iklan

Makalah Prinsip Kesantunan Berbahasa

TUGAS MAKALAH
Prinsip Kesantunan Berbahasa
Disusun oleh :
Siska Lutfiani
NPM : 151650061
PROGRAM STUDY PENDIDIKAN BAHASA Dan SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
    Bahasa merupakan sebuah sarana yang digunakan insan untuk berkomunikasi. Sesuai dengan fungsinya, bahasa mempunyai tugas sebagai penyampai pesan antara insan satu dengan lainnya. Menurut Kridalaksana(1993: 21), bahasa yaitu sistem lambang suara yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Dalam kehidupan sehari-hari, insan niscaya menggunakan bahasa untuk berinteraksi satu sama lain. Chaer dan Agustina (2004: 14) menyatakan bahwa secara tradisional sanggup dikatakan bahwa fungsi bahasa yaitu alat untuk berinteraksi atau sebagai alat komunikasi, dalam arti bahasa digunakan untuk memberikan informasi, perasaan, gagasan, ataupun konsep.
    Dalam berinteraksi, diharapkan aturan-aturan yang mengatur penutur danlawan tutur biar nantinya sanggup terjalin komunikasi yang baik diantara keduanya. Aturan-aturan tersebut terlihat pada prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Leech (1993: 206).
B. Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan santun berbahasa?
2.      Apakah prinsip kesantunan Berbahasa?
3.      Apa saja prinsip-prinsip kesantunan dalam pragmatik itu?
C. Tujuan
1.      Mengetahui pengertian santun berbahasa.
2.      Mengetahui prinsip kesantunan berbahasa.
3.      Mengetahui prinsip kesantunan dalam pragmatik.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Santun Berbahasa 
    Struktur bahasa yang santun yaitu struktur bahasa yang disusun oleh penutur atau penulis biar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca. Bahasa yang benar yaitu bahasa yang digunakan sesuai dengan kaidah yang berlaku. Seseorang sedang berkomunikasi dalam situasi tidak resmi, mereka menggunakan kaidah bahasa tidak resmi. Ketika seseorang sedang menulis karya ilmiah untuk makalah, skripsi, tesis, atau disertasi mereka menggunakan kaidah bahasa baku. Jika penulis sedang memerankan tokoh pejabat, maka bahasa yang digunakan yaitu kaidah bahasa resmi. Masih ada satu kaidah lagi yang perlu diperhatikan yaitu kesantunan. Ketika seseorang sedang berkomunikasi, hendaknya disampaikan baik dan benar juga santun. Kaidah kesantunan digunakan dalam setiap tindak bahasa. Agar pemakaian bahasa terasa semakin santu, penutur sanggup berbahasa menggunakan bentuk-bentuk tertentu yang sanggup dirasa sebagai bahasa santun, seperti:
1.    Menggunakan tuturan tidak pribadi biasanya terasa lebih santun jikalau dibandingkan dengan tuturan yang diungkapkan secara langsung.
2.    Pemakaian bahasa dengan kata-kata kias terasa lebih santun dibandingkan dengan pemakaian bahasa dengan kata-kata lugas.
3.    Ungkapan menggunakan gaya bahasa penghalus terasa lebih santun dibandingkan dengan ungkapan biasa.
4.    Tuturan yang dikatakan berbeda dengan yang dimaksud biasanya tuturan lebih santun
5.    Tuturan yang dikatakan secara implisit biasanya lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang dikatakan secara eksplisit.
B.     Prinsip Berbahasa
1. Skala Kesantunan berdasarkan Leech (1983:123-126) yaitu sebagai berikut:
a. Skala kerugian dan laba (cost-benefit scale) menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan laba yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri, si kawan tutur akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
b. Skala pilihan (Optionality Scale) menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada si kawan tutur. Semakin pentuturanitu memungkinkan penutur atau kawan tutur mementukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan menentukan bagi si penutur dan si kawan tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun.
c.  Skala ketidak langsungan (Indirectness Scale) menunjuk kepada peringkat pribadi atau tudak langsugnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat pribadi akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin sanutunlah tuturan itu.
d. Skala keotoritasan (Authority Scale) menunjuk kepada relasi status sosial antara penutur dan kawan tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan kawan tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebakinya, semakin bersahabat jarak peringkat status sosial diantara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.
e. Skala jarak sosial (Social Distance Scale) menunjuk kepada peringkat relasi sosial antara penutur dan kawan tutur yang terlibat dalam bsebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin bersahabat jarak peringkat sosial beliau antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan kawan tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu.
2.  Skala Kesantunan  berdasarkan Brown dan Levinson (1987) sebagai berikut:
a. Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan kawan tutur (social distance between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokltural. Berkenaan dengan perbedaan umur antara penutur dan kawan tutur,  lazimnya didapatkan bahwa semakin renta umur seseorang, peringkat kesantunan dalam bertutur akan semakin tinggi. Sebaliknya, orang yang masih berusia muda cenderung mempunyai peringkat yang rendah di dalam acara bertutur. Orang yang berjenis kelamin wanita, cenderung mempunyai kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin pria. Hal demikian disebabkan oleh kenyataan bahwa kaum perempuan cenderung berkenaan dengan sesuatu yang bernili estetika dalam keseharian hidupnya. Sebaliknya, laki-laki cenderung jauh dari hal-hal itu karena, biasanya ia banyak berkenaan dengan kerja dan pemakaian budi dalam acara keseharian hidupnya. Latar belakang sosiokltural seseorang mempunyai tugas sangat besar dalam menentukan peringkat kesantunan bertutur yang dimilikinya. Orang yang mempunyai jabatan tertentu didalam masyarakat, cenderung mempunyai peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan orang menyerupai petani, pedagang, buruh bangunan, pembantu rumah tangga dsb. Demikian pula orang-orang kota cenderung mempunyai peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat desa.
b. Skala peringkat status sosial antara penutur dan kawan tutur atau sering kali disebut dengan peringkat kekuasaan (power writing) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan kawan tutur. Contoh: di dalam ruang periksa sebuah rumah sakit, seorang dokter mempunyai peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang pasien. Demikian pula di dalam kelas seorang dosen mempunyai peringkat kekuasaan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang mahasiswa.
c.  Skala peringkat tindak tutur (rank rating), didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lainnya. Contoh: dalam situasi yang sangat khusus, bertemu di rumah seorang perempuan dengan melewati batas waktu bertemu yang masuk akal akan dikatakan sebagai tidak tahu sopan santun dan bahkan melanggar norma kesopanan yang berlaku pada masysrakat tutur itu. Namun demikian, hal yang sama akan dianggap sanagt masuk akal dalam situasi yang berbeda. Misalnya, pada dikala terjadi kerusuhan atau kebakaran orang berada di rumah orang lain atau rumah tetangganya bahkan hingga pada waktu yang tidak ditentukan.
3. Skala Kesantunan berdasarkan Robin Lakoff (1973) yaitu sebagai berikut:
a. Skala formalis  (formality scale) yaitu skala yang dinyatakan biar para peserta tutur sanggup merasa nyaman dalam acara bertutur. Tuturan yang digunakan tudak boleh bernada memaksa dan dilarang berkesan angkuh. Didalam acara bertutur, masing-masing peserta tutur harus sanggup menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya antara yang satu dengan yang lainnya.
b. Skala ketidaktegasan (hesitancy scale) yaitu skala yang memperlihatkan bahwa penutur dan kawan tutur sanggup saling merasa nyaman dalam bertutur. Pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua beah pihak. Orang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dan terlalu kaku didklam acara bertutur lantaran akan dianggap tidak santun.
c. Peringkat kesekawanan atau atau kesamaan (equality scale) memperlihatkan biar bersifat santun. Orang harus bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak yang alin. Agar tercapai maksud demikian, penutur haruslah menganggap kawan tutur sebagai sahabat. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi pihak lainnya, rasa kesekawanan dan kesejajaran sebagai salah satu prasyarat kesantunan akan sanggup tercapai.

C.    Prinsip kesantunan dalam pragmatik.
    Kesopansantunan pada umumnya berkaitan dengan relasi antara dua partisipan yang sanggup disebut sebagai ‘diri sendiri’ dan ‘orang lain’. Pandangan kesantunan dalam kajian pragmatik diuraikan oleh beberapa ahli. Diantaranya yaitu Leech, Robin Lakoff, Bowl dan Levinson. Prinsip kesopanan mempunyai beberapa maksim, yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahhatian (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berafiliasi dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri yaitu penutur, dan orang lain yaitu lawan tutur (Dewa Putu Wijana, 1996).
   Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Selain itu maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kolaborasi dan prinsip kesopanan. Maksim-maksim tersebut menganjurkan biar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan dan menghindari ujaran yang tidak sopan
A.   MAKSIM KESANTUNAN LEECH
1.     Maksim Kebijaksanaan (tact maxim)
     Gagasan dasar maksim kebijkasanaan dalam prinsip kesantunan yaitu bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi laba dirinya sendiri dan memaksimalkan laba pihak lain dalam acara bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan sanggup dikatakan sebagai orang santun. Leech (dalam Wijana, 1996) menyampaikan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula impian orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak pribadi lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Pelaksanaan maksim kebijaksanaan sanggup dilihat pada teladan tuturan berikut ini.
Tuan rumah              :  “Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami sudah mendahului.”
Tamu                        :  “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”
Di dalam tuturan tersebut, tampak dengan sangat terang bahwa apa yang dituturkan si Tuan Rumah sungguh memaksimalkan laba sang Tamu.
2.    Maksim Kedermawanan
    Dengan Maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan sanggup menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang sanggup mengurangi laba bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan laba bagi pihak lain. Pelaksanaan maksim kedermawanan sanggup dilihat pada teladan tuturan berikut ini.
Anak kos A              : “Mari saya cucikan baju kotormu. Pakaianku tidak banyak kok yang kotor”
Anak kos B              : “Tidak usah, mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok.”
    Dari tuturan tersebut, sanggup dilihat dengan terang bahwa Anak kos A berusaha memaksimalkan laba pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara memperlihatkan proteksi untuk mencucikan pakaian kotornya si B
3. Maksim Penghargaan
    Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa seseorang akan sanggup dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan biar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam acara bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian lantaran tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Pelaksanaan maksim penghargaan sanggup dilihat pada teladan tuturan berikut ini.
Dosen A            : “Pak, saya tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English.”
Dosen B            : “Oya, tadi saya mendengar Bahasa Inggrismu anggun sekali.”
    Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekan dosennya pada teladan di atas ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan kebanggaan dari dosen B.
4.    Maksim Kesederhanaan
    Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan sanggup bersikap rendah hati dengan cara mengurangi kebanggaan terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati jikalau di dalam acara bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Pelaksanaan maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati sanggup dilihat pada teladan tuturan berikut ini.
Ibu A           : “Nanti ibu yang memberikan sambutan dalam rapat Dasa Wisma ya.”
Ibu B           : ” Waduh..nanti grogi aku.”
   Dalam teladan di atas ibu B tidak menjawab dengan: “Oh, tentu saja. Memang itu kelebihan saya.” Ibu B mengurangi kebanggaan terhadap dirinya sendiri dengan mengatkan: ” Waduh..nanti grogi aku.”
5.    Maksim Pemufakatan/Kecocokan
   Di dalam maksim ini, diharapkan para peserta tutur sanggup saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam acara bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan kawan tutur dalam acara bertutur, masing-masing dari mereka sanggup dikatakan bersikap santun. Pelaksanaan maksim pemufakatan/Kecocokan sanggup dilihat pada teladan tuturan berikut ini.
Guru A               : “Ruangannya gelap ya, Bu.”
Guru B               : “He’eh. Saklarnya mana ya?”
   Pada teladan di atas, tampak adanya kecocokan persepsi antara Guru A dan B bahwa ruangan tersebut gelap. Guru B mengiyakan pernyataan Guru A bahwa ruangan gelap dan kemudian mencari saklar yang member makna perlu menyalakan lampu biar ruangan menjadi terang.
6.    Maksim Kesimpatian
    Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Di dalam maksim kesimpatian, diharapkan biar para peserta tutur sanggup memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Jika lawan tutur mendapat kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau petaka penutur layak berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.Sikap antipati terhadap salah satu peserta tutur akan dianggap tindakan tidak santun. Pelaksanaan maksim kesimpatian sanggup dilihat pada teladan tuturan berikut ini.
Mahasiswa A  : “Mas, saya akan ujian tesis ahad depan.”
Mahasiswa B   : “Wah, selamat ya. Semoga sukses.”
B.    MODEL KESANTUNAN BROWN – LEVINSON
1.    Keinginan Wajah
   Di dalam interaksi sosial sehari-hari, orang pada umumnya berperilaku seperti ekspektasi mereka terhadap public self-image yang mereka miliki akan dihargai orang lain. Jika seorang penutur menyampaikan sesuatu yang merupakan bahaya terhadap ekspektasi orang lain mengenai self-image mereka, tindakan tersebut dikatakan sebagai Face Threatening Act (FTA). Sebagai alternatif, seseorang sanggup menyampaikan sesuatu yang mempunyai kemungkinan bahaya lebih kecil. Hal ini disebut sebagai Face Saving Act (FSA). Perhatikan teladan berikut:
    Seorang tetangga sedang memainkan musik sangat keras dan pasangan suami istri sedang mencoba untuk tidur. Si suami sanggup melaksanakan FTA: “Aku akan menyampaikan padanya untuk mematikan musik berisik itu kini juga!” atau si istri sanggup melaksanakan FSA: “Barangkali kita sanggup memintanya untuk berhenti memainkan musik itu lantaran kini sudah mulai larut dan kita perlu tidur”.
2.    Negative dan Positive Face
    Menurut Brown dan levinson, negative face adalah  the basic claim to territories, personal preserves, and rights to non-distraction dan positive face yaitu the positive and consistent image people have of themselves, and their desire for approval. Dengan kata lain, negative face yaitu kebutuhan untuk berdikari dan positive face yaitu kebutuhan untuk terkoneksi (menjalin hubungan). Sehubungan dengan negative dan positive face, maka sanggup disimpulkan bahwa FSA berorientasi pada negative face dan mementingkan kepentingan orang lain, bahkan termasuk undangan maaf atas gangguan yang diciptakan. FSA menyerupai ini dinamakan negative politeness. Sedangkan FSA yang berorientasi terhadap positive face seseorang akan cenderung memperlihatkan solidaritas dan menekankan bahwa kedua pihak (penutur dan kawan tutur) menginginkan hal yang sama dan tujuan yang sama pula. FSA dalam bentuk ini dinamakan positive politeness.
Secara singkat, Yule (2010:135)membedakan positive face dan negative face sebagai berikut.
Positive Face Negative Face
Keinginan Pendekatan sosial Kebebasan dari pembebanan
Kebutuhan untuk terhubung
Untuk diterima sebagai anggota kelompok yang mempunyai tujuan yang sama
untuk mandiri
Untuk mempunyai kebebasan bertindak, dan tidak terbebani
Penekanan Pada solidaritas dan kesamaan pada penghormatan dan kepedulian
3. Negative and Positive Politeness
   Negative politeness memberikan perhatian pada negative face, dengan menerapkan jarak antara penutur dan kawan tutur dan tidak mengganggu wilayah satu sama lain. Penutur menggunakannya untuk menghindari paksaan, dan memberikan kawan tutur pilihan. Penutur sanggup menghindari kesan memaksa dengan menekankan kepentingan orang lain dengan menggunakan undangan maaf, atau dengan mengajukan pertanyaan yang memberikan kemungkinan untuk menjawab “tidak”. Misal, di sebuah gedung student center, Anda meminta pertolongan untuk menyebutkan alamat situs yang Anda perlukan dengan berkata pada David,
“Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu, tapi barangkali Anda sanggup memberitahukan alamat situs yang dosen bicarakan tadi pagi?”
Contoh yang lain,
“Maaf mengganggu, Bisakah saya meminjam uang lima ratus ribu, ehmm, jikalau kau Anda tidak membutuhkannya sekarang?
    Adanya pemberian pilihan kuat pada tingkat kesantunan. Semakin besar kemungkinan pilihan tanggapan “tidak” diberikan, maka semakin sopan lah tuturan tersebut.
Positive politeness bertujuan untuk menyelamatkan dengan menerapkan kedekatan dan solidaritas, biasanya dalam pertemanan atau persahabatan, menciptakan orang lain merasa nyaman dan menekankan bahwa kedua pihak (penutur dan kawan tutur) mempunyai tujuan yang sama. Misal Anda masih berada di student center dan masih memerlukan bantuan, kali ini Anda meminta proteksi pada sahabat bersahabat Anda, Rudi.
“Rudi, kau kan punya memori yang baik dan keren, akan lebih keren jikalau kau memberitahu saya alamat situs yang dimaksud pak Handano tadi pagi.”
4.    Superstrategies Dalam Kesopanan
    Dalam setiap tindak tutur, kita selalu mempunyai banyak ekspresi tuturan. Brown and Levinson (1987) menyarankan beberapa superstrategiesi bagi pengguna bahasa untuk bias berkomunikasi dengan cara yang sopan (dikutip dari Yule, 1996, pp.62-66).” Contoh berikut ini akan member klarifikasi mengenai superstrategies. Misalnya Anda sedang mengikuti ujian. Anda kemudian menyadari bahwa anda tidak membawa pena. Anda yakin sahabat sekelas anda akan memberi bantuan. Dalam kasus ini, pertama-tama anda harus menciptakan keputusan apakah menyampaikan sesuatu atau tidak.
a.    Tidak menyampaikan sesuatu
Anda sanggup pribadi mencari di dalam tas tanpa menyampaikan apapun menunggu sahabat anda bertanya atau memperlihatkan bantuan. Pendekatan ‘tidak menyampaikan apapun’ mungkin berhasil atau tidak berhasil. Hal tersebut bergantung pada bagaimana orang lain menginterpretasikan tindakan anda.
b.    Mengatakan sesuatu : off record
Jika anda tetapkan untuk menyampaikan sesuatu, anda sanggup berkata: “Oh dear. I Forgot my pen”. Sama halnya dengan pendekatan ‘tidak menyampaikan sesuatu”, menyampaikan sesuatu: off record ini juga mempunyai kemungkinan untuk berhasil atau pun gagal. Tidak ada jaminan bahwa orang lain niscaya memahami maksud anda.
c.     Mengatakan sesuatu: on record
Berlawanan dengan pernyataan off record, anda sanggup mengekspresikan kebutuhan anda dengan pribadi berbicara pada seseorang. Cara yang paling eksplisit untuk menyatakan kebutuhan anda yaitu dengan tegas on record. Anda sanggup secara pribadi meminta proteksi dengan mengatakan: “Give me a pen!” Permintaan yang tegas, mengikuti  maksim Grice yaitu benar-benar pribadi dan ringkas. Meskipun demikian, hal ini mempunyai potensi mengancam muka kawan tutur jikalau undangan ini dianggap sebagai sebuah perintah. Untuk menghindari hal tersebut, anda harus melaksanakan face saving acts yang menggunakan taktik kesopanan positif dan negative untuk meredam ancaman.
Strategi kesopanan positif berorientasi pada perjuangan untuk memperbaiki bahaya positive face pendengar. Ketika anda menggunakan kesopanan positif, cobalah untuk membayangkan bahwa pendengar mempunyai dasar yang sama atau bahkan mempunyai relasi pertemanan dengan anda. Menggunakan bahasa identitas dalam sebuah kelompok, anda sanggup berkata: (“How about letting me use your pen?)” bentuk let menandai adanya rasa solidaritas di antara pembicara dan pendengar. Namun demikian, tetap saja taktik ini mempunyai resiko untuk ditolak jikalau si pendengar berbeda tingkat social dengan anda. Dalam kasus ini, taktik kesopanan sebaliknya mungkin lebih sempurna untuk digunakan.
    Strategi kesopanan negatif tidak selalu bermaksud tidak baik. Kenyataannya, taktik ini bermaksud memperbaiki fakta negative yang mengancam pendengar. Anda sanggup meminta proteksi secara tidak pribadi dengan bertanya “Could you lend me a pen?” atau “Sorry to bother you, but may I borrow your pen?” Pertanyaan-pertanyaan ini didahului oleh ungkapan undangan maaf untuk pembebanan yang memperlihatkan keprihatinan anda wacana kerugian untuk pendengar. Selain itu, meminta izin untuk mengajukan pertanyaan lebih sopan.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
    Melalui pembahasan dalam goresan pena di atas, sanggup simpulkan bahwa dalam berbahasa, kesantunan merupakan suatu hal yang vital. Berbahasa santun itu sendiri merupakan kesadaran timbal-balik bahwa penutur senantiasa menginginkan kawan tutur berekspresi sebagaimana cara penutur berekspresi.
   Kesantunan berbahasa bersentral pada jarak sosial, yang mana sekaligus mengatur tata krama berbahasa kita. Santun berarti tidak mengancam wajah, tidak menyatakan hal-hal yang bermuatan bahaya terhadap harga diri seseorang, atau tidak mencoreng wajah seseorang maupun wajah diri sendiri.
B. SARAN
1)  Kita sebagai penutur harus sanggup bertutur secara santun biar tercipta komunikasi yang sehat antara penutur dan kawan tutur.
2) Kita terapkan atau implementasikan konsep-konsep kesantunan dari para mahir dalam bertutur dengan orang lain.

 DAFTAR PUSTAKA
Cutting, Joan. 2002. Pragmatics and Discourse: A Resource Book for Students. New York: Routledge
Leech, Geoffrey. 1991. Principle of Pragmatics. London: Longman
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press
meowwwhoney.blogspot.com/search?q=makalah-metode-pembelajaran-bahasa

Sumber http://sekolahmaning.blogspot.com

0 Response to "Makalah Prinsip Kesantunan Berbahasa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel