakni masih banyak hal-hal lain yang belum terungkap temuan hasil penelitian tindak tutur ini sanggup ditindak lanjuti dengan penelitian yang sama dalam skala lebih besar.
2. Disarankan biar peneliti lain mengkaji secara rinci struktur percakapan dengan menggunakan teori yang berbeda dan melaksanakan pengkajian selanjutnya menyerupai aspek interpersonal lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT RIneka Cipta
2. http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/sastra-indonesia/article/view/42
0 Response to "Makalah Deskripsi Insiden Tutur Dan Tindak Tutur Penawaran Dan Penolakan"
Posting Komentar