Pengertian Dan Sejarah Peradaban
Pengertian Peradaban
Peradaban yaitu mempunyai banyak sekali arti dalam kaitannya dengan masyarakat manusia. Seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk pada suatu masyarakat yang "kompleks": dicirikan oleh praktik dalam pertanian, hasil karya dan pemukiman, berbanding dengan budaya lain, anggota-anggota sebuah peradaban akan disusun dalam bermacam-macam pembagian kerja yang rumit dalam struktur hirarki sosial.
Istilah peradaban sering digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah "budaya" yang terkenal dalam kalangan akademis. Dimana setiap insan sanggup berpartisipasi dalam sebuah budaya, yang sanggup diartikan sebagai "seni, adat istiadat, kebiasaan ... kepercayaan, nilai, materi sikap dan kebiasaan dalam tradisi yang merupakan sebuah cara hidup masyarakat". Namun, dalam definisi yang paling banyak digunakan, peradaban yaitu istilah deskriptif yang relatif dan kompleks untuk pertanian dan budaya kota. Peradaban sanggup dibedakan dari budaya lain oleh kompleksitas dan organisasi sosial dan bermacam-macam kegiatan ekonomi dan budaya.
Dalam sebuah pemahaman usang tetapi masih sering dipergunakan adlah istilah "peradaban" sanggup digunakan dalam cara sebagai normatif baik dalam konteks sosial di mana rumit dan budaya kota yang dianggap unggul lain "ganas" atau "biadab" budaya, konsep dari "peradaban" digunakan sebagai sinonim untuk "budaya (dan sering moral) Keunggulan dari kelompok tertentu." Dalam artian yang sama, peradaban sanggup berarti "perbaikan pemikiran, tata krama, atau rasa". Masyarakat yang mempraktikkan pertanian secara intensif; mempunyai pembagian kerja; dan kepadatan penduduk yang mencukupi untuk membentuk kota-kota. "Peradaban" sanggup juga digunakan dalam konteks luas untuk merujuk pada seluruh atau tingkat pencapaian insan dan penyebarannya (peradaban insan atau peradaban global). Istilah peradaban sendiri sebetulnya sanggup digunakan sebagai sebuah upaya insan untuk memakmurkan dirinya dan kehidupannya. Maka, dalam sebuah peradaban niscaya tidak akan dilepaskan dari tiga faktor yang menjadi tonggak berdirinya sebuah peradaban. Ketiga faktor tersebut yaitu sistem pemerintahan, sistem ekonomi, dan IPTEK.
Sejarah Peradaban
PENYELIDIKAN mengenai sejarah peradaban insan dan dari mana pula asal-usulnya, sebetulnya masih ada hubungannya dengan zaman kita kini ini. Penyelidikan demikian sudah usang menetapkan, bahwa sumber peradaban itu semenjak lebih dari enam ribu tahun yang kemudian yaitu Mesir. Zaman sebelum itu dimasukkan orang kedalam kategori pra-sejarah. Oleh alasannya itu sukar sekali akan hingga kepada suatu inovasi yang ilmiah. Sarjana-sarjana jago purbakala (arkelogi) kini kembali mengadakan penggalian-penggalian di Irak dan Suria dengan maksud mempelajari soal-soal peradaban Asiria dan Funisia serta memilih zaman permulaan daripada kedua macam peradaban itu: adakah ia mendahului peradaban Mesir masa Firaun dan sekaligus mempengaruhinya, ataukah ia menyusul masa itu dan terpengaruh karenanya?
Apapun juga yang telah diperoleh sarjana-sarjana arkelogi dalam bidang sejarah itu, samasekali tidak akan mengubah sesuatu dari kenyataan yang sebenarnya, yang dalam penggalian benda-benda kuno Tiongkok dan Timur Jauh belum mengatakan hasil yang berlawanan. Kenyataan ini ialah bahwa sumber peradaban pertama – baik di Mesir, Funisia atau Asiria – ada hubungannya dengan Laut Tengah; dan bahwa Mesir yaitu sentra yang paling menonjol membawa peradaban pertama itu ke Yunani atau Rumawi, dan bahwa peradaban dunia sekarang, masa hidup kita kini ini, masih bersahabat sekali hubungannya dengan peradaban pertama itu.
Apa yang pernah diperlihatkan oleh Timur Jauh dalam penyelidikam perihal sejarah peradaban, tidak pernah memberi efek yang terperinci terhadap pengembangan peradaban-peradaban Fira’un, Asiria atau Yunani, juga tidak pernah mengubah tujuan dan perkembangan peradaban-peradaban tersebut. Hal ini gres terjadi sehabis ada akulturasi dan saling-hubungan dengan peradaban Islam. Di sinilah proses saling pengaruh-mempengaruhi itu terjadi, proses asimilasi yang sudah sedemikian rupa, sehingga pengaruhnya terdapat pada peradaban dunia yang menjadi pegangan umat insan cukup umur ini.
Peradaban-peradaban itu sudah begitu berkembang dan tersebar ke pantai-pantai Laut Tengah atau di sekitarnya, di Mesir, di Asiria dan Yunani semenjak ribuan tahun yang lalu, yang hingga ketika ini perkembangannya tetap dikagumi dunia: perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam bidang pertanian, perdagangan, peperangan dan dalam segala bidang kegiatan manusia. Tetapi, semua peradaban itu, sumber dan pertumbuhannya, selalu berasal dari agama. Memang benar bahwa sumber itu berbeda-beda antara kepercayaan trinitas Mesir Purba yang tergambar dalam Osiris, Isis dan Horus, yang mengatakan kesatuan dan penjelmaan hidup kembali di negerinya serta kekerabatan kekalnya hidup dari bapa kepada anak, dan antara paganisma Yunani dalam melukiskan kebenaran, kebaikan dan keindahan yang bersumber dan tumbuh dari gejala-gejala alam menurut pancaindera; demikian sehabis itu timbul perbedaan-perbedaan yang dengan penggambaran semacam itu dalam pelbagai zaman kemunduran itu telah mengantarkannya ke dalam kehidupan duniawi. Akan tetapi sumber semua peradaban itu tetap membentuk perjalanan sejarah dunia, yang begitu besar lengan berkuasa pengaruhnya hingga ketika kita kini ini, sekalipun peradaban demikian hendak mencoba melepaskan diri dan melawan sumbernya sendiri itu dari zaman ke zaman. Siapa tahu, hal yang serupa kelak akan hidup kembali.
Dalam lingkungan masyarakat ini, yang menyandarkan peradabannya semenjak ribuan tahun kepada sumber agama, dalam lingkungan itulah dilahirkan para rasul yang membawa agama-agama yang kita kenal hingga ketika ini. Di Mesir dilahirkan Musa, dan dalam pangkuan Firaun ia dibesarkan dan diasuh, dan di tangan para pendeta dan pemuka-pemuka agama kerajaan itu ia mengetahui keesaan Tuhan dan rahasia-rahasia alam.
Setelah tiba ijin Tuhan kepadanya supaya ia membimbing umat di tengah-tengah Firaun yang berkata kepada rakyatnya: “Akulah tuhanmu yang tertinggi” iapun berhadapan dengan Firaun sendiri dan tukang-tukang sihirnya, sehingga akhirnya terpaksa ia gotong royong orang-orang Israil yang lain pindah ke Palestina. Dan di Palestina ini pula dilahirkan Isa, Ruh dan Firman Allah yang ditiupkan ke dalam diri Mariam. Setelah Tuhan menarik kembali Isa putera Mariam, murid-muridnya kemudian berbagi agama Katolik yang dianjurkan Isa itu. Mereka dan pengikut-pengikut mereka mengalami bermacam-macam penganiayaan. Kemudian setelah dengan kehendak Tuhan agama ini tersebar, datanglah Maharaja Rumawi yang menguasai dunia ketika itu, membawa panji agama Nasrani. Seluruh Kerajaan Rumawi kini telah menganut agama Isa. Tersebarlah agama ini di Mesir, di Syam (Suria-Libanon dan Palestina) dan Yunani, dan dari Mesir menyebar pula ke Ethiopia. Sesudah itu selama beberapa era kekuasaan agama ini semakin besar lengan berkuasa juga. Semua yang berada di bawah panji Kerajaan Rumawi dan yang ingin mengadakan persahabatan dan kekerabatan baik dengan Kerajaan ini, berada di bawah panji agama Masehi itu.
Berhadapan dengan agama Masehi yang tersebar di bawah panji dan efek Rumawi itu berdiri pula kekuasaan agama Majusi di Persia yang menerima pemberian moril di Timur Jauh dan di India. Selama beberapa era itu Asiria dan Mesir yang membentang sepanjang Funisia, telah merintangi terjadinya suatu pertarungan pribadi antara kepercayaan dan peradaban Barat dengan Timur. Tetapi dengan masuknya Mesir dan Funisia ke dalam lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan itu. Paham Masehi di Barat dan Majusi di Timur kini sudah berhadap-hadapan muka. Selama beberapa era berturut-turut, baik Barat maupun Timur, dengan hendak menghormati agamanya masing-masing, yang sedianya berhadapan dengan rintangan alam, kini telah berhadapan dengan rintangan moril, masing-masing merasa perlu dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan kepercayaannya, dan satu sama lain tidak saling menghipnotis kepercayaan atau peradabannya, sekalipun peperangan antara mereka itu berlangsung terus-menerus hingga sekian lama.
Akan tetapi, sekalipun Persia telah sanggup mengalahkan Rumawi dan sanggup menguasai Syam dan Mesir dan sudah hingga pula di ambang pintu Bizantium, namun tak terpikir oleh raja-raja Persia akan berbagi agama Majusi atau menggantikan tempat agama Nasrani. Bahkan pihak yang kini berkuasa itu malahan menghormati kepercayaan orang yang dikuasainya. Rumah-rumah ibadat mereka yang sudah hancur akhir perang dibantu pula membangun kembali dan dibiarkan mereka bebas menjalankan upacara-upacara keagamaannya. Satu-satunya yang diperbuat pihak Persia dalam hal ini hanyalah mengambil Salib Besar dan dibawanya ke negerinya. Bilamana kelak kemenangan itu berganti berada di pihak Rumawi Salib itupun diambilnya kembali dari tangan Persia. Dengan demikian peperangan rohani di Barat itu tetap di Barat dan di Timur tetap di Timur. Dengan demikian rintangan moril tadi sama pula dengan rintangan alam dan kedua kekuatan itu dari segi rohani tidak saling berbenturan.
Keadaan serupa itu berlangsung terus hingga era keenam. Dalam pada itu kontradiksi antara Rumawi dengan Bizantium makin meruncing. Pihak Rumawi, yang benderanya berkibar di benua Eropa hingga ke Gaul dan Kelt di Inggris selama beberapa generasi dan selama zaman Julius Caesar yang dibanggakan dunia dan tetap dibanggakan, kemegahannya itu berangsur-angsur telah mulai surut, hingga akhirnya Bizantium memisahkan diri dengan kekuasaan sendiri pula, sebagai ahliwaris Kerajaan Rumawi yang menguasai dunia itu. Puncak keruntuhan Kerajaan Rumawi ialah tatkala pasukan Vandal yang buas itu tiba menyerbunya dan mengambil kekuasaan pemerintahan di tangannya. Peristiwa ini telah menimbulkan bekas yang dalam pada agama Masehi yang tumbuh dalam pangkuan Kerajaan Rumawi. Mereka yang sudah beriman kepada Isa itu telah mengalami pengorbanan-pengorbanan besar, berada dalam ketakutan di bawah kekuasaan Vandal itu.
Mazhab-mazhab agama Masehi ini mulai pecah-belah.Dari zaman ke zaman mazhab-mazhab itu telah terbagi-bagi ke dalam sekta-sekta dan golongan-golongan. Setiap golongan mempunyai pandangan dan dasar-dasar agama sendiri yang bertentangan dengan golongan lainnya. Pertentangan-pertentangan antara golongan-golongan satu sama lain alasannya perbedaan pandangan itu telah menimbulkan adanya permusuhan pribadi yang terbawa oleh alasannya moral dan jiwa yang sudah lemah, sehingga cepat sekali ia berada dalam ketakutan, gampang terlibat dalam fanatisma yang buta dan dalam kebekuan. Pada masa-masa itu, di antara golongan-golongan Masehi itu ada yang mengingkari bahwa Isa mempunyai jasad disamping bayangan yang tampak pada manusia; ada pula yang mempertautkan secara rohaniah antara jasad dan ruhnya sedemikian rupa sehingga memerlukan khayal dan pikiran yang begitu rumit untuk sanggup menggambarkannya; dan disamping itu ada pula yang mau menyembah Mariam, sementara yang lain menolak pendapat bahwa ia tetap perawan sehabis melahirkan Almasih.
Terjadinya kontradiksi antara sesama pengikut-pengikut Isa itu yaitu tragedi yang biasa terjadi pada setiap umat dan zaman, apabila ia sedang mengalami kemunduran: soalnya hanya terbatas pada teori kata-kata dan bilangan saja, dan pada tiap kata dan tiap bilangan itu ditafsirkan pula dengan bermacam-macam arti, ditambah dengan rahasia-rahasia, ditambah dengan warna-warni khayal yang sukar diterima logika dan hanya sanggup dikunyah oleh perdebatan-perdebatan sophisma yang kaku saja.
Salah seorang pendeta gereja berkata: “Seluruh penjuru kota itu diliputi oleh perdebatan. Orang sanggup melihatnya dalam pasar-pasar, di tempat-tempat penjual pakaian, penukaran uang, pedagang makanan. Jika ada orang bermaksud hendak menukar sekeping emas, ia akan terlibat ke dalam suatu perdebatan perihal apa yang diciptakan dan apa yang bukan diciptakan. Kalau ada orang hendak menawar harga roti maka akan dijawabnya: Bapa lebih besar dari putera dan putera tunduk kepada Bapa. Bila ada orang yang bertanya perihal kolam mandi adakah airnya hangat, maka pelayannya akan segera menjawab: “Putera telah diciptakan dari yang tak ada.”
Tetapi kemunduran yang telah menimpa agama Masehi sehingga ia terpecah-belah kedalam golongan-golongan dan sekta-sekta itu dari segi politik tidak begitu besar pengaruhnya terhadap Kerajaan Rumawi. Kerajaan itu tetap besar lengan berkuasa dan kukuh. Golongan-golongan itupun tetap hidup dibawah naungannya dengan tetap adanya semacam kontradiksi tapi tidak hingga orang melibatkan diri kedalam polemik teologi atau hingga memasuki pertemuan-pertemuan semacam itu yang pernah diadakan guna memecahkan sesuatu masalah. Suatu keputusan yang pernah diambil oleh suatu golongan tidak hingga mengikat golongan yang lain. Dan Kerajaanpun telah pula melindungi semua golongan itu dan memberi kebebasan kepada mereka mengadakan polemik, yang sebetulnya telah menambah kuatnya kekuasaan Kerajaan dalam bidang manajemen tanpa mengurangi penghormatannya kepada agama. Setiap golongan jadinya bergantung kepada belas kasihan penguasa, bahkan ada dugaan bahwa golongan itu menggantungkan diri kepada adanya legalisasi pihak yang berkuasa itu.
Sikap saling beradaptasi di bawah naungan Imperium itu itulah pula yang mengakibatkan penyebaran agama Masehi tetap berjalan dan sanggup diteruskan dari Mesir dibawah Rumawi hingga ke Ethiopia yang merdeka tapi masih dalam lingkungan persahabatan dengan Rumawi. Dengan demikian ia mempunyai kedudukan yang sama besar lengan berkuasa di sepanjang Laut Merah menyerupai di sekitar Laut Tengah itu. Dari wilayah Syam ia menyeberang ke Palestina. Penduduk Palestina dan penduduk Arab Ghassan yang pindah ke sana telah pula menganut agama itu, hingga ke pantai Furat, penduduk Hira, Lakhmid dan Mundhir yang berpindah dari pedalaman sahara yang tandus ke daerah-daerah subur juga demikian, yang selanjutnya mereka tinggal di kawasan itu beberapa usang untuk kemudian hidup di bawah kekuasaan Persia Majusi.
Dalam pada itu kehidupan Majusi di Persia telah pula mengalami kemunduran menyerupai agama Masehi dalam Imperium Rumawi. Kalau dalam agama Majusi menyembah api itu merupakan tanda-tanda yang paling menonjol, maka yang berkenaan dengan tuhan kebaikan dan kejahatan pengikut-pengikutnya telah berpecah-belah juga menjadi golongan-golongan dan sekta-sekta pula. Tapi disini bukan tempatnya menguraikan semua itu. Sungguhpun begitu kekuasaan politik Persia tetap besar lengan berkuasa juga. Polemik keagamaan perihal lukisan tuhan serta adanya pemikiran bebas yang tergambar dibalik lukisan itu, tidaklah mempengaruhinya. Golongan-golongan agama yang berbeda-beda itu semua berlindung di bawah raja Persia. Dan yang lebih memperkuat kontradiksi itu ialah alasannya memang sengaja digunakan sebagai suatu cara supaya satu dengan yang lain saling berpukulan, atas dasar kekuatiran, jikalau salah satunya menjadi kuat, maka Raja atau salah satu golongan itu akan memikul akibatnya.
Mencari Peradaban Manusia
Antara Barat dan Timur. Antara tahun 1935-1936, dan kemudian 1939, di Indonesia (Hindia Belanda ketika itu) terjadilah apa yang kemudian disebut sebagai polemik kebudayaan. Polemik ini bermaksud untuk mencari bentuk atau wajah bagi konsep perihal Indonesia. Bermula dari goresan pena Sutan Takdir Alisjahbana mengenai menuju masyarakat dan budaya gres yang membagi periodisasi kebudayaan Indonesia menjadi dua kategori besar, masa pra-indonesia dan masa indonesia. Masa pra-indonesia yaitu masa jahiliyah indonesia. Sedang masa Indonesia, yang bermula di awal era ke-20, bagi Sutan Takdir haruslah bentuk atau konsep gres yang mempunyai dinamika, yang berbeda total dari masa sebelumnya. Masyarakat gres Indonesia itu yaitu masyarakat dinamis, yang mengadopsi model dinamika yang berkembang pada masyarakat barat. Intelektualisme, materialisme (dalam arti hasrat besar untuk membangun dunia ini), dan egoisme (dalam arti tumbuhnya spirit individual, kebebasan individu); yang merupakan abjad dinamika masyarakat barat, haruslah menjadi penggalan dari masyarakat gres Indonesia. Bagi Takdir, evaluasi negatif atas semangat barat dengan mengemukakan sisi-sisi semisal barat tidak spiritual, yaitu tidak sempurna alasannya pada barat nilai-nilai spiritual itu dimilikinya. Sedangkan alasan yang menolak kiblat ke barat alasannya krisis yang dialami oleh barat (krisis intelektual), bagi Takdir itu yaitu problem barat bukan problem kita, problem kita yaitu bagaimana menggapai intelektualisme itu.
Di sisi lain, bertentangan dengan pendapat Sutan Takdir, sebagian kalangan menginginkan wujud yang menghargai warisan Timur menjadi corak yang membangun Indonesia. Sanusi Pane, Dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantara sanggup disebut mewakili pandangan ini. Dalam konsep ini bukan berarti tidak ada nilai-nilai barat yang tidak kita adopsi, nilai intelektualisme misalnya. Tetapi yang diinginkan oleh pandangan yang berorientasi ke Timur ini yaitu warisan budaya kita menjadi basis utama dalam membina kepribadian insan Indonesia dan menghindari imbas negatif dari kebudayaan barat. Model pendidikan, sebagai medium transmisi kebudayaan, yang berakar dalam warisan budaya kita menyerupai model pesantren, sanggup diberdayakan untuk membina kepribadian ini. Dalam konteks ini perlu dicatat adanya pembedaan antara pendidikan dengan pengajaran. Bagi Dr. Sutomo, pendidikan terkait dengan membentuk kepribadiaan sedangkan pengajaran terkait dengan pencapaian intelektual. Dari sudut pandangan ini mustahillah membangun konsep keindonesiaan gres yang tercerabut total dari akar kesejarahannya, sebagaimana diinginkan oleh Sutan Takdir. Sedangkan bagi Sutan Takdir sendiri pendapat sintesis ini masih mempunyai tendensi anti-intelektualisme, anti-materialisme dan anti-individualisme (untuk dua terminologi terakhir hendaknya dipahami dalam konteks praktisnya bukan dalam pengertian metafisis).
Antara Peradaban dan Kebudayaan
Bagian yang juga menarik untuk memecahkan problem ini dalam polemik itu yaitu perjuangan membedakan antara peradaban (civilization) dan kebudayaan (culture). Bagi Adinegoro, peradaban yaitu aspek teknis sebuah masyarakat yang sanggup dipinjam (misal pengetahuan dan teknologi); sedangkan kebudayaan yaitu jiwa sebuah bangsa yang berwujud dalam abjad dan watak yang tidak sanggup ditukar. Dia mencontohkan Jepang sebagai bangsa yang mempertahankan kulturnya tetapi mencapai peradaban dalam standar barat.
Elaborasi yang cukup luas diberikan oleh Dr. M. Amir untuk membahas hal ini. Jauh sebelum kata civilization digunakan atau ditemukan, kata kerja civilize telah dipakai. Tetapi kata civilization sendiri gres pada era ke-18 digunakan untuk membedakan derajat tinggi suatu bangsa dengan derajat lain yaitu savages(buas, liar) dan barbares(biadab). Tingkat atau derajat tinggi masyarakat itu berakar pada civilis (kota). Sedangkan istilah kultur pada awalnya berarti jumlah segala kemajuan; kemajuan bendawi ataupun kemajuan pikiran yang dicapai oleh manusia. Dari klarifikasi terperinci pengertian ini pembedaan antara peradaban dan kebudayaan berasal dari pembedaan yang dilakukan dalam tradisi pemikiran Jerman. Sedangkan pada tradisi eropa lainnya (Perancis dan Inggris) digunakan terma civilization saja.
Selanjutnya Dr. M. Amir menegaskan bahwa setiap masyarakat mempunyai peradabannya sendiri (entah mencapai tingkat yang tinggi atau rendah). Peradaban itu juga ada yang berpindah atau dipinjam alasannya faktor percampuran, kekerabatan atau kemajuan.
Pembedaan tingkatan masyarakat menyerupai ini (dari yang primitif hingga yang berperadaban tinggi) tidak sekedar perbedaan kemajuan masyarakat saja (yang tampak dalam kemajuan materialnya) tetapi juga terkait dengan pembedaan konstitusi jiwa manusianya. Di sini terdapat dua pendapat, yang menafsirkan kemajuan peradaban alasannya perbedaan genetik dan yang menafsirkan kemajuan peradaban alasannya faktor lingkuangan. Nature vs Nurture.
Bagi Dr. Amir duduk masalah peradaban ini tidak semata-mata soal sosiologi tetapi juga psikologi. Berapa usang waktu yang diharapkan barat untuk membentuk konstitusi kejiwaan insan barat menyerupai kini ini, ribuan tahun. Secara historis tidaklah mungkin kita memutus mata rantai kesejarahan manusiawi kita untuk membangun peradaban baru.
Siapa Pemenangnya ?
Secara sekilas pemenang polemik itu yaitu Sutan Takdir. Tetapi, bagi Ajip Rosidi, masalahnya tidak sesederhana itu. Banyak masalah, menyerupai dualisme pendidikan dan dualisme antara kebudayaan nasional dan daerah, belum terselesaikan secara memuaskan.
Dapat pula kita nyatakan bahwa pasca kemerdekaan model pembangunan yang digesa oleh pemerintah kita sebetulnya tidak jauh berbeda dengan model yang diinginkan oleh Sutan Takdir. Bolehlah kita bertanya sudahkah dinamika berperadaban sebagaimana yang diinginkan oleh Sutan Takdir telah kita capai ?
Humanisme
Kita juga sanggup menambahkan posisi lain yang diambil oleh kalangan intelektual dalam polemik ini yaitu posisi Sjahrir. Tetap dalam orbit intelektual Barat modern, Sjahrir menegaskan tidak perlu pilih antara Barat dan Timur, alasannya keduanya harus silam dan memang sedang karam ke masa silam (Barat kapitalis dan Timur feodalis). Pilihan pandangan ini kemudian bermetamorfosis menjadi pilihan humanisme.
Islam
Satu hal lagi yang juga menjadi catatan yaitu tidak dimasukkannya pandangan kalangan Islam dalam polemik ini. Menurut Ajip Rosidi, hal ini sanggup alasannya memang tidak ada tokoh Islam yang terlibat atau penyunting buku Polemik Kebudayaan tidak menganggap perlu meniliti majalah atau surat kabar yang membawa bunyi Islam. Ajip Rosidi menyebutkan adanya pendapat yang disampaikan oleh M. Natsir pada tahun 1934, sebelum Polemik Kebudayaan itu dimulai.
Dalam tulisannya M.Natsir mengingatkan tidak perlunya membesar-besarkan antagonisme Barat dan Timur. Bagi pendidik Islam, lanjut Natsir, Islam hanya mengenal antagonisme antara yang haq dan batil. Semua yang haq diterima, semua yang batil ditolak dari mana pun sumbernya Timur atau Barat.
Sumber http://tugasakhiramik.blogspot.com/
0 Response to "Pengertian Dan Sejarah Peradaban"
Posting Komentar